PENDIDIKAN ISLAM DI MASJID DAN MUSHOLLA (Studi Kasus Musholla Al-Ihsan Desa Balerante)

PENDIDIKAN ISLAM DI MASJID DAN MUSHOLLA
(Studi Kasus Musholla Al-Ihsan Desa Balerante)

ROSALINA
Pascasarjana IAIN Syekh Nurjati Cirebon, PAI-B

Abstrak
Latar belakang masalah yang menjadi pendorong dari penelitian ini ialah sekarang banyak sekali masjid dan tajug yang hanya menjalankan perannya sebagai tempat ibadah dan meninggalkan perannya sebagai lembaga pendidikan Islam yang sesuai dengan pertama kali dibangunnya masjid dan tajug dikalangan umat muslim. Namun, hal ini berlainan dengan satu musholla di Balerante yang selama 13 tahun tetap bertahan menjalankan perannya yang tidak hanya sebagai tempat ibadah namun juga sebagai lembaga pendidikan Islam. Hal inilah yang menyebabkan peneliti merasa tertarik untuk melakukan penelitian dimusholla ini. Penelitian ini menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan cara menganalisis data hasil penelitian dan disajikan secara kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang mengahasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang (subyek penelitian) dengan perilaku yang diamati. Data yang didapatkan dalam penelitian ini berupa data hasil dari kajian pustaka, observasi dan wawancara. Yang menjadi rumusan dari penelitian ini adalah: (1) bagaimana filosofi pendirian musholla al-Ihsan?; (2) Bagaimana kurikulum pembelajaran di musholla al-Ihsan?; (3) Bagaimana manajemen kelembagaan musholla al-Ihsan?; (4) Bagaimana kaderisasi pengajar di musholla al-Ihsan?; (5) Bagaimana keberlanjutan pengelolaan musholla al-Ihsan?. Dan hasil penelitian yang didapat yaitu filosofi pendirian musholla ini karena diperlukannya wadah untuk tempat belajar anak-anak dibawah bimbingan Ustadz Hidayat. Kurikulum pembelajaran yang dilaksanakan yaitu ada dua, pembelajaran inti (al-Qur�an dan Kitab), dan pembelajaran tambahan (rebana, hadroh, bahasa inggris, dan karate). Manajemen kelembagaan diserahkan sepenuhnya kepada IRMAN (Ikatan Remaja Musholla al-Ihsan, ustadz Hidayat hanya mengawasi saja. Kaderisasi pengajar dilakukan sejak dini kepada para santri, santri yang sudah dianggap layak untuk menjadi pengajar maka akan diminta untuk membantu mengajar sesuai dengan kemampuannya. Keberlanjutaan pengelolaan musholla ini pun diserahkan semuanya kepada IRMAN.
Kata Kunci : Pendidikan Islam, Masjid dan Musholla
Abstract
The background issues that became the driving of this study is that now many mosques and musholla only perform its role as a place of worship and abandon its role as an Islamic educational institution in accordance with the first construction of mosques and tajug among Muslims. However, it is different with a small mosque in Balerante who for 13 years remained its role not only as a place of worship but also as an Islamic institution. This is why researchers are interested in doing research this dimusholla. This research uses descriptive analytical method, that is by analyzing the data and research results presented qualitatively, the research procedures that result in descriptive data in the form of words written or spoken of people (research subjects) with the observed behavior. Data obtained in this study is the result data from the literature review, observation and interviews. The formulation of this research are: (1) how the philosophy of the establishment of al-Ihsan mosque ?; (2) How is the learning curriculum at al-Ihsan mosque ?; (3) What institutional management al-Ihsan mosque ?; (4) How does the teaching cadre in the al-Ihsan mosque ?; (5) How is sustainability of al-Ihsan mosque ?. And the results obtained are the founding philosophy of this mosque because of the need for container for the children to learn under the guidance of Ustad Hidayat. Learning curriculum that is implemented there are two, learning the core (al-Qur'an and the Book), and additional learning (tambourine, hadroh, English and karate). Institutional management left entirely to IRMAN (Youth Association Musholla al-Ihsan), the cleric Hidayat supervised others. Forming of cadres teacher early as possible to the students, students who have been deemed worthy to be teachers will be asked to help teach according to their abilities. Keberlanjutaan management musholla this was handed over everything to IRMAN.
Keywords: Islamic Education and  Mosques

PENDAHULUAN
Pendidikan merupakan hal yang penting dalam kehidupan. Semua lini kehidupan ini pastilah memerlukan yang namanya pendidikan. proses pendidikan dilakukan di lembaga pendidikan, baik itu pendidikan formal, non-formal maupun informal. Secara universal pendidikan dibedakan menjadi dua, yaitu pendidikan Islam dan pendidikan Umum. Pendidikan Islam biasanya terkait dengan tiga lembaga yaitu pesantren, madrasah ataupun sekolah. Lembaga pendidikan Islam adalah wadah atau tempat berlangsungnya proses pendidikan Islam yang bersamaan dengan proses pembudayaan. Menurut Enung K. Rukiati yang dikutip dari Hamdani Ali menyatakan bahwa wujud dari lembaga pendidikan Islam cukup banyak, diantaranya yaitu Masjid (Surau, Langgar, Mushalla dan Meunasah), Madrasah dan Pondok Pesantren (Kuttab), Majelis Ta�lim, Training Keislaman, Badan-badan pembinaan Rohani, badan-badan konsultasi keIslaman, dan Musabaqah Tilawatil Qur�an. (Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, 2008 : 101). Masjid dan langgar (tajug) merupakan lembaga pendidikan Islam pertama yang dibangun oleh umat Islam. Sebagai lembaga pendidikan, Masjid dan langgar (tajug) merupakan pendidikan penyempurna dari pendidikan keluarga, agar selanjutnya anak-anak dapat menjalankan peran dan tugas-tugasnya dalam masyarakat dan lingkungannya. (Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, 2008 : 101). Menurut M. Athiyah yang dikuti dari Al-Abdi menyatakan bahwa masjid wadah terbaik untuk menjalankan kegiatan pendidikan. hal ini dikarenakan, masjid sebagai lembaga pendidikan akan menghidupkan sunnah-sunnah Islam, menghilangkan bid�ah-bid�ah, mengembangkan hukum-hukum Allah, serta menghilangnya stratifikasi rasa dan status ekonomi dalam pendidikan (Enung K. Rukiati, Fenti Hikmawati, 2008 : 102)
Masjid dan Tajug yang merupakan lembaga pendidikan pertama yang dibangun oleh umat muslim ini, sekarang sepi dari kegiatan pendidikan Islam yang dilakukan. Banyak masjid dan tajug yang hanya dijadikan tempat ibadah saja, tidak lagi dilakukan pendidikan Islam di dalamnya. Namun di Desa Balerante, ada satu tajug (musholla) tetap bertahan selama kurang lebih 13 tahun menjalankan fungsi musholla bukan hanya sekedar tempat ibadah, namun juga sebagai lembaga pendidikan Islam dan tetap diminati anak-anak untuk belajar di musholla tersebut. Untuk itu peneliti merasa tertarik untuk melakukan observasi secara langsung terhadap musholla tersebut, apa yang menyebabkan musholla tersebut bisa bertahan selama 13 tahun untuk tetap eksis menjalankan fungsi sebagai lembaga pendidikan Islam.

METODOLOGI PENELITIAN
Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan metode deskriptif analitis, yaitu dengan cara menganalisis data hasil penelitian dan disajikan secara kualitatif, yaitu prosedur penelitian yang mengahasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari orang-orang (subyek penelitian) dengan perilaku yang diamati. Data-data tersebut akan dianalisis secara kualitatif pula, dengan langkah-langkah sebagai berikut:
a.       Mendeskripsikan gagasan (pandangan) yang menjadi objek penelitian.
b.      Membahas dan memberikan interpretasi terhadap pandangan yang telah dideskripsikan.
c.       Melakukan studi analitik, yakni studi terhadap serangkaian pandangan dalam bentuk perbandingan (komparatif), dan hubungan.
d.      Menyimpulkan hasil penelitian (Suriasumantri, 1998:45).

PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN
  1. Filosofi Pendirian  Musholla Al-Ihsan
Istilah langgar dipakai untuk menunjuk bangunan kecil�biasanya berbentuk segi empat seperti bangunan mesjid namun lebih kecil-- yang berdiri di sekitar rumah-rumah komunitas muslim. Secara umum bangunan tersebut digunakan sebagai tempat ibadah salat (selain salat jum�at). Oleh karena itu, langgar sering disebut pula musolla (tempat salat). Selain sebagai tempat salat, beberapa langgar menjadi tempat belajar agama tingkat dasar. Istilah lain yang hampir sama dengan langgar adalah tajug dan surau. Langgar lebih dikenal di Jawa-Madura, tajug di Pasundan Jawa Barat, sedangkan surau digunakan secara luas di Minangkabau, Tanah Batak, Sumatera Tengah, Sumatera Selatan. Bahkan di Semenanjung Malaya dan Patani (Thailand Selatan) istilah surau juga dikenal (Mohammad Kosim, 2009 : 237-238).
Dalam Peraturan Pemerintah Nomor 55/2007 tentang Pendidikan Agama dan Keagamaan, dikenal dua istilah pendidikan Islam, yaitu Pendidikan Agama Islam dan Pendidikan Keagamaan Islam. Perbedaan keduanya dapat dijelaskan sebagai berikut :
Pendidikan Agama Islam adalah pendidikan yang memberikan pengetahuan dan membentuk sikap, kepribadian, dan keterampilan peserta didik dalam mengamalkan ajaran agamanya, yang dilaksanakan sekurang-kurangnya melalui mata pelajaran/kuliah pada semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan. Masuk dalam kategori ini adalah mata pelajaran Pendidikan Agama Islam di SD/MI, SMP/MTs, SMA/MA, SMK/MAK dan lembaga-lembaga sederajat serta mata kuliah agama Islam di perguruan tinggi umum. Sedangkan Pendidikan Keagamaan Islam adalah pendidikan yang mempersiapkan peserta didik untuk dapat menjalankan peranan yang menuntut penguasaan pengetahuan tentang ajaran agama Islam dan/atau menjadi ahli ilmu agama Islam dan mengamalkan ajaran agamanya. Pendidikan jenis kedua ini terdiri atas dua macam, yaitu pendidikan diniyah dan pendidikan pesantren. Pendidikan diniyah bisa diselenggarakan secara formal, nonformal dan informal (UU Sisdiknas, 2003 : Pasal 11, 12, 13).
Pendidikan Diniyah
No
Jenis
Keterangan
1
Formal
Diniyah Athfal
Diniyah Ula
Diniyah Wustha�
Diniyah Ulya
Ma�had �Aly
2
Non Formal Berjenjang
Diniyah Taklimiyah Awaliyah
Diniyah Taklimiyah Wustha�
Diniyah Takmiliyah Ulya
Diniyah Takmiliyah �Aly
3
Non Formal Tak Berjenjang
Pengajian Kitab
Majelis Ta�lim
Pendidikan al-Qur�an
Bentuk lain Sejenis
4
Informal
Keluarga dan lingkungan
Pembangunan Musholla ini diawali dengan adanya kebutuhan untuk mendirikan sebuah wadah untuk anak-anak yang ingin belajar mengaji dibawah pengajaran Ustadz Hidayat. Pada awalnya beliau mengajar ngaji anak-anak dengan memanfaatkan halaman belakang rumah orang tua dari salah satu anak yang mengaji kepada beliau. Namun makin lama makin banyak anak yang belajar mengaji kepada beliau, ada tiga rumah yang ditempati untuk mengajar mengaji yaitu rumah Pak Jenar, Pak Bani, dan Pak Aksan. Semakin lama, semakin banyak, dari situlah ada gagasan dari Bapak H. Hasan yang berniat membeli tanah untuk dibangun sebuah musholla agar anak-anak dapat belajar mengaji dengan nyaman. Namun, tak juga ada tanah sekitar yang akan dijual. Kemudian dari situ, ada kabar bahwa Bapak H. Dilla berniat mewaqafkan tanahnya, dan akhirnya dibangunlah sebuah musholla di atas tanah tersebut dengan donatur Bapak H. Aksan Jaka. Pada tahun 2002 selesai pembangunan musholla tersebut dan diberi nama Al-Ihsan. Nama ini diambil dari nama donatur yang bernama Aksan, sehingga dipilhlah nama al-Ihsan yang dalam pengertian agama pun mengandung makna yang istimewa, yang berarti seseorang yang merasa diawasi oleh Allah dalam setiap sikap dan perbuatannya. Melihat semakin banyaknya minat anak untuk belajar mengaji di musholla ini, sehingga pada Tahun 2010 musholla ini mendapat bantuan dari desa untuk menambah ruangan musholla. Musholla al-Ihsan ini bukan hanya sekedar musholla namun juga diberi nama �Majlis Ta�lim Lil Aulad Al-Ihsan� oleh Pengasuh Pondok Pesantren Nurul Hidayah Balerante. Hal ini dikarenakan musholla ini merupakan tempat belajarnya anak-anak yang berusia SMP ke bawah.
Sebagai sebuah institusi pendidikan non formal, maka musholla jauh dari kesan formal seperti yang terjadi di sekolah dan di madrasah. Namun, meski demikian, ada beberapa komponen yang sama, seperti tujuan, kurikulum pembelajaran, metode pembelajaran, pengasuh, pengajar, santri, dan evaluasi.
Setiap segala sesuatu yang dibangun pastilah memiliki tujuan, karena tanpa adanya tujuan pastilah semua berasa sia-sia dan tidak ada guna. Sedangkan dalam sebuah hadits pun dinyatakan bahwa segala sesuatu yang dilakukan bergantung niatnya. Didirikannya musholla al-Ihsan pun memiliki tujuan, seperti yang diutarakan oleh Ustadz Hidayat selaku pengasuh musholla al-Ihsan. Beliau menyatakan bahwa tujuannya didirikannya musholla ini sebagai wadah untuk mendidik anak-anak dan mengantarkan anak-anak agar siap menjalani kehidupan kedepan, terlebih lagi kehidupan sekarang berada dalam arus globalisasi dan tekhnologi.
  1. Kurikulum Pembelajaran
Ahmad Tafsir menjabarkan bahwa kurikulum dapat diartikan menjadi dua macam (Ahmad Tafsir, 2006 : 53) :
1.      Sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari siswa di sekolah atau perguruan tinggi untuk memperoleh ijazah tertentu;
2.      Sejumlah mata pelajaran yang ditawarkan oleh suatu lembaga pendidikan atau jurusan.
Kurikulum dapat ditafsirkan bermacam-macam. Menurut Haris Hermawaan yang dikutip Saylor, yaitu:
  1. perangkat bahan ajaran,
  2. rumusan hasil belajar yang dikehendaki,
  3. penyediaan kesempatan belajar,
  4. kewajiban peserta didik (Heris Hermawan, 2012 : 224).
Dua orang penulis pendidikan Islam, Al-Syaibani dan Abdul Mujib menetapkan dasar pokok bagi kurikulum tersebut sebagai berikut (Aqbdul Mujib, dkk, 2006 : 125-131) :
1.      Dasar Religi
Pendidikan Islam adalah pendidikan yang berdasarkan agama. Sehingga dasar religi menjadi dasar utama. Dasar ini ditetapkan berdasarkan nilai-nilai Ilahi. Penetapan nilai-nilai tersebut didasarkan pada Islam sebagai agama wahyu yang diturunkan Tuhan untuk umat manusia. Nabi bersabda, �Sesungguhnya aku telah meninggalkan untuk kamu dua perkara, yang jika kamu berpegang teguh padanya, maka kamu tidak akan tersesat selama-lamanya, yakni Kitabullah (al-Qur�an) dan Sunnah Nabi-Nya�. (HR.Hakim).
2.      Dasar Falsafah
Dasar filosofis menjadi penunjuk arah bagi tujuan pendidikan Islam. Sehingga kurikulum mengandung kebenaran sesuai dengan apa yang dikandung oleh pandangan hidup tersebut (Islam).
3.      Dasar Psikologis
Dasar psikologis kurikulum menurut pendidikan Islam memandang kondisi peserta didik berada pada dua posisi, yaitu sebagai anak yang hendak dibina dan sebagai pelajar yang hendak mengikuti proses pembelajaran. Dasar ini memberikan landasan dalam perumusan kurikulum yang sejalan dengan perkembangan psikis peserta didik.
4.      Dasar Sosiologis
Dasar ini berimplikasi pada kurikulum pendidikan supaya kurikulum yang dibentuk hendaknya dapat membantu pengembangan masyarakat. Terutama karena pendidikan berfungsi sebagai sarana transfer of culture (pelestarian kebudayaan), proses sosialisasi individu dan rekontruksi sosial
5.      Dasar Organisatoris
Dasar ini menjadi acuan dalam bentuk penyajian bahan pelajaran. Dasar ini berpijak pada teori psikologi asosiasi yang menganggap keseluruhan sebagai kumpulan dari bagian-bagiannya. Dan juga berpijak pada teori psikologi Gestalt yang menganggap keseluruhan mempengaruhi oraganisasi kurikulum yang disusun secara sistematis tanpa adanya batas-batas antara berbagai mata pelajaran. Namun, kedua psikologi ini memiliki kekurangan dan kelebihan.
Sebagai institusi pendidikan Islam tingkat pemula, ruang lingkup pendidikan langgar umumnya meliputi aspek-aspek al-Qur�an, Aqidah, Akhlak, dan Fiqih, yang dalam praktiknya terwujud ke dalam materi pembelajaran al-Qur�an, rukun Islam, rukun iman, zikir/do�a pendek, dan hubungan dengan sesama. Pengajian al-Qur�an ditekankan pada pengenalan huruf hij�iyah hingga kemampuan membaca al-Qur�an secara tartil. Rukun Islam ditekankan pada kemampuan melafalkan dan menghafal dua kalimah syahadat lengkap dengan artinya; bacaan dan tatacara wudu� serta salat, tatacara membayar zakat, dan ketentuan puasa; Rukun iman ditekankan pada pengenalan sifat-sifat Allah yang dua puluh, nama-nama sepuluh malaikat dan tugasnya, nama dua puluh lima rasul, empat kitab suci, dan penjelasan akan adanya hari akhir. Zikir/do�a ditekankan pada do�ado�a pendek seperti doa sebelum dan sesudah makan, sebelum dan sesudah tidur. Sedangkan akhlak ditekankan pada tatacara berpakaian, tatacara berbakti kepada ayah-ibu, kepada guru, orang yang lebih tua, dan teman bergaul (Mohammad Kosim, 2009:242).
Pada awalnya kurikulum yang disampaikan hanya sebatas pembelajaran al-Qur�an saja, ada tiga jenjang yaitu Iqra, Juz �Amma, dan al-Qur�an. untuk jenjang Iqra� sendiri dibedakan menjadi 2, yaitu kelas A dan kelas B. Untuk kelas A diperuntukkan untuk anak-anak yang baru mengenal huruf hijaiyah, membaca huruf hijaiyah yang disambung 2-4 huruf. Untuk kelas B diperuntukkan untuk anak-anak yang sudah mampu membaca huruf hijaiyah yang disambung dalam bentuk lafadz bahkan ayat. Setelah anak tersebut dinyatakan layak untuk berpindah ke Juz�Amma, maka ia akan masuk ke dalam kelompok Juz �Amma. Setelah anak itu dinyatakan mampu membaca Juz �Amma secara tartil, maka ia akan mengikuti prosesi khotmil Juz�Amma, setelah itu ia akan masuk ke dalam jenjang selanjutnya, yaitu jenjang Al-Qur�an. dalam pelaksanaan Khotmil sendiri, baik itu khotmil Qur�an maupun khotmil Juz �Amma, musholla ini mengeluarkan syahadah yang dilegalkan dibawah Yayasan Pendidikan Islam Nurul Hidayah Balerante. Musholla ini bekerjasama dengan Yayasan Pendidikan Islam Nurul Hidayah, bertujuan agar ada generasi dari musholla ini yang nyantri dan merasakan bagaimana belajar di pondok pesantren, meski hanya santri kalong.  
Seiring berjalannya waktu, kurikulum yang diajarkan pun berkembang, bukan hanya pembelajaran al-Qur�an, di musholla ini pun diajarkan Kitab Safinah untuk memberikan pengetahuan dan penguatan tentang Fiqh pada diri anak-anak, Kitab �Aqidatul Awwam untuk memberikan pengetahuan dan penguatan pada aqidah anak-anak, Kitab Sulam, kitab al-Barzanji dan kitab ad-Diba�i yang biasanya diperlukan di masyarakat sehingga para santri dibekali agar mereka bisa memberikan pelayanan kepada masyarakat, hadits. Untuk pembelaajaran hadits sendiri, kitab yang digunakan ialah kitab Riyadu as-Shalihin. Selain itu ada kegiatan ekstrakulikuler berupa Rebana yang dilaksanakan setiap malam minggu, Hadroh dilaksanakan setiap hari minggu ba�da dzuhur, Karate dilakukan setiap hari minggu ba�da �ashr, Les Bahasa Inggris yang dilaksanakan setiap hari minggu pagi, dan juga ada kegiatan mingguan yang berupa jami�iyah marhabanan yang dilakukan dari satu rumah ke rumah yang lain. tujuan dilakukannya kegiatan ini ialah untuk menjalin silaturahmi sekaligus komunikasi dengan orang tua wali santri.
Pembelajaran al-Qur�an, Kitab, dan hadits dilakukan setiap ba�da maghrib dan �isya. Pembelajaran al-Qur�an dilakukan dengan metode sorogan yaitu para santri melingkari pengajar, kemudian santri diminta untuk membaca al-Qur�an satu persatu. Sedangkan kajian kitab dna hadits diberikan dengan metode bandungan, yaitu para santri mengitari pengajar dan mendengarkan penjelasan sang pengajar. Untuk evaluasi sendiri, ketika metode sorogan (dalam pembelajaran al-Qur�an), maka akan dilakukan secara langsung oleh sang pengajar, dengan cara sang santri membaca al-Qur�an dihadapan pengajar dan sang pengajar menyimak bacaan santri. Untuk metode bandungan (dalam pembelajaran kitab dan hadits) evaluasi dilakukan dengan cara beberapa santri diminta untuk menjelaskan kembali apa yang telah mereka dapatkan dan dilakukan tanya jawab antara santri dan pengajar. 

  1. Manajemen Kelembagaan
Definisi manajemen tersebut dijabarkan sebagai berikut (Muhammad Munir, 2006 : 10) :
1.      Ketatalaksanaan proses penggunaan sumber daya secara efektif untuk mencapai sasaran tertentu.
2.      Kemampuan atau keterampilan untuk memperoleh suatu hasil dalam rangka pencapaian tujuan melalui kegiatan-kegiatan orang lain.
3.      Seluruh perbuatan menggerakkan sekelompok orang dan menggerakkan fasilitas dalam suatu usaha kerjasama untuk mencapai tujuan tertentu.
Secara kelembagaan, musholla ini bersifat lembaga non formal. Mengenai proses  pengajaran yang dilakukan di musholla ini diawasi oleh ustadz Hidayat selaku pengasuh musholla ini, dan untuk bidang yang dajarkan diserahkan sepenuhnya kepada para pengajar, beliau tidak mengintervensi apa pun. Untuk peribadahan pun, beliau tidak mengintervensi, beliau lakukan sharing dengan para pengajar untuk menjadi imam sholat, guna menempa mental para pengajar. Untuk keuangan sendiri berasal dari para aghniya� yang merupakan donatur di musholla al-Ihsan, dan dari kas anak-anak yang dikumpulkan setiap minggunya.

  1. Kaderisasi Tenaga Pengajar
Kaderisasi tenaga pengajar dilakukan sejak dini, yaitu dilakukan penempaan sejak awal, para santri yang dianggap telah mampu untuk menjadi guru, maka akan dijadikan sebagai tenaga pengajar di musholla yang disesuaikan dengan kemampuannya. Sehingga musholla ini tidak pernah kekurangan tenaga pengajar, meski para santri yang senior sudah memiliki kesibukan masing-masing sehingga tidak bisa selalu standby di musholla.

  1. Sustainability (Keberlanjutan Pengelolaan)
Keberlanjutan pengelolaan di musholla ini ditangani semuanya oleh para remaja yang aktif di musholla ini, sehingga para remaja mendapatkan kesempatan belajar leadership dan menempa sikap tanggung jawab.

KESIMPULAN
Filosofi didirikannya musholla ini adalah adanya kebutuhan akan wadan untuk anak-anak belajar mengaji al-Qur�an dibawah bimbingan ustadz hidayat. Nama al-Ihsan diambil dari nama pendiri musholla ini yaitu Bapak H. Aksan. Musholla ini bukan hanya sekedar musholla, namun juga sebagai lembaga pendidikan Islam yang diberi nama �Majlis Ta�lim Lil Aulad al-Ihsan�, dikarenakan yang belajar mengaji di musholla ini anak-anak usia SMP kebawah. Mengenai kurikulum pembelajaran di musholla ini ada dua, yaitu pembelajaran inti, meliputi pembelajaran al-Qur�an (tahsin, tajwid, maupun tahfidz), pembelajaran Kitab (al-Barzanji, ad-Diba�i, Safinatu an-Najah, Sulam at-Taufiq, Riyadush Shalihin), dan pembelajaran tambahan meliputi rebana, hadroh, bahasa inggris, dan karate), serta kegiatan rutin setiap hari rabu malam kamis yaitu pelaksanaan jami�iyah marhabanan. Untuk pengelolaan musholla ini secara penuh diawasi oleh Ustadz Hidayat selaku pengasuh, sedangkan sebagai penggerak dari kegiatan pendidikan Islam di musholla ini diserahkan sepenuhnya kepada para remaja yang aktif dimusholla ini yang disebut dengan IRMAN (Ikatan Remaja Musholla Al-Ihsan). Kaderisasi tenaga pengajar dilakukan sejak dini, yaitu dilakukan penempaan sejak awal, para santri yang dianggap telah mampu untuk menjadi guru, maka akan dijadikan sebagai tenaga pengajar di musholla yang disesuaikan dengan kemampuannya. Keberlanjutan pengelolaan di musholla ini ditangani semuanya oleh para remaja yang aktif di musholla ini, sehingga para remaja mendapatkan kesempatan belajar leadership dan menempa sikap tanggung jawab.


DAFTAR PUSTAKA


Hermawan, Heris. 2012. Filsafat Pendidikan Islam. Jakarta : Direktorat Jenderal Pendidikan Islam Kementerian Agama
Kosim, Mohammad. 2009. Tadris Volume 4. Nomor 2 : Langgar Sebagai Institusi Pendidikan Keagamaan Islam. Jawa Timur : STAIN Pamekasan
Mujib, Abdul dan Jusuf Mudzakkir. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta : Kencana Prenada Media
Munir, Muhammad, dan Wahyu Ilaihi. 2006. Manajemen Dakwah. Jakarta : Kencana
Rukiati, Enung K, dan Fenti Hikmawati. 2008. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Bandung : Pustaka Setia
Suriasumantri, Jujun. 1998. Penelitian Ilmiah Kefilsafatan Keagamaan : Mencari Paradigma Kebersamaan dalam Tradisi Baru Penelitian Agama Islam. Bandung : Nuansa Pusjarlit

Tafsir, Ahmad. 2006. Filsafat Pendidikan Islami : Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung : Remaja RosdaKarya