Keterampilan Proses Sains Bagi Siswa SD Kelas Rendah

Keterampilan Proses Sains Bagi Siswa SD Kelas Rendah
Oleh: Sri Hendrawati, M.Pd

Semiawan (1992) mengatakan bahwa keterampilan proses adalah keterampilan siswa untuk mengelola hasil yang didapat dalam kegiatan belajar mengajar yang memberi kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk mengamati, menggolongkan, menafsirkan, meramalkan, menerapkan, merencanakan penelitian dan mengkomunikasikan hasil perolehannya tersebut.
Keterampilan proses sains adalah keterampilan intelektual yang khas yang digunakan oleh semua ilmuwan serta dapat digunakan untuk memahami fenomena apa saja, dimana keterampilan ini diperlukan untuk memperoleh, mengembangkan dan menerapkan konsep-konsep, prinsip hukum dan teori-teori sains. Melalui keterampilan proses sains ini siswa diharapkan dapat mengalami proses sebagaimana yang dialami para ilmuan dalam memecahkan misteri-misteri alam dan akan menjadi roda penggerak penemuan, pengembangan fakta dan konsep serta penumbuhan dan pengembangan sikap, wawasan dan nilai.
Menurut Gega (1977) untuk membantu menumbuhkan kemampuan berpikir siswa dalam memahami IPA dibutuhkan sedikitnya enam keterampilan proses sains yang perlu dikembangkan dalam proses pembelajaran, yaitu : mengamati (observing), mengelompokkan (classifying), mengukur (measuring), mengkomunikasikan (communicating), membuat kesimpulan sementara (inferring), dan melakukan eksperimen (experimenting).
Senada dengan apa yang dikemukakan oleh Gega (1977), Bergman dan Jacobsons (1980) mengemukakan bahwa keterampilan proses sains perlu dikembangkan untuk mendukung pembelajaran inkuiri dalam IPA. Terdapat beberapa keterampilan proses sains yang sangat penting untuk dikuasai oleh siswa, yaitu: observation, sorting, classification, serial ordering, operational definition, dan communication. Lebih lanjut, dikemukakan pula bahwa pembelajaran inkuiri dalam IPA menuntut siswa untuk memiliki kemampuan Matematika dan kemampuan membaca. Pembelajaran IPA menyediakan wahana belajar bagi siswa untuk melakukan banyak aktivitas konkrit dan langsung yang membutuhkan kemampuan Matematika dan bahasa yang baik demi tercapainya tingkat pemahaman siswa terhadap konsep atau materi IPA yang dipelajari (Bergman dan Jacobsons, 1980).
Menurut Standar Isi Permendiknas No.22 tahun 2006 mengenai kurikulum IPA, dikemukakan bahwa pembelajaran IPA pada jenjang sekolah dasar sebaiknya dilakukan secara inkuiri ilmiah (scientific inquiry). Hal ini menempatkan inkuiri menjadi hal yang fundamental dalam proses pembelajaran IPA. Pembelajaran inkuiri dalam IPA dapat dilaksanakan bersamaan dengan pengembangan aspek keterampilan proses sains. Namun, sangat disayangkan bahwa dalam standar isi tidak mencantumkan kemampuan inkuiri dan keterampilan proses apa yang sebaiknya dikembangkan dalam pembelajaran IPA pada jenjang sekolah dasar.
Hal ini berbeda dengan kondisi di beberapa negara maju yang mencantumkan standar kompetensi yang harus dikuasai oleh siswa berkenaan dengan kemampuan inkuiri. Misalnya saja, kurikulum National Academy of Science yang memberikan batasan/standar kompetensi kemampuan inkuiri yang harus dimiliki siswa. Disebutkan bahwa kemampuan inkuiri siswa pada jenjang TK sampai SD kelas 4, adalah: (1) kemampuan untuk mengajukan pertanyaan mengenai objek, organisme, dan peristiwa yang terjadi dalam lingkungan, (2) merencanakan dan melakukan penyelidikan sederhana, (3) menggunakan peralatan sederhana untuk mengumpulkan data, (4) menggunakan data untuk memberikan penjelasan yang rasional mengenai hasil temuan, dan yang terakhir, (5) mengkomunikasikan hasil penelitian dengan penjelasannya. Kelima standar ini berimplikasi bahwa pembelajaran inkuiri ini harus pula mengembangkan aspek keterampilan proses IPA dalam proses pembelajaran. Begitu banyak interpretasi mengenai keterampilan proses sains yang sebaiknya dikembangkan dalam pembelajaran pada jenjang pendidikan dasar. Harlen dan Jelly (1997) mengemukakan bahwa terdapat tujuh aspek fundamental yang harus dimiliki siswa, yaitu observing, questioning, hypothesizing, predicting, investigating, interpreting dan communicating.
Untuk memahami keterampilan proses yang mana yang cocok untuk dikembangkan bagi siswa SD, sebaiknya disesuaikan dengan karakteristiknya terutama usia. Pendekatan Developmentally Appropriate Practice (DAP) dalam pembelajaran IPA menjadi sangat penting untuk dijadikan pertimbangan dalam mendesain sebuah pembelajaran IPA. Menurut Charlesworth & Lind. (1999), pengembangan keterampilan proses sains dapat dilakukan dengan mengacu pada pendekatan DAP. Terdapat tiga tahapan pengembangan keterampilan proses sains, yaitu: pertama, tahap Basic (Dasar) yang diperuntukkan bagi anak usia 5 tahun ke atas yang mengembangkan lima buah keterampilan proses sains tingkat dasar, yaitu mengamati, membandingkan, mengelompokkan, mengukur dan mengkomunikasikan. Kedua, tahap intermediate yang diperuntukkan bagi anak pada rentang usia 9-11 tahun yang mengembangkan 2 aspek keterampilan proses sains, yaitu memprediksi dan melakukan inferring (pengambilan kesimpulan). Tahapan ketiga, adalah tahap advanced yang diperuntukkan bagi anak usia 12 tahun ke atas yang mengembangkan dua aspek keterampilan proses sains, yaitu merumuskan hipotesis dan keterampilan menggunakan dan mengontrol variabel.
Hal ini senada dengan pendapat Semiawan (1992) bahwa penerapan keterampilan proses harus disesuaikan dengan taraf perkembangan anak sejalan dengan hasil penelitian dalam psikologi belajar. Untuk siswa SD kelas rendah (kelas I-kelas III), aspek keterampilan proses yang dapat dikembangkan adalah komunikasi dan observasi, yang didalamnya termasuk pula aspek keterampilan klasifikasi (mengelompokkan dan membandingkan), perhitungan, dan pengukuran.
Mulyani (2001) mengemukakan bahwa implementasi keterampilan proses dalam suatu proses pembelajaran dapat dikembangkan secara terpadu, yakni antara satu keterampilan dengan keterampilan lainnya sekaligus terjawantahkan. Lebih lanjut dikemukakan bahwa seorang guru dapat pula memberikan perhatian terhadap satu jenis keterampilan yang dikembangkan meskipun pada kenyataannya tidak akan pernah lepas dari keterkaitannya dengan keterampilan lainnya. Selain itu, dapat juga untuk jenis-jenis keterampilan tertentu dipandang belum memadai untuk diimplementasikan pada peserta didik yang duduk dikelas rendah (kelas I-III), seperti halnya keterampilan proses yang termasuk kelompok keterampilan terintegrasi.
Berdasarkan pendapat beberapa ahli di atas, maka dapat ditentukan jenis keterampilan proses sains yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran pada kelas rendah, terutama dalam hal ini kelas II. Berikut ini adalah jenis keterampilan proses yang dapat dikembangkan dalam pembelajaran beserta indikatornya, yaitu :
1) Mengamati (Observing), menggunakan panca indera untuk mengumpulkan data dan menggunakan fakta yang relevan.
2) Membandingkan (Comparing & Contrasting), menemukan persamaan dan perbedaan dari objek yang diamati.
3) Mengelompokkan (Classifying), menghubungkan hasil pengamatan, mengontraskan ciri-ciri serta mencari dasar pengelompokkan.
4) Mengukur (Measuring), menggunakan alat bantu pengukuran baku (satuan panjang, waktu, berat) untuk mengukur suatu objek pada saat kegiatan pengamatan secara kuantitatif
5) Mengkomunikasikan (Communicating), mengemukakan ide atau gagasan secara lisan maupun tulisan, membaca diagram, gambar, tabel, serta mendiskusikan hasil kegiatan atau pengamatan terhadap suatu peristiwa.
Keterampilan proses sains tidak hanya dikembangkan dalam pembelajaran IPA, keterampilan ini merupakan bagian penting dari berbagai mata pelajaran lainnya seperti Matematika dan Bahasa. Sejumlah penelitian mengindikasikan bahwa keterpaduan antara pembelajaran sains dengan membaca dan Matematika telah menghasilkan dampak positif bagi siswa. Dalam artikel yang berjudul �Science Process Skills, How can teaching science process skills improve student performance in reading, language arts, and mathematics?�, Dr. Karen Ostlund (1998) mengemukakan beberapa hasil penelitian mengenai hubungan antara keterampilan proses sains dengan perkembangan bahasa dan Matematika sebagai berikut:
1) Hubungan antara Kegiatan membaca dan KPS
� Penelitian menunjukkan bahwa pengalaman langsung dalam pembelajaran sains dimana salah satunya siswa berinteraksi secara langsung dengan material/bahan belajar dapat menjadi sarana atau memfasilitasi perkembangan kemampuan berbahasa siswa (Wellman, 1978). Kegiatan membaca dan aktivitas sains menekankan pada kemampuan berpikir dan keduanya melibatkan proses berpikir. Ketika guru membantu siswa mengembangkan keterampilan proses sains, proses membaca secara simultan juga turut dikembangkan (Mechling & Oliver, 1983 and Simon & Zimmerman, 1980).
� Kegiatan hands-on untuk memberikan pengalaman langsung bagi siswa dalam sains adalah kunci bagi hubungan antara keterampilan proses baik dalam sains maupun dalam kegiatan membaca (Lucas & Burlando, 1975).
� Keterampilan proses sains merupakan pendamping kegiatan membaca. Misalnya ketika guru menjelaskan tentang sains, maka siswa belajar untuk menentukan karakteristik yang penting, menyebut satu persatu karakteristik, menggunakan istilah yang sesuai, dan menggunakan sinonim yang tepat yang merupakan keterampilan membaca yang penting (Carter & Simpson, 1978).
� Ketika siswa menggunakan keterampilan proses sains mengamati, mengidentifikasi, dan mengklasifikasikan, mereka dapat membedakan antara vocal dan konsonan dan belajar mengenai bunyi huruf, kata dan kalimat. (Murray & Pikul ski, 1978).
� Keterlibatan siswa dalam keterampilan proses memudahkan siswa untuk mengenali kata kunci secara kontekstual dan terstruktur dan memudahkan siswa menginterpretasikan data dalam paragraf. Keterampilan proses sains penting bagi berpikir logis dan menjadi pondasi untuk kemampuan dasar belajar membaca siswa (Barufaldi & Swift, 1977).
� Pembelajaran sains menyediakan alternatif strategi mengajar yang dapat memotifasi siswa yang mengalami kesulitan dalam membaca (Wellman, 1978).
� Guszak mengemukakan bahwa kesiapan membaca adalah kemampuan yang kompleks. Dari tiga kemampuan kompleks tersebut, dua diantaranya dapat dipengaruhi secara langsung dengan keterampilan proses, yaitu: faktor fisik (kesehatan, pendengaran, penglihatan, berbicara dan motorik); dan faktor pemahaman (konsep, proses). Ketika siswa melihat, mendengar dan berbicara tentang pengalaman sains, pemahaman dan persepsi siswa terhadap konsep dan proses dapat improve (Barufaldi & Swift, 1977 and Bethel, 1974).
� Program sains yang mengembangkan pengalaman hands on dapat meningkatkan perkembangan keterampilan proses anak-anak. Pencapaian keterampilan proses yang dikembangkan dengan pengalaman sains memiliki korelasi yang positif dengan perkembangan kesiapan membaca (Nicodemus, 1968).
� Penelitian tentang hubungan antara menulis kreatif dan pengalaman sains menunjukkan bahwa ketika siswa menulis bahan bacaannya sendiri, maka skor menulis siswa mengalami peningkatan secara signifikan (Jenkins, 1981).
� Data di sebuah sekolah menunjukkan peningkatan kemampuan komunikasi oral siswa yang signifikan ketika mereka berpartisipasi dalam penelitian Peningkatan kurikulum sains dan pendekatan keterampilan proses sains. Peningkatan kemampuan siswa yang menggunakan pendekatan keterampilan proses lebih baik dalam tes bahasa, meliputi kosakata, struktur kalimat, dan kemampuan mengklasifikasi, menyampaikan dan menerima kemampuan komunikasi secara oral (Bethel, 1974).
2) Hubungan antara Matematika dan KPS
� Sains dan Matematika memiliki keterpaduan. Matematika secara luas dapat diartikan sebagai bahasa sains. Perkembangan kemampuan logika Matematika dan pemecahan masalah adalah tujuan pembelajaran sains dan Matematika. (National Council of Teachers of Mathematics, 1980 and National Science Teachers Association, 1964 & 1983).
� Sains dan Matematika saling menguatkan, dengan cara memfasilitasi perkembangan kognitif menjadi lebih baik (Almy, 1966).
� Penelitian menunjukkan bahwa keragaman pengalaman sains dapat memfasilitasi perkembangan kognitif siswa dari satu level ke level selanjutnya. Hubungan antara Matematika dan sains diperkuat dengan fakta bahwa pencapaian dalam Matematika berhubungan dengan tingkatan perkembangan kognitif (Stafford & Renner, 1976).
� Melibatkan siswa dalam kegiatan hands-on dimana siswa menghitung dan memanipulasi objek, menyediakan pengalaman yang berkontribusi bagi pemahaman mereka terhadap angka/bilangan. Dengan demikian, pengalaman sains memberikan manfaat bagi perkembangan dasar Matematika dalam hal operasi Matematika, diantaranya menghitung lebar permukaan, korespondensi satu-satu, mengurutkan dan mengklasifikasikan (Campbell, 1972).
� Kontribusi pengalaman sains bagi perkembangan kemampuan operasi Matematika diperkuat oleh penelitian. Dalam sebuah penelitian tentang hubungan antara kemampuan siswa dalam memahami bilangan dalam pembelajaran Matematika-sains menunjukkan bahwa siswa yang memiliki kemampuan tersebut lebih berhasil menguasai konsep dan proses Matematika dibandingkan siswa yang hanya menerima program pengajaran Matematika saja (Almy, 1966). Penelitian selanjutnya menunjukkan bahwa pengalaman sains tidak hanya meningkatkan kemampuan siswa Taman Kanak-kanak (TK) dan siswa SD kelas 1 saja, melainkan dapat memfasilitasi perpindahan dari tingkatan perkembangan kognitif pada siswa pada jenjang kelas yang lebih tinggi (Froit, 1976 and Tipps, 1982).
� Penelitian menunjukkan bahwa sains dapat digunakan untuk memperluas pendekatan mengajar pemecahan masalah dalam Matematika. Dengan berusaha untuk mengungkapkan masalah sains dalam kehidupan sehari-hari adalah upaya yang potensial untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah siswa, dan memberikan manfaat bagi siswa untuk memecahkan masalah dalam berbagai keadaan.(Coffia, 1971 & Shann, 1977).
� Melalui pengalaman sains, siswa dapat mengaplikasikan Matematika ke dalam masalah kehidupan sehari-hari. Pada tingkatan sekolah dasar, guru dapat menyediakan pengalaman hands-on dan kegiatan sains yang memfasilitasi pembelajaran konsep aritmetika seperti pengurutan, pengelompokkan dan pecahan (Mechling & Oliver, 1983).