Dari dulu saya termasuk orang yang tidak setuju dengan poligami ataupun sebaliknya, poliandri. Menurut saya, waktu itu, poligami merupakan sebuah praktik ketidakadilan dalam menjalin relasi bersama pasangan. Apalagi bila dihadapkan pada perubahan sosial dan kebudayaan era modern, yang menempatkan manusia sebagai individu mandiri, otonom, menjadikan poligami sebagai praktik yang sudah sewajarnya ditinggalkan.
Seiring berjalannya waktu, dan tentu saja pengalaman berumah tangga, saya bisa memahami mengapa ada orang-orang yang pada akhirnya memilih menjalankan poligami atau poliandri. Dalam hal ini saya memahami poligami bukan dalam konteks normatif ataupun keagamaan, juga tidak selalu berkonotasi dengan pernikahan. Poligami saya pahami dalam konteks menjalin relasi dengan selain pasangan pertama. Maaf, mungkin keluar dari pemahaman mainstream apalagi keagamaan, bagi saya poligami tidak ubahnya sebuah bentuk "ketidaksetiaan" pada satu pasangan, sehingga, dalam konteks ini, memiliki istri kedua, ketiga dan seterusnya, secara legal ataupun ilegal (sirri), serta bisa pula relasi pria dan wanita dalam konotasi negatif, seperti perselingkuhan atau prostitusi, saya masukkan ke dalamnya.
Seabsah dan sebaik apapun orang berpoligami atau berpoliandri, pada dasarnya tetap melukai batin pasangan yang diduakan. Sebagian dapat menutupi luka itu dengan justifikasi, meminjam istilah Bourdieu, dalam bentuk penindasan simbolik, yaitu mengubah luka menjadi kebanggaan, kebaikan dan kemulyaan atas nama-nilai-nilai agama atau budaya tertentu. Sementara mereka yang tidak memegang justifikasi penindasan simbolik menyisakan luka terpendam, masalah relasi dengan pasangan pertamanya hingga perpisahan.
Atas dasar itulah, saya memahami poligami sebagai sebuah bentuk kegagalan dalam mempertahankan relasi suami-istri dalam pernikahan. Ya, kegagalan, mengingat pilihan melakukan poligami ataupun poliandri memperlihatkan ketidakmampuan pasangan mempertahankan harmoni dan romantisme relasi pernikahan. Akibatnya, ada fungsi-fungsi pernikahan yang terkikis, hilang dan, sayangnya, membutuhkan orang ketiga untuk melengkapinya. Di antara fungsi-fungsi dimaksud meliputi (1) kenyamanan dalam menjalin relasi, (2) kebutuhan akan romantisme, serta (3) kebutuhan akan seksualitas.
Indah-tidaknya pernikahan bukan dinilai berdasarkan padangan orang lain atas sebuah pasangan, tetapi pada apa yang dirasakan oleh salah satu atau keduanya. Seiring waktu dan dinamika dalam menjalin hubungan, pasangan dapat merasakan seberapa cocok mereka sebenarnya, seberapa bahagia keduanya, serta seberapa kuat relasi mereka yang diwujudkan dalam bentuk kesetiaan. Sangat boleh jadi kedua belah pihak sebenarnya menemukan banyak ketidakcocokan, terlukai oleh pasangan, hilangnya harmoni dan romantisme, serta hilangnya relasi seksual, tetapi memilih bertahan demi alasan-alasan tertentu, sehingga terbuka ruang kosong yang harus diisi oleh orang ketiga.
Bagi mereka yang