Ketika melihat temanku terpecah, tersayat hati ini. Ya, ini adalah jalan yang akan mendewasakan kita.
Seperti biasa, orang-orang yang ada disekitarku menganggapnya tidak         ada, tapi aku ada dan berguna. Mereka tidak pernah bercerita kepadaku,         tapi aku selalu mengatahui apa yang mereka bicarakan. Kadangkala,         mereka menyiksaku dengan injakannya yang membekas. Tapi, seperti biasa,         aku hanya mendiamkannya. Aku tidak boleh membalas pada orang orang yang         menyakiti aku.     
Dibalik semua kesedihanku yang tidak dihargai dan selalu menderita, aku         terhibur dengan cerita mereka yang bahagia, atau hatiku akan lebih         teriris sakit -lebih dari perlakukan mereka yang kejam- ketika aku         mendengar kesedihan orang-orang yang ada disekitarku.     
Akhir akhir ini aku mendengar keluh kesah dari gadis-gadis cantik yang         berkerumun, berbisik ketika pelajaran berlangsung. Awalnya aku merasa         geram pada mereka karena tidak menghargai dosennya yang sedang membagi         ilmu. Saat berlangsungnya pembelajaran, seharusnya mereka         mendengarkannya dengan baik, tapi apa yang mereka lakukan justru         berbicara satu sama lain- kurang pantas sebagai mahasiswa. Bagaimana         negeri ini bisa maju jika para mahasiswanya seperti ini?     
Tapi, ketika aku mendengarkan bisikan mereka yang sangat seru, aku         tergelitik juga untuk lebih jauh mendengarkan.     
Empat gadis ini menggunjingkan teman satu gengnya yang dianggapnya         telah berkhianat, berbohong, iri hati dan sombong. Itulah kata-kata         yang aku tangkap dari bisikan mereka yang kadangkala terhenti ketika         Pak Dahidi mendehem agar mendapatkan perhatian dari mahasiswanya.     
“Kamu ingat ketika dia mengaku punya pacar yang bernama Ari, terus kita         pengen dikenalkan pada kita? Bohong. Kita sudah menelepon Ari, tapi         justru Ari bilang nggak tahu, dan kita pertemukan Ari dengan Aisha,         tapi justru Ari bilang nggak kenal. Kalau aku mah udah benci tingkat         sembilan. Jiijik lihat mukanya.” Ucap Disti, sambil mengharap         persetujuan dari yang lain.     
“Bener. Ketika aku beli HP baru juga ia nggak mau kalah sampai harus         beli HP yang sama. Sampai-sampai kita harus ke BEC pada malam hari         hanya agar esoknya ia juga bisa memperlihatkan HP baru itu.” Timpal         teman Disti yang memakai baju hijau.     
“Udah deh, ngapain kita ngomongin Si Aisha Pengkhianat itu,” usul Meli.     
Semua mengangguk setuju dan kembali mengikuti kegiatan perkuliahn         dengan pikiran satu: Betapa menjengkelkannya punya teman yang bernama         Aisha.     
Bisikan yang dilakukan empat gadis cantik itu bukanlah yang pertama         kali, tapi puluhan kali aku mendengarnya. Awalnya mereka adalah Lima         gadis yang sangat kompak dan seru, sampai-sampai mahasiswa lain merasa         kehilangan jika tidak ada mereka. Mereka seolah pencair suasana tatkala         kebisuan melanda. Celotehan mereka yang spontan selalu menggugah kita         untuk tersenyum.     
Keretakan dalam diri mereka aku ketahui ketika aku melihat Aisha duduk         terpinggir tanpa senyuman. Aisha selalu menghindari teman satu gengnya.         Anggota geng tersebut juga merasa bersyukur tidak berdekatan dengan         Aisha. Mungkin merasa najis atau apa, jika duduk berdekatan dengannya.     
Orang yang aku ketahui bertanya tentang keretakan kelompok tersebut         adalah ketua kelas mereka yang bernama Aji. Aji selalu memperhatikan         teman-temannya. Entah kenapa ia merasa ganjil dengan suasana yang         ditimbulkan. Suasana yang dulu selalu cair kini seolah beku, Walaupun         kadangkala ada juga lelucon dari yang lain.     
“Hei, kalian lagi marahan ya ama Aisha. Kasihan tahu. Ia selalu         sendirian dan kelihatan sedih. Bagusan kayak dulu, kompak.”     
“Ji, kamu nggak tahu apa aja kebusukan yang ia timbulkan. Kami sakit         hati. Sakit. Kami pernah menasihati dia dan memberinya beberapa kali         kesempatan agar berubah. Tapi apa yang kami dapat? Kami kembali         dibohongi. Coba kamu bayangkan kalau kamu dibohongi oleh teman         terbaikmu berkali kali?”     
“Iya, tapi…kasih….” Meli memotong pembicaraan..     
Meli seolah yang paling berhak untuk membeberkan semua kesalahan yang         pernah Aisha lakukan.     
“Jangan pernah kasihan padanya. Kamu pernah dapat SMS kalau ia         kemalingan bukan? Bohong. B-O-H-O-N-G. Setelah kami tahu kalau kamu         dapat SMS yang isinya ia kemalingan, kami sebagai temannya langsung         khawatir dan segera datang menjenguk. Tapi, apa yang kami dapat         setibanya disana? Ia dengan santai menjawab kalau kosannya tidak         terjadi apa apa. Malahan ia sedang ngerujak bareng temannya disitu. Itu         yang namanya kemalingan? Bullshit!” Meli mengatakannya dengan berapi         api. Mukanya sampai merah geram menceritakan kebusukan Aisha.     
“Kami pernah menasihatinya dengan yang baik-baik sampai dengan yang         keras. Kami marah marah pada dia, kenapa dia harus berbohong. Kami         menangis bersama, tapi dia tetap aja begitu. Akhirnmya kami bosan dan         lebih baik meninggalkan orang yang seperti itu. Jijik jijik jijik.”     
Aji hanya mendengarkan ucapan mereka dengan seksama, ia sudah berusaha         mendamaikan beberapa temannya, tapi masih gagal. Semoga teman yang lain         juga berusaha mendamaikan mereka.     
Di jumat sore, aku mendengar isak tangis Aisha dan keluhannya yang         pelan. Ia mengeluh sedih dan seolah tidak ada yang berusaha         membantunya. Aku ingin sekali menghibur, tapi aku tidak bisa bicara.     
Aku mencoba memberikan senyum berwarnaku yang cerah ketika dia         memandangku, tapi ia hanya menganggapku barang mati, tak bernyawa dan         tak berguna. Dia hanya lewat dan tidak memberikan penghargaan untuk         usahaku.     
Aku mengeluh juga. Kenapa mereka tidak pernah menganggapku ada dan         berguna. Jika mereka mengagangapku ada, maka sudah pasti aku akan         senang dan merekapun bisa menceritakan segala sesuatunya padaku, karena         aku adalah pendengar yang baik.     
Hem…….     
Eh, kenapa Aisha kembali lagi.     
Aisha kembali memandangi seluruh isi kelas. Dia berkata pelan, tapi         sangat jelas.     
“Kenapa kalian tidak biasa mempercayai aku lagi? Aku kesepian. Mana         teman-temanku yang selalu berkata akan membantu jika kesedihan menimpa         salah satu dari kita? Apakah semua janji yang dulu kita ucapkan hanya         sebatas bibir?”     
“Aku emang bohong ama kalian, tapi ini juga untuk kebaikan kita juga.         Aku cuma nggak pengen cerita memalukan dan bikin sedih ini dibagi         dengan kalian. Ada kalanya cerita bisa dibagi dan juga nggak. Apa         kalian nggak ngerti?”     
Aku mencoba menjerit agar mendapat perhatian dari Aisha, tapi ia tidak         memandangiku. Aku akan menolong jika kamu menceritakan yang         sesungguhnya.     
“Kalian semua brengsek.” Isaknya.     
Dia keluar kelas, lalu tanpa disangka mencoret mukaku dengan tulisan,         ”Sialan!” dan dengan raut muka yang marah, ia menendangku. Ada cap         sepatu yang sangat kotor menempel dimukaku.     
Aduh, aku kaget geregetan. Aku berusaha menolong tapi justru dihinakan.     
Nasib. Andai saja aku bukan dinding kelas!