KEPALA SEKOLAH SEBAGAI PEMIMPIN PENDIDIKAN
Oleh : Sri Hendrawati
Penerapan TQM pada level sekolah dapat dilakukan dengan upaya untuk menumbuhkan komitmen agar lebih mandiri mulai dari perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi program sekolah. Sekolah harus mengutamakan kepuasan pelanggan (costumer satisfaction) dalam hal ini peserta didik, orangtua, masyarakat , pemerintah dan komponen lainnya yang ikut menikmati hasil pendidikan di sekolah (external of education) yang berfokus pada peningkatan mutu secara berkelanjutan (continuous improvement). Sekolah pun harus diupayakan agar memiliki lingkungan yang aman dan tertib (safe and orderly); mampu menumbuhkan sikap responsif dan antisifatif terhadap kebutuhan; menumbuhkan budaya mutu di lingkungan sekolah; menumbuhkan harapan prestasi yang tinggi; memiliki kemauan untuk berubah menjadi lebih baik; mengembangkan komunikasi yang baik; mewujudkan teamwork yang kompak, cerdas dan dinamis; melaksanakan keterbukaan (transparansi) manajemen; menetapkan secara jelas serta mewujudkan visi dan misi sekolah; melaksanakan pengelolaan tenaga kependidikan secara efektif; meningkatkan partisipasi warga sekolah dan masyarakat; serta dengan menetapkan kerangka akuntabilitas yang kuat.
Upaya-upaya tersebut dapat dilakukan oleh sekolah tentunya tidak terlepas dari peranan urgensi dari kepala sekolah sebagai pucuk pimpinan yang berwenang menentukan arah dan kebijakan yang akan ditempuh oleh sekolah pada level manajemen sekolah. Pentingnya jaminan kualitas (quality assurance) pendidikan dalam rangka penerapan TQM perlu diperhatikan dan diprioritaskan demi menjaga kepuasan pelanggan dalam hal ini peserta didik. Penjaminan mutu adalah seluruh rencana dan tindakan yang sistematis yang penting untuk menyediakan kepercayaan yang digunakan untuk memuaskan kebutuhan tertentu dari mutu (Elliot,1993). Penjaminan kualitas merupakan kegiatan untuk memberikan bukti-bukti untuk membangun kepercayaan bahwa mutu dapat berfungsi secara efektif (Pike dan Barnes,1996).
Dalam pandangan manajemen pendidikan, kualitas pendidikan di sekolah banyak dipengaruhi oleh kepemimpinan kepala sekolah yang bertanggung jawab dalam menjalankan fungsi dan peran kepemimpinannya secara professional. Kepala sekolah dalam menjalankan kepemimpinan pendidikan, perlu melakukan upaya-upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan seperti yang dikatakan oleh Sallis (1993) bahwa usaha-usaha itu diantaranya adalah sebagai berikut :
- Melibatkan guru-guru dan semua staf dalam aktifitas penyelesaian masalah dengan menggunakan metode ilmiah (scientific) dan prinsip proses pengawasan mutu dengan statistik.
- Mintalah pendapat dan aspirasi mereka tentang sesuatu dan bagaimana sebuah proyek ditangani, karena itu jangan menggurui mereka.
- Pahamilah bahwa keinginan untuk perbaikan yang berarti bagi guru-guru tidak cocok dengan pendekatan atas bawah (top-down) terhadap manajemen.
- Pelaksanaan yang sistematik dan komunikasi yang terus menerus dengan melibatkan setiap orang di sekolah.
- Bangunlah keterampilan-keterampilan dalam mengatasi konflik penyelesaian masalah dan negosiasi.
- Berikanlah pendidikan dalam konsep mutu dan pelajaran seperti membangun tim kerja, proses manajemen, pelanggan, komunikasi dan kepemimpinan; serta
- Berikanlah otonomi dan keberanian mengambil resiko dari para guru atau staf.
Menurut Joseph Reitz (1981) dalam Nanang Fattah (2003) bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemimpin dapat dilihat dari gambar di bawah ini.
Berdasarkan gambar di atas, faktor-faktor yang mempengaruhi efektivitas pemimpin meliputi :
1. Kepribadian, pengalaman masa lalu dan harapan pimpinan.
Hal ini mencakup nilai, latar belakang dan pengalamannya yang mempengaruhi gaya kepemimpinannya.
2. Harapan dan perilaku atasan
Sebagai contoh, atasan yang secara jelas memakai gaya yang berorientasi pada tugas, maka manajer cenderung untuk melakukan itu.
3. Karakteristik harapan dan perilaku bawahan
Sebagai contoh, karyawan yang mempunyai kemampuan tinggi biasanya akan kurang memerlukan pendekatan yang direktif dari pemimpin.
4. Kebutuhan tugas
Setiap tugas bawahan juga akan mempengaruhi gaya kepemimpinan. Sebagai contoh, bawahan yang bekerja pada pengolahan data (litbang) menyukai pengarahan yang lebih berorientasi kepada tugas.
5. Iklim dan kebijakan organisasi
Hal ini mempengaruhi harapan dan perilaku bawahan. Sebagai contoh, kebijakan dalam pemberian penghargaan, imbalan dengan skala gaji yang ditunjang dengan insentif lain (dana pensiun, bonus, cuti) akan mempengaruhi motivasi kerja bawahan.
6. Harapan dan perilaku rekan
Sikap mereka ada yang merusak reputasi, tidak mau kooperatif, berlomba memperebutkan sumber daya sehingga mempengaruhi perilaku rekan-rekannya.
Kepala sekolah yang memiliki kewenangan sebagai penentu arah kebijakan sekolah, hendaknya berusaha dan mempraktekkan delapan fungsi kepemimpinan di dalam kehidupan sehari-hari di sekolah, seperti yang diuraikan Wahjosumidjo (2003;106-109) sebagai berikut :
- Sebagai seorang pemimpin, kepala sekolah harus dapat memperlakukan sama terhadap orang-orang yang menjadi bawahannya, sehingga tidak terjadi diskriminasi, sebaliknya dapat diciptakan semangat kebersamaan di antara mereka yaitu guru, staf dan para siswa (arbritrating).
- Sugesti atau saran sangat diperlukan oleh para bawahan dalam melaksanakan tugas. Para guru,staf dan siswa suatu sekolah hendaknya selalu mendapatkan saran, anjuran dari kepala sekolah sehingga dengan saran tersebut selalu dapat memelihara bahkan meningkatkan semangat, rela berkorban, rasa kebersamaan dalam melaksanakan tugas masing-masing (suggesting).
- Kepala sekolah bertanggungjawab untuk memenuhi atau menyediakan dukungan yang diperlukan oleh para guru, staf dan siswa baik berupa dana, peralatan, waktu, bahkan suasana yang mendukung. Tanpa adanya dukungan yang disediakan oleh kepala sekolah, sumber daya manusia yang ada tidak mungkin melaksanakan tugasnya dengan baik (supplying objectives).
- Kepala sekolah berperan sebagai katalisator dalam arti mampu menimbulkan dan menggerakkan semangat para guru, staf dan siswa dalam pencapaian tujuan yang telah ditetapkan. Sesuai dengan misi yang dibebankan kepada sekolah, kepala sekolah harus mampu membawa perubahan sikap, perilaku, intelek anak didik sesuai dengan tujuan pendidikan.
- Rasa aman merupakan salah satu kebutuhan setiap orang baik secara individu maupun kelompok. Oleh sebab itu seorang kepala sekolah sebagai pemimpin harus dapat menciptakan rasa aman di dalam lingkungan sekolah, sehingga para guru, staf dan siswa dalam melaksanakan tugasnya merasa aman, bebs dari segala perasaan gelisah, kekhawatiran serta memperoleh jaminan keamanan dari kepala sekolah (providing security).
- Kepala sekolah selaku pemimpin akan menjadi pusat perhatian, artinya semua pandangan akan diarahkan ke kepala sekolah sebagai orang yang mewakili kehidupan sekolah dimana, dan dalam kesempatan apa pun. Oleh sebab itu, penampilan kepala sekolah harus selalu dijaga integrasinya, selalu terpercaya, dihormati baik sikap, perilaku, maupun perbuatanya (representing).
- Kepala sekolah pada hakikatnya adalah sumber semangat bagi para guru, staf dan siswa. Oleh sebab itu, kepala sekolah harus selalu membangkitkan semangat, percaya diri terhadap para guru, staf dan siswa, sehingga mereka menerima dan memahami tujuan sekolah secara antusias, bekerja secara bertanggungjawab ke arah tercapainya tujuan sekolah (inspiring).
- Kepala sekolah diharapkan selalu dapat menghargai apapun yang dihasilkan oleh mereka yang berada di bawah tanggungjawabnya. Penghargaan dan pengakuan ini dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk, seperti kenaikan pangkat, fasilitas, kesempatan mengikuti pendidikan dan sebagainya (praising).
Untuk kepentingan tersebut kepala sekolah harus mampu memobilisasi sumber daya sekolah dalam kaitannya dengan perencanaan dan evaluasi program sekolah, pengembangan kurikulum ,pembelajaran, pengelolaan ketenagaan, sarana dan sumber belajar, keuangan, pelayanan siswa, hubungan sekolah dengan masyarakat, dan penciptaan iklim sekolah (Mulyasa,2004;182) Dalam setiap penetapan berbagai elemen yang akan digunakan dalam proses implementasi kebijakan pemerintah, terdapat beberapa tahapan yaitu perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi.
Seorang wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang kemudian menciptakan sebuah organisasi untuk memanfaatkan peluang tersebut (Alma,2002:21) , hal ini sejalan dengan definisi yang dikemukakan Syaiful Sagala bahwa wirausaha adalah orang yang melihat adanya peluang kemudian mengorganisir dan mensinergikan peluang itu dengan semua sumber-sumber daya usaha untuk mendirikan usaha baru di semua bidang kehidupan baik melalui mendirikan usaha sendiri, membeli usaha orang lain atau bergabung dengan orang lain.
Manajer institusi pendidikan atau organisasi-organisasi pembelajaran pada umumnya yang tampil sebagai wirausahawan adalah dambaan manajer masa kini, ketika sumber keuangan makin terbatas. Dibawah kepemimpinannya, lembaga pendidikan akan terdorong untuk membangun perubahan kultur (Culture Change) , dimana seluruh tenaga akademis dan karyawan dirangsang untuk menjadi entrepeneur sejati.
Menurut Brown (dalam Danim:2003) inisiatif itu akan dapat dicapai jika mereka mampu menggeser kultur kerja dari sikap dan sifat organisasi yang peternalistik ke organisasi kontraktual (Culture shift that has arisan from moving from a paternalistic to contractual organization).Kemampuan membangun jaringan kerja sama dengan dunia industri harus menjadi kesadaran riil. Dibawah manajer atau pimpinan pendidikan yang berwirausaha, dalam makna untuk kepentingan lembaga yang mengulturkan tradisi wirausaha. Kemampuan itu akan berdampak pada pembentukan identitas guru, dan manajer pendidikan ke arah kerja kontraktualisme baru, sejalan dengan kuatnya spirit pembelajaran berbasis industri dan perdagangan. Mereka yang memiliki sikap dan sifat kewirausahaan akan lebih banyak menggiring stafnya kearah penetapan standar keberhasilan, tidak berkutat dengan cara-cara kerja mencapai standar itu adalah menjadi bagian integral dari prilaku tenaga akademis. Banyak cara untuk mencapai tujuan tunggal/sekalipun.
Profesionalisme baru telah tumbuh sebagai kebutuhan masyarakat luas. Apa dampak profesionalisme baru bagi profesionalisme kepemimpinan pendidikan (professionalism in educational leadership). Oleh karena institusi pendidikan nampak instrumen penting dalam kerangka penyiapan sumber daya manusia di dunia kerja dan di masyarakat harus dibarengi dengan profesionalisme di bidang pendidikan, baik pada tataran manajerial, proses pendidikan dan pembelajaran, peneliti, layanan kemasyarakatan, maupun profesionalisme pada tataran yang lebih operasional. Jill Blackmore dan Yudyth Sach (2000) dalam penelitian mereka menemukan indikasi adanya perbedaan kultur organisasi yang beroperasi mengelilingi kultur profesi pendidikan. Tradisi profesionalisme di luar sistem pendidikan mengimbas pada tradisi profesionalisme di bidang pendidikan dan organisasi pembelajaran pada umumnya. Prakonklusi itu sepertinya menempatkan pendidikan pada posisi pasif. Meski diakui bahwa kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi dan perkembangan ke masyarakat yang mengelilingi lembaga pendidikan cenderung jauh lebih cepat, tradisi profesional di dunia pendidikan tidak sebatas bermuara untuk menciptakan sumber daya manusia macam apa yang dibutuhkan oleh masyarakat melainkan yang lebih utama, dengan ini yang lebih ideal adalah akan membentuk masyarakat macam apa lulusan institusi pendidik itu. Kecenderungan ini melahirkan tekanan baru bagi kepemimpinan pendidikan dan organisasi mahasiswa. Mereka tidak cukup lagi sebatas bermodalkan kemampuan intelektual melainkan juga kecerdasan emosional dan spiritual. Dimensi emosional dan spiritual ini akan bermanfaat bagi pekerjaan mereka di sektor manajemen dan bagaimana merespon kondisi ekonomi yang tengah mengalami problema psikis.
Implikasi lanjut dari tuntutan profesionalisme itu, karenanya adalah perlunya merangsang mental kewirausahaan pada kalangan orang-orang yang duduk pada posisi pimpinan di lembaga pendidikan. Ada beberapa perwajahan baru yang dituntut dapat ditampilkan oleh orang-orang yang menduduki posisi manajerial di bidang pendidikan disimpulkan sebagai berikut:
- Skema kerja mereka harus mengalami perluasan rangka atau lingkup tugas, tidak lagi sebatas berkutat pada tujuan-tujuan internal organisasinya, melainkan harus menggamitkannya dengan tujuan-tujuan sosial yang lebih luas.
- Target capaian pendidikan harus bergeser daridimensi kuantitatif semata ke dimensi kuantitatif dan kualitatif.
- Focus kerja harus berpihak pada hubungan social pada tatanan organisasi ekonomi dan rangsangan terhadap produktifitas baru.
- Hubungan eksternal yang dikembangkan harus berbasis pada keyakinan (trust), komunikasi yang terbuka dan keberterimaan atas ide-ide baru yang muncul dalam debat bersama kolega.
- Transparansi manejerial dengan mentradisikan rapat dan diskusi sebagai wahana evaluasi kelembagaan secara profesional.
- Kemampuan menerima dan menghargai keahlian sejawat atau kolega.
- Kemampuan dan kerelaan menerima alternatif cara untuk mencapai produktivitas yang dikehendaki.
- Kemampuan bekerja sama dengan komunitas profesional di luar institusinya.
- Ciri-ciri perilaku seorang enterprise adalah:
- Memiliki inisiatif atau prakarsa yang tinggi
- Berani mengambil risiko, setidaknya pada skala moderat
- Mengedepankan harga dan aktualisasi diri.
- Bertanggung jawab atas tindakan pribadi