Dilema Program Pendidikan Profesi Guru / PPG - Program pendidikan profesi guru (PPG) dilakukan berdasarkan Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009, wacana Program Pendidikan Profesi Guru Pra Jabatan. Dalam peraturan tersebut, dijelaskan bahwa kegiatan PPG bertujuan untuk mempersiapkan lulusan S1 kependidikan / non-kependidikan sehingga mendapat sertifikasi guru. Sertifikasi guru dikeluarkan oleh Lembaga Penghasil Tenaga Keguruan (LPTK) sebagai tanda bahwa, guru tersebut ialah guru profesional.
Selain itu, kegiatan PPG juga diatur dalam Undang-Undang (UU) Republik Indonesia Nomor 14 Tahun 2005 wacana Guru dan Dosen Pasal 8. Dalam pasal tersebut dijelaskan bahwa guru wajib mempunyai kualifikasi akademik, kompetensi, akta pendidik, sehat jasmani dan rohani, serta mempunyai kemampuan untuk mewujudkan tujuan pendidikan nasional.
Namun sudah barang tentu bahwa kegiatan ini menuai banyak Koreksi dari aneka macam pihak terkati dengan permasalahan yang dialami oleh calon penerima PPG.
Materi PPG sudah ada di kegiatan Sarjana
Peserta PPG yaitu seorang sarjana pendidikan, dimana dikala kuliah sudah digodok untuk mempersiapkan dan mencetak guru professional. Misalnya mahasiswa fakultas pendidikan prodi pendidikan guru sekolah dasar (PGSD), dikala kuliah mereka memang dipersiapkan untuk menjadi guru SD / MI. Atau pendidikan guru taman kanak-kanak atau sejenisnya (PGTK / PGRA / PGPAUD), mereka memang sudah digodok oleh dosennya untuk menjadi guru TK/RA/PAUD. Dan seterusnya…
Makara berdasarkan saya kurang ideal (bukan tidak ideal) dengan kegiatan pendidikan profesi guru (PPG) yang materinya sama dengan bahan dikala kuliah di fakultas pendidikan.
Biaya yang cukup besar
Menurut aneka macam gosip bahwa biaya kegiatan PPG ditanggung oleh pemerintah terkait (biaya kuliah). Namun sebab lokasi LPTK yang cukup jauh mengharuskan calon penerima mempersiapkan biaya hidup yang cukup besar versi kantong guru non PNS yang gaji bulanannya spesialuntuk angka ratusan ribu dari pihak sekolah / madrasah. Biaya hidup menyerupai sewa kamar kos untuk menginap, makan, dan biaya lain yang tak terduga. Bahkan, ada mitra yang ikut PPG tahun kemudian (2018) hingga menghabiskan biaya ± Rp. 10.000.000; dan itu dana yang sangat besar tanpa ada pemasukan sebab harus meninggalkan pekerjaan sampingan dirumah masing-masing.
Harus rela berkorban meninggalkan tanggung jawaban
Seperti yang saya katakan tadi bahwa lokasi LPTK sangat jauh antar kota bahkan ada yang antar provinsi, bisa jadi anda harus menetap sementara selama 3 bulan. Tanggungjawaban disini spesialuntuk secara personal guru, saya pisah untuk poin penting saja. Yaitu:
- Harus cuti mengajar meninggalkan siswa/i nya di sekolah / madrasah. Hal ini untuk sebagian guru mungkin masih bisa diwakilkan kepada guru yang lain atas pemberian dari pihak sekolah / madrasah.
- Tanggungjawaban keluarga; lebih banyak didominasi guru sudah mempunyai suami / istri, bahkan punya anak. Jika anda seorang suami, maka anda harus meninggalkan kewajiban sebagai suami menyerupai memdiberi nafkah lahir batin, siapa yang akan bekerja mengais rejeki untuk kebutuhan istri dan belum dewasa dirumah. Jika anda seorang istri dan punya anak masih kecil bahkan masih menyusui, apakah anda akan meninggalkan mereka demi merubah status menjadi guru sertifikasi???
- Tanggungjawaban moral; kalau anda seorang tokoh masyarakat, dimana anda mengisi majelis taklim minimal 1 kali dalam seminggu. Siapa yang akan mengisi kajian kitab yang sudah anda jalani selama ini.
Secara umum, tentu saja menjadi keinginan besar bahwa program sertifikasi tidak mempersusah situasi dan kondisi masing-masing guru di seluruh penjuru negeri. Maka berdasarkan saya kegiatan PPG perlu ada pengkajian ulang semoga tidak menimbulkan masalah, atau setidaknya meminimalisir permasalahan yang ada.
Seperti yang sudah saya sebutkan diatas bahwa kegiatan PPG yang mengacu pada Peraturan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor 8 Tahun 2009, bertujuan untuk mencetak guru yang professional dan berkarakter. Namun ada banyak cara untuk mencapai itu tiruana semisal ada petes / diklat khusus guru, dan sebagainya. Untuk sekolah / madrasah yang ada di kota bahkan sekolah elit, urusan diklat / petes / workshop pendidikan bukanlah hal baru. Namun untuk forum yang ada di desa-desa tentu sangat jarang ada hal semacam ini.
Jika memang PPG termasuk satu-satunya kegiatan yang harus dilakukan, sebaiknya lokasi LPTK nya yang satu kabupaten / kota dengan calon peserta. Sehingga bisa memperkecil anggaran biaya hidup dan tidak meninggalkan tanggunjawaban yang ada sebab penerima bisa berangkat dari rumah masing-masing.
melaluiataubersamaini harapan, pendidikan di Indonesia lebih maju dan berkarakter. Amin…