BAB 1
PENDAHULUAN
Indonesia adalah salah satu negara yang dikenal dengan alamnya yang kaya dengan tanaman berkhasiat untuk pengobatan penyakit secara tradisional, salah satunya adalah tanaman pegagan (Centella asiatica L.). Supaya obat tradisional dapat diterima di kalangan praktek kedokteran, maka pengembangan terus didasarkan pada prinsip-prinsip pengembangan obat dalam kedokteran modern. Hasil-hasil yang secara empirik harus pula didukung oleh bukti-bukti ilmiah adanya manfaat klinik obat serta keamanan pemakaian pada manusia.
Tanaman pegagan (Centella asiatica L.) merupakan salah satu tanaman obat yang memiliki banyak manfaat, sehingga menarik perhatian para ahli untuk meneliti dan mengembangkannya dalam rangka eksplorasi obat baru yang berasal dari alam. Sejauh ini bukti ilmiah efek herba pegagan sebagai antipiretik belum diketahui. Tanaman pegagan seringkali dimanfaatkan oleh masyarakat Indonesia sebagai obat alternatif untuk mengobati berbagai macam penyakit seperti wasir, demam, pembengkakan hati atau liver, bisul, darah tinggi, penambah daya ingat, campak, amandel, sakit perut dan kurang nafsu makan. Penelitian tentang tanaman obat di Indonesia untuk pengobatan demam memang sudah banyak dilakukan, tetapis penelitian tentang tanaman pegagan untuk pengobatan demam belum dilakukan Dengan dasar inilah yang mendorong peneliti melakukan penelitian ini sehingga diharapkan dalam pegagan dapat digunakan sebagai obat alternatif yang berkhasiat sebagai antipiretik yang berguna bagi perkembangan pengobatan tradisional terutama dalam perkembangan ilmu pengkulturan tanaman.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Multiplikasi Tunas dan Aklimatisasi Pegagan (Centella asiatica L.) Periode Kultur Lima Tahun
Pegagan atau kaki kuda (Centella asiatica L.), tumbuh pada tegalan, padang rumput, tepi selokan dan pinggir jalan, merupakan tumbuhan herba tahunan yang menjalar dan berkembang dengan stolon. Khasiat pegagan adalah sebagai anti lupa, memberi umur panjang, adaptogenik, anti-pyretik, anti spasmodik, aphrodisiak, astringent, pem-bersih darah (keracunan logam), diuretik, nervine, sedative, menyembuhkan penyakit lepra, luka luar seperti habis melahirkan dan psoriasis (terbakar) (Winarto dan Surbakti, 2003).
Zat asiaticoside, saponin, ascatikosida, asam asiatat dan madekasat adalah bahan aktif yang mampu memacu produksi kolagen dan bermanfaat sebagai protein pemacu proses penyembuhan luka pada manusia (Duke et al., 2002). Tanaman ini merupakan salah satu sumber plasma nutfah obat yang perlu dibudidayakan karena kebutuhan sebagai bahan industri obat di samping areal tumbuhnya di alam mulai terkikis dengan adanya pembangunan dan penyempitan areal. Pelestarian tanaman koleksi Balittro dilakukan dalam bentuk koleksi hidup sehingga memerlukan biaya pemeliharaan yang cukup besar dan lahan yang luas. Selain itu cara ini rawan terhadap kehilangan akibat serangan hama penyakit dan perubahan kondisi lingkungan. Penyimpanan in vitro merupakan pelestarian yang lebih efektif dan efisien yang tidak memerlukan lahan yang luas telah dilakukan dalam bentuk in vitro maupun benih (seed). Keberhasilan penyimpanan in vitro, selain untuk mengurangi biaya rejuvinasi yang biasanya dilakukan setiap tahun, juga akan sangat membantu dalam penyediaan benih untuk kegiatan penelitian ataupun membantu menyiapkan teknologi penyimpanan jangka menengah dan panjang .
2
Perbanyakan secara in vitro merupakan alternative untuk mendapatkan tanaman dalam jumlah banyak, dan umumnya untuk multiplikasi tunas digunakan media MS yang diperkaya dengan sitokinin seperti BA, Kinetin dan bahkan Thiduazuron.Pada tanaman pegagan perbanyakan secara in vitro telah dilakukan pada Tahun 2000, yang menghasilkan jumlah tunas tidak berbeda nyata pada media MS control dan dengan penambahan BA (0,1; 0,2 dan 0,3) mg/l
(Kristina, et al., 2000).
Eksplan pegagan disubkultur secara periodik dengan menggunakan media perbanyakan MS + BA 0,1 mg/l dan disubkultur secara periodik setiap 4 � 6 bulan. Pada penyimpanan dengan cara ini, penampilan eksplan diharapkan tetap normal bila dibandingkan dengan induknya. Andai terjadi perubahan penampilan, maka media tumbuh perlu diganti agar tidak terjadi mutasi. Atau eksplan segera dikeluarkan ke lapang/alam dengan cara aklimatisasi, oleh karena itu perlu dilakukan induksi perakaran. Induksi perakaran bagi tanaman hasil in vitro, dapat dilakukan dengan menggunakan auksin IAA, IBA dan NAA secara tunggal ataupun dikombinasikan dengan sitokinin. Pada beberapa tanaman, seperti tanaman lada, penggunaan media NAA konsentrasi 0,1 mg/l dapat merangsang terbentuknya akar (Ibrahim, et al., 2004). Sementara pada tanaman purwoceng, akar terpanjang (2,0 cm) didapat pada media MS yang diperkaya dengan NAA konsentrasi 0,6 mg/l . Untuk tanaman legundi, akar tumbuh baik pada media IBA dengan konsentrasi 0,1 mg/l (Yelnititis dan Bermawie, 2000).
3
B. Produksi Asiatikosida dan Senyawa Sekerabat dengan Kultur Suspensi Sel Centella asiatica (L.) Urban
Dalam rangka memproduksi metabolitsekunder dengan teknik kultur jaringan tanaman, ternyata suspensi sel merupakan teknik alternatif produksi yang dapat ditingkatkan menjadi skala industri, karena memiliki kemiripan dengan kultur sel mikrobia dalam produksi antibiotika atau bahan kimia lain. Walaupun demikian, system kultur suspensi sel sering menghadapi banyak masalah, utamanya yang menyangkut �dinamika sel�, yaitu bahwa sel yang berada dalam perubahan bentuk maupun lingkungan akan mengakibatkan biosintesis metabolit sekunder akan meningkat atau menurun (Staba,1980).
Kini di Jepang metode kultur suspensi sel telah digunakan dengan berhasil dalam memproduksi sikonin dari kultur suspensi sel Lithospermum erythrorhizon secara komersial. Herba pegagan (C. asiatica) dipilih sebagai bahan utama karena termasuk salah satu tanaman unggulan menurut Badan POM. Disamping itu, herba pegagan sering dijumpai dalam ramuan jamu, serta memiliki prospek yang menjanjikan dalam upaya memelihara kesehatan, utamanya pada lansia. Tumbuhan ini sampai sekarang jarang dibudidaya dan pengumpulan yang berlebihan akan mengakibatkan tumbuhan ini terancam kelangkaan (Agil, dkk.,1992).
Kandungan kimia herba pegagan antara lain glikosida triterpenoid, utamanya asiatikosida dan asam asiatikat .Menurut Chassaud (1971) dan Perry (1980), herba pegagan mengandung asiatikosida, madekasosida, asam asiatikat, asam madekasat, brahmosida, takunosida, isotakunosida; tiga senyawa yang disebut terakhir ini belum sepenuhnya diketahui strukturnya. Di samping itu, juga dilaporkan pegagan mengandung alkaloid hidrokotilina
(Sastrapraja,1978; Suhartatik,1989).
Kegunaan herba pegagan antara lain, daunnya sangat baik untuk menyembuhkan luka kecil, sebagai peluruh air kemih yang lembut, peluruh keringat pada penderita keracunan jengkol, juga dapat sebagai peluruh demam, peluruh getah empedu, wasir, keputihan, batu ginjal, sariawan, dan sebagainya (Perry,1980).
4
Dilaporkan oleh Suwono dkk. (1992), bahwa infusa herba pegagan mempunyai efek antihipertensi pada anjing. Melihat kenyataan tersebut, dipandang bahwa kandungan kimia dalam herba pegagan sangat potensial digunakan sebagai obat. Menurut Adirukmi dan Saleh (1994) tumbuhan pegagan di Malaysia ada lima varietas, termasuk dua varietas yang tumbuh di Jawa, yaitu varitas minor dan mayor. Dilaporkan pula, terdapat pula daun dan taruknya bewarna ungu. Dalam penelitian ini dipilih tumbuhan pegagan varitas mayor .sedangkan analisis kuantitatifnya hingga kini belum pernah dilaporkan. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui produksi asiatikosida dan senyawa sekerabat dengan teknik kultur suspensi sel C. asiatica.
Gambar 1. Tanaman pegagan (Centella asiatica (L.) Urban) var. Mayor
C. Analisis Fitokimia dan Penampilan Polapita Protein Tanaman Pegagan (Centella asiatica) Hasil Konservasi In Vitro
Pegagan (Centella asiatica) merupakan salah satu tanaman dari famili Umbeliferae yang sejak dulu telah digunakan sebagai obat kulit dan sebagai lalapan yang dikonsumsi dalam bentuk segar maupun direbus (van Steenis, 1997). Tanaman ini juga digunakan untuk meningkatkan ketahanan tubuh (panjang umur), membersihkan darah, dan memperbaiki gangguan pencernaan. Pegagan mempunyai rasa manis dan bersifat sejuk, dengan kandungan bahan kimia yang terdapat di dalamnya adalah asiatikosida, madekosida, brahmosida, tannin, resin, pectin, gula, vitamin B,garam mineral seperti kalium, natrium, magnesium, kalsium, besi, fosfor, minyak atsiri,pektin dan asam amino (Santa dan Bambang, 1992 dalam Wahjoedi dan Pudjiastuti, 2006).
5
Efek farmakologis pegagan di antaranya ialah anti infeksi, anti racun, penurun panas, peluruh air seni, anti lepra, dan anti sipilis. Daun pegagan berguna juga sebagai astrigensia dan tonikum. Pegagan juga dikenal untuk revitalitas tubuh dan otak yang lelah serta untuk kesuburan wanita. Di Australia, pegagan digunakan sebagai anti pikun dan stress (Januwati dan Yusron, 1994).
Pegagan merupakan tanaman herba tahunan yang tumbuh di daerah tropis dan berbunga sepanjang tahun. Bentuk daunnya bulat seperti ginjal manusia, batangnya lunak dan beruas, serta menjalar hingga mencapai satu meter. Pada tiap ruas tumbuh akar dan daun dengan tangkai daun panjang sekitar 5�15 cm dan akar berwarna putih, dengan rimpang pendek dan stolon yang merayap dengan panjang 10�80 cmTinggi tanaman berkisar antara 5,39�13,3 cm, dengan jumlah daun berkisar antara 5� 8,7 untuk tanaman induk dan 2�5 daun pada anakannya (Bermawie et al.,2008).
Perbanyakan secara in vitro pada tanaman pegagan asal Kebun Percobaan Cimanggu Balittro telah berhasil dilakukan dengan menggunakan media tumbuh MS + BA 0,1 mg/l dan telah berhasil dikonservasi secara in vitro selama 5 tahun. Memasuki masa tersebut terlihat adanya perubahan penampilan tanaman sehingga dilakukan aklimatisasi plantlet di rumah kaca. Secara morfologi tidak memperlihatkan adanya perubahan penampilan dari plantlet hasil in vitro tersebut sehingga dilakukan uji lanjutan untuk melihat kandungan fitokimianya. Pada tanaman daun encok (Plumbago zeylanica) hasil konservasi in vitro, kandungan kimia alkaloid (4+), flavonoid (1+), dan steroid (3+) tanaman hasil kultur in vitro lebih tinggi bila dibandingkan dengan alkaloid (2+), flavonoid (-), dan steroid (-) tanaman induknya (Syahid dan Kristina, 2008).
Kemampuan diferensiasi sel tanaman dan reaksi kimia yang menyertainya (antara lain aktivitas enzim), akan menyebabkan perbedaan metabolit yang terbentuk. Kedua hal tersebut akan membedakan penggolongan senyawa kimia yang ada dalam organisme/tanaman (Darusman,2003).
6
Tanaman yang dikonservasi secara in vitro secara periodik mendapatkan asupan bahan kimia yang diberikan pada media kultur. Untuk itu dilakukan uji fitokimia, yang dilakukan berdasarkan metode Harbone (1987) dengan mengidentifikasi alkaloid, tannin, flavonoid, saponin, steroid, dan triterpenoid. Selain penampilan morfologi, dan kandungan bahan aktif, kemungkinan timbulnya perubahan pada tanaman hasil in vitro dapat diidentifikasi dengan cara analisis protein. Protein merupakan komponen utama dan berperan penting dalam suatu tanaman. Selain itu, protein dapat digunakan sebagai identifikasi tanaman secara farmakogenetik. Perubahan yang terjadi pada kultur dapat juga dilihat dari struktur protein tanaman. Analisis ini lebih murah bila dibandingkan dengan analisis DNA. Oleh karena itu elektroforesis dengan metode gel poliakrilamid dengan buffer sodium dedosil sulfat (Sodium Dedocyl Sulphate � PolyAcrylamide Gel Electrophorisis/ SDS-PAGE) merupakan salah satu teknik yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi pola pita protein tanaman.
Teknik ini dinilai lebih menguntungkan daripada elektroforesis kertas dan gel pati, karena media penyangga yang digunakan dalam SDS-PAGE yaitu gel poli-akrilamid yang bersifat transparan dan dapat dipindai pada daerah sinar tampak maupun UV, juga dapat diper-oleh resolusi yang lebih baik dan ukuran pori medium dapat diatur berdasarkan perbandingan konsentrasi akrilamid yang digunakan.
Pada medium poliakrilamid pengaruh arus konveksi dapat dikurangi sehingga pemisahan komponen menjadi sempurna dan pita-pita yang terbentuk menjadi lebih jelas. Poliakrilamid merupakan medium yang bersifat inert sehingga tidak bereaksi dengan sampel dan tidak terjadi ikatan antara sampel dan matrik (Andrews, 1986).
Pada tanaman gandarusa (Justicia gendarussa Burm. F) yang diberi pupuk kandang dan humus,hasil analisis protein (dengan menggunakan SDS-PAGE), menunjukkan bahwa sampel (yang diberi pupuk kandang, humus, dan pupuk anorganik) memperlihatkan terlihat pola pita protein dengan berat molekul � 56,05 kDa dan � 15,70 kDa, dan pada sampel tanpa pupuk, pita protein dengan berat molekul � 27,0 kDa (Aryanti, 2007).
7
BAB III
PEMBAHASAN
A. Multiplikasi Tunas dan Aklimatisasi Pegagan (Centella asiatica L.) Periode Kultur Lima Tahun
Dari hasil analisis data terlihat bahwa daya multiplikasi eksplan pegagan selama periode lima tahun tersebut, berbeda-beda. Dari hasil tersebut terlihat bahwa kemampuan multiplikasi tunas pegagan selama periode lima tahun tersebut lebih tinggi bila dibandingkan dari hasil yang didapatkan pada tahun pertama, yakni 2,35/botol dengan rata-rata jumlah daun 13,85.Jumlah tunas dan daun terbanyak didapatkan pada tahun ketiga yakni 3,8 dan 18,2, jumlah tersebut mulai menurun pada tahun keempat dan kelima. Tetapi jumlah tunas pada tahun keempat masih lebih tinggi bila dibandingkan dengan jumlah tunas pada tahun kedua.
Hasil yang didapat sejalan bila dibandingkan dengan penelitian yang dilakukan Nath dan Buragohain(2003) yang menggunakan tunas pucuk pegagan dengan konsentrasi BA tinggi yakni 4 mg/l yang dikombinasikan dengan NAA 0,1 mg/l didapat jumlah tunas 3,38 /eksplan dan jumlah daun 4,25/eksplan. Namun bila dilihat dari visualisasi tunas, maka terjadi penurunan kemampuan tumbuh dari tunas, dengan terbentuknya beberapa tunas yang tidak normal. Penampilan tunas setelah periode lima tahun, terlihat berubah, ditemukan tunas yang kurus, vitrifikasi dan normal, masing-masing 40,01%, 13,33% dan 46, 665, sehingga perlu dilakukan re-media (penyegaran eksplan)
8
v Re-media dan Uji Kemampuan Multiplikasi Tunas
Setelah re-media dan tunas disubkultur kembali pada media dengan berbagai taraf konsentrasi, terlihat bahwa tunas yang mendapat perlakuan konsentrasi zat pengatur tumbuh BA lebih tinggi (0,2 mg/l) terlihat adanya peningkatan jumlah tunas menjadi 4,06, walaupun tidak berbeda nyata bila dibandingkan dengan konsentrasi BA 0,1 mg/l, demikian juga untuk jumlah daun (Tabel 2). Penampilan eksplan belum normal seluruhnya, karena masih terlihat adanya vitrifikasi, tangkai daun kurus, dan daun yang layu, untuk itu eksplan dianggap sudah tidak mampu bermultiplikasi dengan baik, dan perlu dikeluarkan ke lapangan
Stress yang terjadi pada eksplan selama di laboratorium, yakni bentuk daun ataupun tangkai daun yang mengecil/kurus tidak terbawa, sehingga dapat dikatakan bahwa periode penyimpanan selama lima tahun tidak menimbulkan perubahan penampilan tunas,tetapi perlu uji lebih lanjut terhadap kandungan kadar asiaticisidnya, karena diduga bila tanaman berada pada stress media, maka akan mempengaruhi kadar metabolit pada tanaman.
B. Produksi Asiatikosida dan Senyawa Sekerabat dengan Kultur Suspensi Sel Centella asiatica (L.) Urban
Pada kultur suspensi sel dilakukan dengan penaburan kalus ke dalam media RTK cair dengan penambahan 2,4-D (0,1 ppm) dan kinetin (0,2 ppm), selanjutnya disebut media RTKP dan digojog dengan kecepatan 100 rpm. Ternyata kalus sukar meremah semuanya,sehingga masih ada kalus yang tertinggal. Berdasarkan Williams et al. (1988), dilakukan penghancuran kalus dengan cara kalus yang masih tertinggal digilas hati-hati dengan batang pengaduk di atas kasa 60 mesh (penyaring biomasa dari Sigma, AS), sel-sel yang lolos diterima ke dalam media RTK cair tersebut. Pekerjaan ini dilakukan secara aseptis dalam LAF.
9
Hasil pemanenan biomasa dalam berbagai media produksi dengan berbagai variasi kadar sumber nitrogen, fosfat, dan karbon . Dalam media RTKP dengan elisitasi dan penambahan prazat Pada manipulasi nutrient, produksi asiatikosida dalam kultur suspensi sel (kss) hasil perlakuan dengan manipulasi kadar sumber nitrogen, ternyata pada kadar 50 dan 150% kadarnya lebih tinggi dari pada normal (100%).
Untuk perlakuan lain, yaitu manipulasi kadar fosfat ternyata kadar asiatikosida lebih rendah dari pada kadar normal, sedangkan perlakuan dengan manipulasi kadar sukrosa pada kadar 150 dan 200%, produksi asiatikosida sedikit meningkat dibandingkan dengan normal. Pada perlakuan dengan penambahan prazat (kolesterol), pada kadar 12,5 mg% ternyata produksi asiatikosida lebih rendah dari pada normal. Hal ini terjadi kemungkinan ternyata kolesterol bukan prazat dalam biosintesis triterpenoid. Pada elisitasi, yaitu dengan penambahan ekstrak khamir (yeast extract), menunjukkan produksi asiatikosida berlipat hingga lebih dari tiga kali lipat. Pola untuk produksi asam madekasat, setiap jenis perlakuan menunjukkan hal yang berbeda. Pada perlakuan manipulasi sumber nitrogen, ternyata kadarnya lebih tinggi pada setiap perlakuan. Pada manipulasi sumber fosfat, ternyata hanya kadar 200% saja yang meningkatkan produksinya, sedangkan pada manipulasi sumber karbon, ternyata hanya kadar 150% yang sedikit meningkatkan produksinya. Pada elisitasi tidak meningkatkan produksi asam madekasat, sedangkan dengan pemberian prazat (kolesterol 12,5%), produksinya meningkat hampir tiga lipat. Pemberian prazat berupa larutan atau suspensi kolesterol tidak begitu menguntungkan, karena kelarutan kolesterol dalam media berair sangat terbatas. Dari hasil percobaan ternyata kadar 12,5% merupakan kadar yang optimal dalam penelitian
10
C.Analisis Fitokimia dan Penampilan Polapita Protein Tanaman Pegagan (Centella asiatica) Hasil Konservasi In Vitro
a) Analisis fitokimia
Hasil analisis fitokimia menunjukkan bahwa kandungan alkaloid, saponin, tanin, flavonoid dan triterpenoid pegagan di lapang lebih kuat daripada tanaman pegagan hasil in vitro. Tetapi pegagan hasil kultur in vitro menghasilkan steroid yang positif kuat sekali yang tidak dihasilkan dari pegagan yang tumbuh di lapang .Tingginya kadar saponin, tanin, dan glikosida pada tanaman pegagan hasil penelitian ini sama dengan hasil penelitian Bermawie et al. (2008), yang juga mendapatkan kadar 4+ untuk alkaloid, saponin, tanin, dan glikosida dari 16 aksesi pegagan koleksi Balittro. Perbedaan terlihat pada kandungan fenolik, flavonoid, steroid dan triterpenoid. Diduga karena aksesi pegagan yang digunakan berbeda.
Pada hasil penelitian Bermawie et al. (2008) tidak menemukan adanya fenolik, sementara hasil penelitian ini menunjukkan adanya fenolik baik tanaman hasil invitro maupun yang tumbuh di lapang. Pramono (1992) menyatakan kandungan fenolik pada tanaman pegaganmerupakan penyusun tanin.Triterpenoid yang memiliki efek terapeutik pada tanaman pegagan yang tumbuh di lapang memiliki kadar 4+, tetapi pada tanaman pegagan hasil kultur jaringan 1+. Tingginya kandungan triterpenoid sejalan dengan hasil penelitian Rachmawaty (2005), yang mendapatkan kandungan triterpenoid pegagan 4+. Menurut Mantell dan Smith (1983), pada umumnya kandungan metabolit sekunder tanaman hasil kultur in vitro lebih rendah. Hal ini terjadi karena banyak faktor yang mempengaruhi produksi metabolit sekunder melalui kultur jaringan,antara lain ekspresi metabolit sekunder dipengaruhi oleh asal eksplan, komposisi media, jenis kultur, macam dan konsentrasi zat pengatur tumbuh (Santoso dan Nursandi, 2001).
11
Pegagan hasil konservasi in vitro mengandung steroid 4+, sementara pegagan di lapang tidak menghasilkan steroid. Tingginya kadar steroid diduga karena sampel pegagan in vitro yang digunakan telah dikulturkan selama lima tahun, sehingga mendapatkan asupan unsur hara, zat pengatur tumbuh, intensitas cahaya, dan kelembapan yang jauh berbeda dengan tanaman induknya yang tumbuh di lapang. Selain itu pegagan hasil in vitro ditumbuhkan pada kondisi rumah kaca yang tidak mendapatkan intensitas cahaya penuh karena mendapatkan naungan 50%. Hal ini sejalan dengan pernyataan Vickery and Vickery (1981) bahwa steroid pada pegagan merupakan glikosida triterpenoid. Pembentukan steroid memerlukan kecukupan hara dan intensitas cahaya yang lebih rendah
b) Kandungan protein
Kandungan protein hasil kultur in vitro lebih tinggi dibandingkan dengan yang dari lapang
Menurut Pramono (1992), kandungan nutrisi tiap 100 g daun pegagan adalah
34 kalori; 89,3 g air; 1,6 g protein; 0,6 g lemak; 6,9 g karbohidrat; 2,0 g serat; 1,6 g abu; 170 mg kalsium; 30 mg fosfor; 3,1 mg besi; 414 mg kalium; 6580 �g beta-karoten; 0,15 mg tiamina; 0,14 mg riboflavin; 1,2 mg niasin, dan 4 mg asam askorbat.
Tingginya kadar protein pada sampel daun pegagan hasil kultur in vitro diduga karena, selama masa lima tahun periode kultur setiap kali subkultur eksplan mendapat asupan unsure hara pada media. Menurut Bajaj (1992 dalam Rostiana, 2007), berbagai perubahan dapat terjadi selama kultur in vitro, mulai dari penampilan morfologi, sifat genetik, atau epigenetik, kariotik, fisiologis, biokimia, dan tingkat molekuler lainnya, sehingga menimbulkan perubahan biokimia tanaman. Unsur hara makro (N, K, S, P, Ca dan Mg), mikro (Fe, Mo, Zn, Mn, Cl), vitamin (thiamin, piridoksin, biotin,dan lain-lain), asam amino dan karbohidrat yang secara rutin diberikan pada media untuk konservasi pegagan. Unsur-unsur tersebut pada proses fotosintesis membentuk protein dan asupan protein ini cukup tinggi karena setiap tahunnya, eksplan pegagan mengalami 2-3 kali subkultur dan hal ini terus berlangsung selama lima tahun.
12
DAFTAR PUSTAKA
Agil, M., Prayoga,B., Sutarjadi, 1992, Pegagan, Herba Multimanfaat yang Hampir Terlupakan, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.I, no.2, 44-45.
Andrews, AT. 1986. Electrophoresis : Theory, Techniques, and Biochemical, and Clinical Application. 2nd ed. New York Oxford University Press. pp. 20 and 126.
Aryanti, N. 2007. Pengaruh jenis pupuk terhadap profil protein daun Justicia gendarussa Burm. F. : Analisis dengan Metode Elektroforesis. Undergraduate Thesis dari JIPTUNAIR/2007-01-09 10:26:40. http://adln.lib.unair.ac.id/, 10 Juni 2008.
Bermawie, N., S. Purwiyanti, dan Mardiana. 2008. Keragaan sifat morfologi, hasil dan mutu plasma nutfah pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.). Bul. Littro. XIX (1): 1- 17.
Darusman, L. K. 2003. Good agricultural practices (GAP) dalam budidaya tanaman obat sebagai upaya menghasilkansimplisia terstandar.Prosiding Seminar dan Pameran Nasional Tumbuhan Obat Indonesia XXVIII. Fak. Farmasi Univ. Pancasila. Jakarta 25-26 Maret. hal. 21-35.
Harbone, IB. 1987. Metode Fitokimia. Penterjemah : ITB Bandung, terjemahan dari Dictionary of Natural Product. 354 hal.
Januwati, M. dan M. Yusron. 2004. Standard Operasional, Budidaya Pegagan, Lidah Buaya, Sambiloto dan Kumis Kucing. Circular No. 9. Bogor. Balittro. hal. 1-6.
Kristina, N.N., N. Sirait dan D. Surachman. 2000. Multiplikasi tunas dan penyimpanan tanaman obat pegagan secara in vitro. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku. PERSADA. VI(1): 20-22.
13
Kristina, N.N., N. Sirait dan D. Surachman. 2000. Multiplikasi tunas dan penyimpanan tanaman obat pegagan secara in vitro. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku. VI (1) : 20-22.
Kristina, N.N. dan D. Surachman. 2008. Multiplikasi tunas dan aklimatisasi pegagan (Centella asiatica L.) periode kultur lima tahun. Jurnal Littri 14 (1) : 30-35.
Nath, S and A.K. Buragohain. 2003. In vitro method for propagation of Centella asiatica (L.) Urban by shoot tip culture. J. Plant Biochemistry & Biotechnology (12):167-169.
Sugiarso,S.dan J.R.Hutapea.1992.Pengadaan bibit Centella asiatica (L.) Urban.Warta TOI.1 (2) : 58.
Perry, L.M., 1980, Medicinal Plants of East and Southeast Asia, Martinus Nijjhoff Publisher, Dordrecht-Boston-Lancaster.
Pierik, R.L.M. 1987. In Vitro Culture of Higher Plants. Martinus Nijhoff Pub. 344 p.
Pramono,S., 1992, Profil Kromatogram Ekstrak Herba Pegagan yang Berefek Antihipertensi, Warta Tumbuhan Obat
Racmawaty, R.Y. 2005. Pengaruh Naungan dan Jenis Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.) Terhadap Pertumbuhan Produksi dan Kandungan Triterpenoidnya sebagai Bahan Obat. Skripsi Jurusan Budidaya Pertanian, IPB, 58 hal.
Rostiana, O. 2007. Peluang pengembangan bahan tanaman jahe unggul untuk penanggulangan penyakit layu bakteri. Perkembangan Teknologi Tanaman Rempah dan Obat, XIX (2) : 77-100.
Santoso, U. dan F. Nursandi. 1998. Induksi kalus & embriosomatik Phalaenopsis amboinensis J.J. Smith dari akar dan daun melalui kultur in vitro. Tropika : v. 6 (2), 1998. pp. 142-149.
14
Sastrapradja, S., 1982, Tumbuh-tumbuhan Obat, 26, Lembaga Biologi Nasional - LIPI, Bogor.Suhartatik,,S.E., 1989, Pengaruh Infusa Daun Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban. ) terhadap Daya Larut Batu Ginjal Kalsium, Skripsi, Fakultas Farmasi UGM, Yogyakarta
Staba,E.J., 1980, Plant Tissue Culture as a Source of Biochemicals, CRC Press Inc., Boca Raton, Florida.
Suwono, 1992, Pengaruh Hipotensif Akut Hernba Pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.) pada Anjing yang Dianestesi, Warta Tumbuhan Obat Indonesia, Vol.I, no.2, 40-43.
Syahid, S.F., O. Rostiana dan D. Seswita. 2004. Pengaruh NAA dan IBA terhadap perakaran purwoceng (Pimpinella pruatjan Molk). Prosiding Fasilitasi Forum Kerjasama Pengembangan Biofarmaka. Direktorat Tanaman Sayuran dan Biofarmaka. Dirjen Bina Produksi Hortikultura. Deptan. 2004. p.201-211.
Van Steenis, C.G.G.J. 1997. Flora. Moeso Surjowinoto, Penerjemah.
Jakarta. Pradnya Paramitha. hal. 324.
Vickery, M.L. and B. Vickery. 1981.Secondary plant metabolism.The Macmillan Press LTD. 335 p.
Wahjoedi, B. dan Pudjiastuti. 2006. Review hasil penelitian pegagan (Centella asiatica (L.) Urban.Makalah pada POKJANAS TOI XXV. 10 hal.
Willian, P.D., Wilkiinson, A.K., Lewis, J.A., Black, G.M., Mavituna, F. 1988. A Method for the Rapid Production of Fine Plant Cell Suspension Cultures, Plant Cell Res. 7. 459-462.
Winarto, W.P. dan Surbakti. 2003. Khasiat dan Manfaat Pegagan. Tanaman Penambah Daya Ingat. Agromedia Pustaka, 64 p
Yelnititis dan N. Bermawie 2000. Pengaruh media dan zat pengatur tumbuh terhadap perbanyakan legundi (Vitex trifolia) secara in vitro. Jurnal Ilmiah Pertanian Gakuryoku VI(1) : 9-12.
15