BAB I
PENDAHULUAN
- Latar Belakang Masalah
Sosiologi pendidikan merupakan satu ilmu atau kajian yang mempelajari hubungan antara masyarakat (yang di dalamnya terjadi interaksi sosial) melalui pendidikan. dalam hal ini, dpaat dilihat bagaimana masyarakat mempenagruhi pendidikan, atau sebaliknya bagaimana pendidikan mempengaruhi masyarakat.[1]
Sosiologi pendidikan merupakan pisau analisis, yaitu bagaimana sosiologi dalam memandang pendidikan, bagaimana sosiologi menyikapi problem-problem pendidikan yang terngah terjadi, atau juga dapat menjadi pisau analisis tentang bagaimana sosiologi memandang akan pendidikan.
Dalam mempelajari pendidikan, para sosiolog merumuskan model-model analisis. Terdapat beberapa model-model analisis yang digunakan. Perbedaan dari masing-masing model analisis tersebut bergantung pada asumsi yang digunakan.[2]
Dalam makalah ini akan dijelaskan empat model analisis, yaitu model struktural fungsional, model analisis konflik, model analisis interaksi simbolik, dan model analisis pertukaran. Dua model analisis pertama (model struktural fungsional, model analisis konflik) masuk ke dalam kategori makro karena dilakukan pada tataran struktur. Sedangkan dua model analisis yang terakhir (model analisis interaksi simbolik, dan model analisis pertukaran) masuk ke dalam kategori mikro karena terhadi pada tataran individu.[3]
- Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana pandangan model analisis struktural fungsional?
2. Bagaimana pandangan model analisis konflik?
3. Bagaimana pandangan model analisis interaksi simbolik?
4. Bagaimana pandangan model analisis pertukaran?
- Tujuan Penulisan
Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penulisan makalah ini ialah untuk:
1. Mengetahui model analisis struktural fungsional;
2. Mengetahui model analisis konflik;
3. Mengetahui model analisis interaksi simbolik; dan
4. Mengetahui model analisis pertukaran
BAB II
PEMBAHASAN
1. Analisis Model Struktural Fungsional
Teori fungsional struktural berkembang pada tahun 1940-1950-an, dan dianggap sebagai standard theory yang banyak dianut oleh sosiolog. Emile Durkheim dan Max Weber dianggap sebagai inspirator fungsional struktural.[4]Analisis model struktural fungsional ialah model analisis sosiologi yang memusatkan pada integrasi sosial, stabilitas sosial, dan konsesnsus nilai. Emile Durkheim ialah sosiolog yang tak terlepas dari model ini. Beliau menyatakan bahwa sekolah merupakan fakta sosial (social fact), sehingga pendidikan menjadi objek kajian sosiologi. Menurut Durkheim, fakta sosial memiliki tiga ciri utama, yaitu:[5]
a. Fakta sosial terdapat di luar individu, sehingga ia bersifat langgeng, dalam artian bahwa fakta sosial telah ada sebelum individu lahir dan tidak akan pernah musnah meski individu telah tiada. Selain pendidikan, contoh fakta sosial ialah agama, adat, dan bahasa.
b. Fakta sosial memiliki daya paksa terhadap individu untuk melaksanakan dan menaatinya. Misalnya ialah seseorang merasa wajib untuk melaksanakan pendidikan agar ia dapat beradaptasi dengan yang lain.
c. Fakta sosial tersebar di kalangan warga masyarakat,
Selanjutnya, Durkheim menyatakan bahwa ketika pertama kali kita lahir ke dunia, kita tidak berpengetahuan apa pun, tidak mampu berbahasa, dan belum bisa berbuat apapun. Sehingga untuk bisa bertahan hidup, ia harus mempelajari segala hal yang ia perlukan dari lingkungannya. Dari sinilah Durkheim beranggapan bahwa manusia dibentuk oleh masyarakat dan lingkungannya menjadi makhluk sosial, proses yang terjadi disebut dengan proses sosialisasi.
Menurut Mahmud yang dikutip dari Sudardja Adiwikarta menyatakan bahwa sesuatu masyarakat akan ada karena adanya homogenitas (keseragaman), jika tidak adanya homogenitas maka masyarakat mustahil terbentuk, bahkan masyarakat yang sudah terbentuk pun ketika tidak ada homogenitas, maka ia bisa musnah. Ia menyatakan bahwa pendidikan merupakan proses homogenisasi sosial yang disiapkan untuk menyiapkan suatu masyarakat. Dengan demikian, pada dasarnya pendidikan ialah proses mempengaruhi yang dilakukan oleh orang dewasa kepada mereka yang belum siap menjalankan fungsi-fungsi sosial. Dari sini didapatkan bahwa pendidikan merupakan sarana persiapan untuk hidup bermasyarakat yang disiapkan oleh masyarakat itu sendiri.[6]
Selain pemikiran di atas, Durkheim pun menekankan pada pembagian kerja (division of laboor) dan solidaritas. Bukti dari penekanannya ini dapat dilihat dari semakin maju suatu masyarakat, maka semakin nampak pembagian kerja di antara warganya. Oleh karena itu, di masyarakat terdapat spesialis-spesialis untuk bidang-bidang yang sangat khusus.
Sejalan dengan pembagian kerja yang terjadi di masyarakat, maka hal tersebut berpengaruh pula terhadap solidaritas (ikatan emosional yang terjadi di antara warga masyarakat). Menurut Durkheim, masayarakat yang belum mengalami pembagian kerja terjadilah proses solidaritas yang bersifat mekanis, sedangkan untuk masyarakat yang telah terjadi pembagian kerja di dalamnya, maka solidaritas yang terjadi berdasarkan saling membutuhkan atau saling bergantung. Hal ini disebut dengan solidaritas organik.
Berhubungan dengan pembagian kerja, maka dalam hal ini pendidikan berfungsi untuk mengheterogenkan masyarakat, ketika tidak terjadi heterogenitas dalam masyarakat, maka mustahil masyarakat dapat terbentuk. Dalam kondisi heterogenitas terjadilah spesialisasi yang bersifat seleksi. Karena spesialisasi dilakukan berdasarkan minat, bakat, dan kesempatan yang tersedia di masyarakat.
Dalam pandangan Emile Durkheim, pendidikan memiliki peran dalam proses sosialisasi, homogenisasi, seleksi, heterogenisasi, alokasi, dan distribusi peran-peran sosial. Selanjutnya, ia memandang pentingnya pendidikan berbasis kedisiplinan dalam setiap lingkungan pendidikan. salah satu alat yang dapat digunakan untuk pendidikan disiplin ialah sanksi dan penghargaan. Sanksi dalam pendidikan harus tetap ditegakkan sebagai pembanding dari penghargaan, namun sanksi yang bersifat hukuman fisik, dalam pandangan Durkheim tidak sesuai dengan prinsip moral modern. Ia pun memandang bahwa pendidikan memiliki peran besar dalam memelihara ketertiban dan keseimbangan sosial.[7]
Dalam pandangan Durkheim, guru merupakan wakil negara, bangsa dan orang dewasa dalam menyiapkan generasi yang mampu berperan sebagai warga yang penuh dalam masyarakat. Penerus pemikiran struktural fungsional Durkheim ini ialah Talcott Parsons. Parsons menyatakan bahwa tindakan semua orang dipengaruhi oleh dua macam orientasi, yaitu orientasi motivasional yang bersifat pribadi, dan orientasi nilai yang bersifat sosial. Dalm artian, setiap tingkah laku manusia dipengaruhi oleh kehendak pribadinya dan dikontrol oleh nilai-nilai yang berlaku di masyarakat.[8]
Parsons memandang bahwa pendidikan memegang peran sosialisasi dan seleksi. Sosialisasi meliputi aspek nilai, kognitif, maupun motorik. Namun yang paling diutamakan dari ketiga aspek tersebut ialah aspek nilai. Melalui sosialisasi, nilai-nilai budaya yang dimiliki masyarakat diubah menjadi nilai yang dihayati atau diinternalisasi oleh warga masyarakat secara individual.
Menurutnya, masyarakat terdiri dari tiga subsistem, yaitu subsistem budaya, subsistem sosial, dan subsistem kepribadian. Pandangannya ini dipengaruhi oleh pandangan Durkheim yang menyatakan bahwa masyarakat merupakan satu organisasi yang terdiri sejumlah subsistem yang saling mempengaruhi dan saling bergantung.
Menurut Parsons, subsistem budaya berisi tentang nilai, norma, pengetahuan, dan kepercayaan atau keyakinan hidup yang dianut secara komunal (umum). Dalam subsistem sosial, berisi tentang struktur peran, yaitu perilaku yang diharapkan akan dilakukan oleh seseorang sesuai dengan status sosialnya. Sedangkan dalam sistem kepribadian, individu-individu keperluan yang lahir atau dibentuk pada saat berlangsungnya proses sosialisasi bagi dirinya. Dalam pandangan Parsons, pendidikan merupakan proses sosialisasi yang memungkinkan setiap individu mengembangkan rasa tanggung jawab dan berbagai kemampuan. Melalui pendidikan, ia memperoleh kemampuan teknis, namun hal itu belumlah cukup, sehingga ia dituntut untuk memiliki kemampuan sosial dan rasa tanggung jawab mengenai terselenggaranya kehidupan yang bernilai budaya sesuai dengan pegangan masyarakatnya.
Dari pandangannya ini, Parsons lebih menekankan pada aspek sosialisasi, berbeda halnya dengan Ralph Turner yang menekankan pada proses seleksi. Ralph Turner memandang bahwa kita hidup dalam masyarakat yang memiliki sistem stratifikasi sosial. Untuk menempati setiap strata dan status sosial, setiap orang harus menempuh sistem seleksi. Fungsi seleksi dikumandangkan secara lantang oleh Earl Hopper yang mengatakan bahwa proses seleksi harus dilakukan dalam berbagai tahapan. Digambarkan bahwa ketika anak akan masuk sekolah, ia akan mengalami seleksi yang ketat melalui tes masuk. Kemudian, dalam lembaga pendidikannya, ia harus memilih jurusan tertentu menurut berbagai kriteria yang ditetapkan oleh lembaga. Ketika ia berada didunia kerja pun, ia harus melalui proses seleksi yang tidak mudah.
Tokoh fungsionalisme terbaru ialah Merton yang merupakan murid dari Parsons. Merton memandang bahwa dampak dari suatu tindakan bersifat fungsional (bermanfaat) dan disfungsional (merugikan). Contohnya ialah dalam bidang pendidikan, keberhasilan kita mendirikan lembaga pendidikan yang berjumlah ribuan telah menyebabkan meningkatkan angka sarjana. Akan tetapi ini merupakan masalah besar pula yaitu semakin meningkatnya pengangguran berdasi. Merton menekankan pentingnya waspada pada sebuah tindakan sebelum dilakukannya.[9]
Menurut Langer yang dikutip oleh Muhammad Rusydi Rasyid dalam jurnalnya menyatakan bahwa salah satu karya yang terkenal dari fungsionalisme adalah teori tentang stratifikasi sosial. Stratifikasi sosial dianggap sebagai suatu kenyataan universal untuk mempertahankan keberlangsungan hidup suatu masyarakat.[10]
Mengenai asumsi dasar tari model analisis ini menurut Ralp Dahrendorf yang dikutip oleh Damsar ialah sebagai berikut:[11]
- Setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif, mantap, dan stabil.
Dalam pandangan ini semua orang dipandang sebagai elemen masyarakat. Jaringan hubungan antar individu di masyarakat terpola sebagai masyarakat. Jaringan hubungan yang terpola inilah yang mencerminkan struktur elemen yang relatif mantap dan stabil.
- Elemen-elemen terstruktur tersebut terintegrasi dengan baik
Jaringan hubungan yang terpola antara diri dengan orang lain mencerminkan struktur elemen yang terintegrasi dengan baik. Artinya, elemen yang membentuk struktur itu memiliki kaitan dan jalinan yang bersifat saling mendukung dan ketergantungan antara satu dengan yang lainnya.
- Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur itu sebagai suatu sistem
Semua elemen yang ada memiliki fungsi masing-masing yang memberikan sumbangan bagi bertahannya suatu struktur sebagai suatu sistem. Maisng-masing bagian memiliki fungsi-fungsi tertentu yang berperan menjaga eksistensi dan berfungsinya sistem secara keseluruhan.[12]
- Setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus nilai di antara para anggotanya.
Fungsi dari elemen-elemen yang terstruktur dilandasi atau dibangun di atas konsensus nilai di antara para anggotanya. Konsensus nilai tersebut berasal dari kesepakatan yang telah ada dalam suatu masyarakat seperti adat kebiasaan, tata perilaku dan sebagainya maupun kesepakatan yang dibuat baru.
2. Analisis Model Konflik
Teori model konflik atau struktural konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Model ini melihat bahwa setiap struktur memiliki berbagai elemen yang berbeda, yang mana memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan yang berbeda-beda pula. Perbedaan inilah yang menyumbangkan terjadinya konflik, disintegrasi, dan perpecahan.[13]
Menurut Dahrendorf yang dikutip oleh Tamsik Udin bahwa perubahan sosial tidak terjadi melalui proses penyesuaian nilai-nilai yang membawa perubahan, tetapi terjadi akibat adanya konflik yang menghasilkan kompromi-kompromi yang berbeda dengan kondisi yang semula.[14]
Analisis model konflik berfokus pada pertentangan, kepentingan, dominasi pemaksaan, dan perubahan. Para penganut model konflik memandang bahwa dalam setiap masyarakat selalu ada kelompok kecil yang mendominasi kelompok mayoritas. Persaingan itu terjadi ketika sumber daya yang tersedia tidak sebanding dengan yang membutuhkannya, sehingga mereka saling bersaing untuk mendapatkannya.
Ketika mereka bersaing, tidak lagi memfokuskan diri pada usaha untuk mendapatkan apa yang mereka rebutkan, melainkan beralih pada usaha untuk menjatuhkan pesaingnya, persaingan tersebut terjadilah konflik. Para penganut model konflik yakin, bahwa kelompok yang didominasi oleh kelompok yang lain akan berusaha membebaskan diri dari dominasi tersebut.[15]
Menurut penganut model konflik, guru bukan hanya sebagai wakil negara, namun guru berposisi sebagai agen untuk mempertahankan dominasi melalui pengajaran nilai-nilai kepada anak muda.
Tokoh-tokoh penting adalam analisis model konflik ialah:
1. S. Bowles;
2. H. Gintis;
3. Louis Althusser;
4. Pierre Bourdieu; dan
5. Paulo Freire dan Ivan Illich.
Bowles menyatakan bahwa pendidikan adalah sarana untuk menetapkan dominasi, baik di masyarakat Liberal Barat atau masyarakat sosialis Timur. Hal senada pun diungkapkan oleh H. Gintis. Keduanya sependapat bahwa melalui pendidikan, orang dewasa bertarget untuk tetap menjadi kelompok dominan yang selama ini menikmati dominasinya.
Menurut Bowles dan Gintis, pendidikan tidak berperan sebagai kekuatan sosial untuk meningkatkan kesetaraan dan keadilan, tetapi untuk mempertahankan status quo.
Dalam hal ini menurut Mahmud, pendidikan adalah faktor untuk melanggengkan struktur kelas masyarakat. Hal ini dapat dilakukan dengan dua cara yaitu menanamkan keyakinan bahwa sukses di bidang ekonomi bergantung pada kemampuan yang dihasilkan melalui pendidikan dan menyiapkan anak didik untuk ditempatkan pada posisi tertentu dalam sistem kelas di masyarakat, sesuai dengan kepentingan yang menempatkan.[16]
Menurut Bowles dan Gintis, terdapat empat prinsip persamaan antara pelajar dan karyawan, yaitu:[17]
1. Dalam hal kekuasaan, peran pelajar sangat minim dalam menentukan isi kegiatan kurikuler, sama halnya dengan peran karyawan dalam menentukan isi kegiatan;
2. Pendidikan bukanlah tujuan melainkan alat. Karena pendidikan dijadikan sebagai alat untuk mencari nilai dan upah. Hal ini sama dengan bekerja;
3. Dalam hal spesialisasi dan persaingan.
4. Tingkatan dalam pendidikan sama persis dengan tingkatan yang terjadi dalam dunia kerja.
Tokoh analisis model konflik yang lainnya yaitu Louis Althuser, pandangannya hampir sama dengan Bowles dan Gintis, yang membedakan hanyalah pendidikan menurutnya sebagai perlengkapan negara pada masyarakat kapitalis. Perlengkapan negara sendiri dibagi menjadi dua. Pertama, perlengkapan penekan, yaitu undang-undang, polisi, angkatan perang, pemerintahan, dan administrasi. Kedua, perlengkapan ideologis, yaitu pendidikan, agama, keluarga termasuk undang-undang, politik, budaya, sastra, olahraga, penerangan dan organisasi perusahaan.[18]Pendidikan lah yang dijadikan alat untuk mewujudkan semua ini. Melalui pendidikan, anak-anak dididik tentang kemampuan berbagai tekhik yang diperlukan dalam dunia kerja. Bagi Althuser, pendidikan sama sekali tidak bersifat netral. Pendidikan ditujukan uuntu mencapai tujuan di atas, tidak ada pendidikan untuk pembebasan.[19]
Tokoh lainnya dalam model analisis konflik ini ialah Pierre Bouerdieu. Konsep yang paling dikenal yaitu konsep pertimbangan Budaya (cultural arbitraries). Menurutnya setiap masyarakat memiliki pertimbangan budaya yang tidak bisa dijelaskan dengan menggunakan kemampuan logika.[20]
Tokoh lain dalam analisis model konflik ialah Paulo Freire. Freire menyebutkan bahwa guru memagang peranan dominan dalam interaksi dengan pelajar. Guru ibarat mencurahkan air kepada gelas kosong yang pasif dan tidak bereaksi apa-apa. Adapun pelajar tidak diberi kesempatan untuk berdialog dengan guru. Cara seperti ini hanya akan melahirkan generasi diam, bukan seorang alumni yang care, aktif, kreatif dan berani mengambil resiko.
Tokoh terakhir dalam analisis model konflik ialah Ivan Illich, tokoh yang kontroversial dizamannya. Ia menyatakan bahwa sekolah adalah tempat anak-anak ditekan dan dipaksa untuk mempelajari hal-hal yang tidak mereka kehendaki dan senangi. Pembelajaran yang baik adalah pembelajaran yang berlangsung dalam suasana bebas, yang memungkinkan para pelajar memilih pelajaran yang disukainya. Ivan Illich menyarankan agar sekolah dibubarkan sebab tidak efektif. Anak-anak lebih banyak belajar pengetahuan di luar sekolah, misalnya dari buku, koran, film, pergaulan, dan lain-lain dibandingkan dari sekolah.[21]
Ralph Dahendrof yang dikutip oleh Damsar menyatakan bahwa asumsi dasar dari model pendekatan ini ialah:[22]
- Setiap masyarakat, dalam setiap hal, tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat dimana-mana
Dalam model analisis ini melihat masyarakat dalam proses perubahan. Hal ini terjadi karena mengingat semua unsur dari elemen yang ada berbeda-beda dalam hal motif, maksud, kepentingan atau tujuan. Hal ini menyebabkan setiap elemen berusaha untu mengusung motif dan tujuan pribadi menjadi motif dan tujuan dari struktur.
- Setiap masyarakat, dalam setiap hal memperlihatkan pertikaian dan konflik; konflik sosial terdapat di mana-mana
Dalam setiap struktur sosial terdiri dari beberapa elemen yang memiliki, motif, maksud, tujuan yang berbeda satu dengan yang lain. perbedaan inilah yang menjadi sumber terjadinya pertikaian atau konflik. Selama perbedaan itu masih ada, maka pertikaian dan konflik pun dirasa akan tetap ada.
- Setiap elemen dalam suatu msayarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan
Pertikaian dan konflik yang terjadi akibat dari perbedaan. Pertikaian dan konflik menyebabkan disintegrasi dan perubahan dalam struktur sosial. Dan dapat disimpulkan bahwa setiap elemen mempunyai celah untuk memberikan sumbangan terhadap terjadinya disintegrasi dan perubahan dalam struktur ini.
- Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Keteraturan, keharmonisan yang terjadi dipandang oleh teoritisi konflik sebagai suatu hasil paksaan dari sebagian anggotanya terhadap sebagian anggota yang lainnya.
Nina W. Syam menyatakan dalam bukunya �Sosiologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi� ada tiga asumsi dasar dari teori konflik, yaitu:[23]
1. Setiap orang (kelompok) memiliki kepentingan (interest) yang sering kali berbeda, bahkan bisa jadi bertentangan dengan kelompok lain.
2. Sekelompok orang memiliki kekuatan (power) yang lebih jika dibandingkan dengan kelompok lainnya, sehingga lebih mudah memenuhi interestnya dan bermuara pada ketidak adilan, serta menimbulkan kelompok yang mengeksploitasi kelompok yang tereksploitasi.
3. Interest dan penggunaan power untuk mencapai interest tersebut ditimbulkan dengan sistem ide dan nilai-nilai yang disebut ideologi, sehingga ideologi yang berkembang adalah ideologi kelompok dominan.
3. Analisis Interaksionisme Simbolik
Analisis ini memahamai realitas sebagai suatu interaksi yang harus dipenuhi.[24]Dalam perspektif ini dikenal nama sosiolog George Herbert Mead (1863�1931), Charles Horton Cooley (1846�1929), yang memusatkan perhatiannya pada interaksi antara individu dan kelompok.[25]
Menurut Turner ada empat asumsi yang melandasi anlisis ini, yaitu:[26]
a. Manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol.
Tindakan sosial dipandang sebagai suatu tindakan individu yang memiliki arti atau makna (meaning) yang bersifat subjektif bagi dirinya yang dikaitkan dengan orang lain. Dalam proses melakukan tindakan, disitu terjadi proses pemberian arti atau pemaknaan. Pemberian arti atau pemaknaan itu menghasilkan simbol.
b. Manusia menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi
Manusia menggunakan simbol bertujuan untuk berkomunikasi. Manusia menciptakan simbol dengan memberikan nilai atau pemaknaan terhadap sesuatu (baik berupa bunyi, kata, gerak tubuh, benda, atau hal lainnya). Contoh simbol yang paling jelas adalah bahasa, dengan menggunakan bahasa, kita dapat berkomunikasi. Bahasa merupakan simbol utama dalam berkomunikasi. Komunikasi akan berjalan lancar jika di antara kedua belah pihak menggunakan simbol yang dapat dimengerti bersama.
c. Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran (Role Taking)
Role Taking merupakan pengambilan peran yang mengacu pada bagaimana kita melihat suatu situasi sosial dari diri orang lain di mana dari dialah kita akan mendapatkan respons.
d. Masyarakat terbentuk, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir, mendefinisikan, melakukan refleksi diri, dan melakukan evaluasi.
Masyarakat dibentuk, dipertahankan, dan diubah bergantung dari kemampuan manusia yang dikembangkan melalui interaksi sosial.
4. Analisis Pertukaran
Teori ini melihat bahwa dunia ini merupakan arena pertukaran, tempat di mana orang-orang saling bertukar ganjaran atau hadiah. Yang menjadi tokoh dari aliran ini ialah : George Caspar Hormans, Peter M. Blau, Richard Emerson, John Thibout, dan Horald H. Kelly. Teori ini mempunyai asumsi dasar sebagai berikut:[27]
- Manusia adalah makhluk yang rasional, dia memperhitungkan untung dan rugi.
Teori pertukaran melihat manusia terus menerus terlibat dalam memilih di anatar perilaku alternatif dengan pilihan mencerminkan cost and reward(biaya dan ganjaran) yag diharapkan berhubungan dengan garis-garis perilaku alternatif ini. Rasional atau tidaknya diukur dari perhitungan untung dan rugi. Teori ini dapat dimanfaatkan untuk memahami mengapa kelompok yang berpendidikan rendah tidak memilih-milih pekerjaan dibandingkan dengan yang lebih tinggi.
- Perilaku pertukaran sosial terjadi apabila : (1) perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain; dan (2) perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian\tujuan-tujuan tersebut.
- Transaksi-transaksi pertukaran terjadi hanya apabila pihak yang terlibat memperoleh keuntungan dari pertukaran itu.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Analisis model struktural fungsional ialah model analisis sosiologi yang memusatkan pada integrasi sosial, stabilitas sosial, dan konsesnsus nilai. Menurut Ralp Dahrendorf yang dikutip oleh Damsar, asumsi dasar yang dimiliki oleh teori struktural fungsional ialah sebagai berikut:
a. Setiap masyarakat terdiri dari berbagai elemen yang terstruktur secara relatif, mantap, dan stabil.
b. Elemen-elemen terstruktur tersebut terintegrasi dengan baik
c. Setiap elemen dalam struktur memiliki fungsi, yaitu memberikan sumbangan pada bertahannya struktur itu sebagai suatu sistem
d. Setiap struktur yang fungsional dilandaskan pada suatu konsensus nilai di antara para anggotanya.
Teori model konflik atau struktural konflik menjelaskan bagaimana struktur memiliki konflik. Model ini melihat bahwa setiap struktur memiliki berbagai elemen yang berbeda, yang mana memiliki motif, maksud, kepentingan atau tujuan yang berbeda-beda pula. Perbedaan inilah yang menyumbangkan terjadinya konflik, disintegrasi, dan perpecahan. Ralph Dahendrof yang dikutip oleh Damsar menyatakan bahwa asumsi dasar dari model pendekatan ini ialah:
a. Setiap masyarakat, dalam setiap hal, tunduk pada proses perubahan, perubahan sosial terdapat dimana-mana
b. Setiap masyarakat, dalam setiap hal memperlihatkan pertikaian dan konflik; konflik sosial terdapat di mana-mana.
c. Setiap elemen dalam suatu msayarakat menyumbang disintegrasi dan perubahan
d. Setiap masyarakat didasarkan pada paksaan dari beberapa anggotanya atas orang lain.
Analisis interaksionisme simbolik memahamai realitas sebagai suatu interaksi yang harus dipenuhi. Menurut Turner ada empat asumsi yang melandasi anlisis ini, yaitu:
a. Manusia adalah makhluk yang mampu menciptakan dan menggunakan simbol.
b. Manusia menggunakan simbol untuk saling berkomunikasi
c. Manusia berkomunikasi melalui pengambilan peran (Role Taking)
d. Masyarakat terbentuk, bertahan, dan berubah berdasarkan kemampuan manusia untuk berpikir, mendefinisikan, melakukan refleksi diri, dan melakukan evaluasi.
AnalisisPertukaran melihat bahwa dunia ini merupakan arena pertukaran, tempat di mana orang-orang saling bertukar ganjaran atau hadiah. Yang menjadi tokoh dari aliran ini ialah : George Caspar Hormans, Peter M. Blau, Richard Emerson, John Thibout, dan Horald H. Kelly. Teori ini mempunyai asumsi dasar sebagai berikut:
a. Manusia adalah makhluk yang rasional, dia memperhitungkan untung dan rugi.
b. Perilaku pertukaran sosial terjadi apabila : (1) perilaku tersebut harus berorientasi pada tujuan yang hanya dapat dicapai melalui interaksi dengan orang lain; dan (2) perilaku harus bertujuan untuk memperoleh sarana bagi pencapaian\tujuan-tujuan tersebut.
c. Transaksi-transaksi pertukaran terjadi hanya apabila pihak yang terlibat memperoleh keuntungan dari pertukaran itu.
B. Saran
Dalam penulisan makalah ini, penyusun menyadari masih terlalu bayak kesalahan yang penyusun lakukan dalam penyusunan makalah ini, dan materi yang tersajikan pun masih belum lengkap, hal itu disebabkan karena keterbatasan referensi yang penyusun dapatkan. Untuk itu, harapan penyusun semoga di tahun berikutnya referensi yang didapatkan tentang materi ini semakin banyak sehingga makalah tentang materi ini semakin lengkap dan sempurna.
DAFTAR PUSTAKA
Damsar. 2015. Pengantar Sosiologi Pendidikan. Jakarta : Kencana
Mahmud. 2012. Sosiologi Pendidikan. Bandung : Pustaka Setia
Rasyid, Muhammad Rusydi. 2015. Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi Pendidikan. Makassar : UIN Alauddin Makassar
Syam, Nina W. 2012. Sosiologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi. Bandung : Simbiosa Rekatama Media
Udin, Tamsik. 2014. Sosiologi Pendidikan. Cirebon : Nurjati Press
[1] Damsar, Pengantar Sosiologi Pendidikan, 2015, Kencana, Jakarta, hlm. 9
[2] Mahmud, Sosiologi Pendidikan, 2012, Pustaka Setia, Bandung, hlm. 42
[3]Damsar, Op.cit., hlm. 50
[4] Muhammad Rusydi Rasyid, Pendidikan Dalam Perspektif Teori Sosiologi Pendidikan, 2015, UIN Alauddin Makassar, Makassar, hlm. 276
[5] Mahmud, Op.cit., hlm. 43
[6]Mahmud, Op.cit., hlm. 43-44
[7] Mahmud, Op.cit., hlm. 44-45
[8] Ibid, hlm. 45
[9]Mahmud, Op.cit., hlm. 46-47
[10]Muhammad Rusydi Rasyid, Op.cit., hlm. 277
[11]Damsar, Op.cit., hlm. 51-52
[12] Nina W. Syam, Sosiologi Sebagai Akar Ilmu Komunikasi, 2012, Simbiosa Rekatama Media, Bandung, hlm. 27
[13] Damsar, Op.cit., hlm. 55
[14] Tamsik Udin, Sosiologi Pendidikan, 2014, Nurjati Press, Cirebon, hlm. 59
[15] Mahmud, Op.cit., hlm. 47
[16] Mahmud, Op.cit., hlm. 48
[18] Mahmud, Op.cit., hlm. 50
[19] Ibid, hlm. 50
[21] Mahmud, Op.cit., hlm. 52
[22] Damsar, Op.cit., hlm. 55-58
[23] Nina. W. Syam, Op.cit., hlm. 35
[24]Damsar, Op.cit., hlm. 59
[25]Muhammad Rusydi Rasyid, Op.cit., hlm. 281
[26]Damsar, Op.cit., hlm. 59-62
[27]Damsar, Op.cit., hlm. 62-64