Pembelajaran Tematik Tipe Spider Webbed

Pembelajaran Tematik Tipe Spider Webbed

Oleh: Sri Hendrawati, M.Pd



Pembelajaran tematik adalah bagian dari pembelajaran terpadu (integrated learning) yang merupakan suatu konsep pendekatan belajar mengajar yang melibatkan beberapa bidang studi untuk memberikan pengalaman yang bermakna kepada siswa. Bermakna artinya bahwa dalam pembelajaran terpadu, siswa akan memahami konsep-konsep yang mereka pelajari itu melalui pengalaman langsung dan menghubungkannya dengan konsep yang lain yang sudah mereka pahami (Tim pengembang D-II dan S-2, 1997). Jika dibandingkan dengan pendekatan konvensional, pembelajaran terpadu lebih melibatkan siswa secara aktif secara mental dan fisik di dalam kegiatan belajar mengajar di kelas serta pembuatan keputusan.

Tidak ada definisi tentang pembelajaran terpadu yang sama satu dengan yang lain. Jacobs (Sa�ud, 2006) memandang pembelajaran terpadu sebagai pendekatan kurikulum interdisipliner (interdisciplinary curriculum approach). Pembelajaran terpadu adalah sebuah pendekatan dalam pembelajaran sebagai suatu proses untuk mengaitkan dan mempadukan materi ajar dalam suatu mata pelajaran atau antar mata pelajaran dengan semua aspek perkembangan anak, kebutuhan dan minat anak, serta kebutuhan dan tuntutan lingkungan sosial keluarga. Pada perspektif bahasa, pembelajaran terpadu sering diartikan sebagai pendekatan tematik (thematic approach). Pembelajaran terpadu didefinisikan sebagai proses dan strategi yang mengintegrasikan isi bahasa (membaca, menulis, berbicara, dan mendengar) dan mengkaitkannya dengan mata pelajaran yang lain. Konsep ini mengintegrasikan bahasa (language arts contents) sebagai pusat pembelajaran yang dihubungkan dengan berbagai tema atau topik pembelajaran (Sa�ud, 2006). Pembelajaran terpadu juga sering disebut pembelajaran koheren (a coherent curriculum approach), yang memandang bahwa pembelajaran terpadu merupakan pendekatan untuk mengembangkan program pembelajaran yang menyatukan dan menghubungkan berbagai program pendidikan. Definisi lain tentang pendekatan terpadu adalah pendekatan holistik (a holistic approach) yang mengkombinasikan aspek epistemologi, sosial, psikologi, dan pendekatan pedagogi untuk pendidikan anak, yaitu menghubungkan antara otak dan raga, antara pribadi dan pribadi, antara individu dan komunitas, dan antara domain-domain pengetahuan.

Pada dasarnya model pembelajaran terpadu merupakan sistem pembelajaran yang memungkinkan siswa baik individual maupun kelompok aktif mencari, menggali dan menemukan konsep serta prinsip keilmuan secara holistik, bermakna dan otentik. Pembelajaran terpadu akan terjadi apabila peristiwa-peristiwa otentik atau eksplorasi tema menjdai pengendali di dalam kegiatan belajar mengajar. Dengan berpartisipasi di dalam eksplorasi tema tersebut, para siswa belajar sekaligus melakukan proses dan siswa belajar berbagai mata pelajaran secara serempak. Sedangkan, UNESCO memberikan definisi tentang pembelajaran terpadu seperti yang dikemukakan oleh Anna Poedjadi (Karli, 2003) bahwa pengajaran terpadu terdiri dari pendekatan-pendekatan di mana konsep dan prinsip pembelajaran disajikan dalam satu paket pembelajaran sehingga tampak adanya satu kesatuan pemikiran ilmiah dan fundamental.

Menurut Fogarty (1991) dalam bukunya How To Integrate The Curricula , ada 10 macam model pembelajaran terpadu, seperti : fragmented (penggalan), connected (keterhubungan), nested (sarang), sequenced (pengurutan), shared (irisan), webbed (jaring laba-laba), threaded (bergalur), integrated (terpadu), immersed (terbenam), dan networked (jaringan kerja).

Pembelajaran tematik model Jaring Laba-laba (Spider Webbed) adalah model pembelajaran terpadu yang menggunakan pendekatan tematik (Fogarty, 1991). Pendekatan ini pengembangannya dimulai dengan menentukan tema tertentu. Setelah tema disepakati, maka dikembangkan menjadi subtema dengan memperlihatkan keterkaitan dengan bidang studi lain. setelah itu dikembangkan berbagai aktivitas pembelajaran yang mendukung. Tema merupakan pengikat setiap kegiatan pembelajaran baik dalam mata pelajaran tertentu maupun lintas mata pelajaran. Dengan demikian model ini merupakan model yang mempergunakan pendekatan tematik lintas bidang studi. Dalam pembahasannya tema itu ditinjau dari berbagai mata pelajaran. Sebagai contoh, tema �Matahariku� dapat ditinjau dari berbagai mata pelajaran seperti IPA, Matematika, Bahasa Indonesia dan Seni Budaya dan Keterampilan.

Model ini sangat tepat diterapkan di sekolah dasar karena pada umumnya siswa pada tahap ini masih melihat segala sesuatu sebagai satu keutuhan (holistik), perkembangan fisiknya tidak pernah bisa dipisahkan dengan perkembangan mental, sosial, dan emosional, terutama di kelas-kelas awal sekolah dasar (kelas I dan II).

Penetapan tema dilakukan dengan dua cara (Sa�ud, 2006). Pertama, tema ditentukan terlebih dahulu yaitu dari lingkungan yang terdekat dengan siswa, dimulai dari hal yang termudah menuju yang sulit, dari hal yang sederhana menuju yang kompleks, dan dari hal yang konkrit menuju ke hal yang abstrak. Cara ini dilakukan untuk kelas-kelas awal SD/MI (kelas I dan II). Tema-tema yang dikembangkan seperti: diri sendiri, keluarga, masyarakat, pekerjaan, serta tumbuhan dan hewan. Setelah tema ditentukan kemudian dilakukan pemetaan kompetensi dasar dan indikator yang diperkirakan relevan dengan tema-tema tersebut. Kedua, tema ditentukan setelah mempelajari kompetensi dasar dan indikator yang terdapat dalam masing-masing matapelajaran. Penetapan tema dapat dilakukan dengan melihat kemungkinan materi pelajaran yang dianggap dapat memeprsatukan beberapa kompetensi dasar pada beberapa matapelajaran yang akan dipadukan. Cara ini dilakukan untuk jenjang SD/MI kelas tinggi (kelas III-VI) serta SMP/MTs pada matapelajaran Pengetahuan Sosial dan Pengetahuan Alam.

Keunggulan model ini antara lain, faktor motivasi berkembang karena adanya pemilihan tema yang didasarkan pada minat siswa. Mereka dapat dengan mudah melihat bagaimana kegiatan yang berbeda dan ide yang berbeda dapat saling berhubungan, kemudahan untuk lintas semester dalam KTSP sangat mendukung untuk dapat dilaksanakannya model pembelajaran ini (Sa�ud, 2006). Sedangkan kelemahan model ini antara lain, kecenderungan untuk mengambil tema sangat dangkal sehingga kurang bermanfaat bagi siswa. Selain itu seringkali guru terfokus pada kegiatan sehingga materi atau konsep menjadi terabaikan. Perlu ada keseimbangan antara kegiatan dan pengembangan materi pelajaran.

Pembelajaran tematik menyediakan keluasan dan kedalaman implementasi kurikulum, menawarkan kesempatan yang sangat banyak pada siswa untuk memunculkan dinamika dalam pendidikan. Unit yang tematik adalah epitome dari seluruh bahasan pembelajaran yang memfasilitasi siswa untuk secara produktif menjawab pertanyaan yang dimunculkan sendiri dan memuaskan rasa ingin tahu dengan penghayatan secara alamiah tentang dunia di sekitar mereka.

Samuel J.Hausfather (1993) melakukan penelitian dengan metode action research untuk memperoleh gambaran kemungkinan-kemungkinan yang terjadi di dalam kelas selama pembelajaran tematik berlangsung. Ia mengemukakan bahwa keberhasilan pembelajaran ditunjang oleh peran guru sebagai aktor utama dalam mengimplementasikan kurikulum dengan berbekal dengan teori-teori yang sudah dipelajarinya. Dalam kegiatan pembelajaran terdapat kompleksitas yang tidak bisa diabaikan baik oleh guru maupun siswa, baik yang terjadi di dalam dan di luar kelas, pengetahuan siswa dan guru serta hal-hal apa yang mungkin dilakukan oleh guru dan siswa dalam kegiatan pembelajaran.

Pembelajaran tematik ternyata dapat menjadi solusi dalam upaya pemerintah Indonesia meningkatkan kualitas pembelajaran khususnya di kelas rendah. Beberapa penelitian tindakan kelas seperti yang telah dilakukan oleh Lely Halimah (2000), menyatakan bahwa pelaksanaan model pembelajaran terpadu unit tematik ini, telah dapat menumbuh kembangkan keberanian dan kemampuan peserta didik dalam berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Indonesia secara produktif (berbicara). Nirva Diana (1999) mengungkapkan pula bahwa pembelajaran terpadu jaring laba-laba dapat mencapai tujuan pengajaran yang berkenaan dengan penguasaan konsep juga banyak menghasilkan efek nuturan, sejalan dengan penelitian Dwi Yuli Susanti (2008) bahwa melalui pembelajaran tematik hasil belajar Matematika siswa mengalami peningkatan. Penelitian yang dilakukan oleh Suryanti dan Wahono (2007) mengungkapkan bahwa siswa yang belajar melalui pembelajaran tematik secara utuh dengan ditunjang oleh bahan ajar yang disusun secara tematik dapat meningkatkan hasil rerata IPA yang relatif tinggi pada siswa kelas 1 di semester 1, tidak kalah dengan rerata mata pelajaran lain yang diintegrasikan. Penerapan pembelajaran tematik yang menghasilkan hasil belajar yang relatif tinggi ini ternyata konsisten dengan temuan program Connecting Learning Assures Succesfull Students (CLASS) yang melaporkan hasil skor Indiana Statewide Tesing for Educational Progress (ISTEP) pada siswa SD yang menerapkan pembelajaran tematik lebih tinggi daripada siswa SD yang lain di negara tersebut, dan bahwa skor pada SD CLASS terus meningkat dari waktu ke waktu (Buechler,M.1993). Hasil penelitian ini juga selaras dengan penelitian yang dilakukan oleh Ruth (1998), bahwa selama periode dua tahun, skor siswa yang menggunakan pembelajaran tematik menunjukkan peningkatan sebesar 16%, sedangkan sekolah kontrol hanya mencapai peningkatan sebesar 3%. Selarasnya hasil penelitian ini memperkuat pendapat Rohde, et.al (1991) yang menyatakan bahwa: (1) tema memberikan pengalaman langsung dengan objek-objek nyata bagi anak untuk memanipulasinya, (2) tema menciptakan kegiatan yang memungkinkan anak untuk menggunakan pemikirannya, (3) membangun kegiatan sekitar minat-minat umum anak, (4) menyediakan kegiatan dan kebiasaan yang menghubungkan semua aspek perkembangan kognitif, social, emosi dan fisik, (5) mengakomodasi kebutuhan anak-anak untuk bergerak dan melakukan kegiatan fisik, interaksi sosial, kemandirian, dan harga diri yang positif, (6) menghargai individu, latar belakang kebudayaan, dan pengalaman di keluarga yang dibawa anak-anak ke kelasnya, dan (7) menemukan cara-cara untuk melibatkan anggota keluarga anak.

Penelitian tentang pembelajaran tematik ini dilakukan pula oleh Turpin dan Cage (1998) pada siswa kelas VII yang menggunakan kurikulum IPA terpadu. Hasilnya menunjukkan bahwa pembelajaran tematik memberikan kontribusi yang sangat signifikan bagi pencapaian siswa dalam mempelajari sains, kemampuan keterampilan proses sains siswa serta kepemilikan sikap ilmiah. Siswa yang belajar menggunakan kurikulum IPA terpadu menunjukkan hasil belajar yang lebih baik dibandingkan siswa yang tidak menggunakan pembelajaran tersebut. Penelitian ini sejalan dengan penelitian Hendrawati (2009) yang dilakukan pada siswa SD kelas 2 di sebuah SD Kota Bandung. Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa siswa yang menerapkan pembelajaran tematik tipe spiderwebbed memperoleh hasil belajar IPA yang lebih tinggi dibandingkan siswa yang belajar secara konvensional, dalam hal penguasaan konsep IPA dan keterampilan proses sains.

Dengan demikian, pembelajaran tematik penting dilakukan di sekolah dasar khususnya kelas rendah agar mampu meningkatkan kualitas dan hasil pembelajaran siswa.