PEMIKIRAN PENDIDIKAN IBN MISKAWAIH
DAN RELEVANSINYA DENGAN PENDIDIKAN ISLAM MUTAKHIR
Oleh : Rosalina (14156310052)
PPs IAIN Syekh Nurjati Cirebon
Email : rosalina180992@gmail.com
A. Latar Belakang Masalah
Rasulullah Saw. diutus oleh Allah dalam membawa Isalm tiada lain hanya untuk menyempurnakan akhlak. Nabi Muhammad saw. dalam salah satu sabdanya mengisyaratkan bahwa kehadirannya di muka bumi ini membawa misi pokok untuk menyempurnakan akhlak mulia di tengah-tengah masyarakat. Misi Nabi ini bukan misi yang sederhana, tetapi misi yang agung yang ternyata untuk merealisasikannya membutuhkan waktu yang cukup lama, yakni lebih dari 22 tahun. Nabi melakukannya mulai dengan pembenahan aqidah masyarakat Arab, kurang lebih 13 tahun, lalu Nabi mengajak untuk menerapkan syariah setelah aqidahnya mantap. Dengan kedua sarana inilah (aqidah dan syariah), Nabi dapat merealisasikan akhlak yang mulia di kalangan umat Islam pada waktu itu.[1]Dari sini, kita dapat simpulkan bahwa datangnya Islam membawa misi yang sangat penting yaitu memperbaiki dan menyempurnakan akhlak manusia. Akhlaqul karimah yang diajarkan dalam Islam merupakan orientasi yang harus dipegang oleh setiap muslim. Seseorang yang hendak memperoleh kebahagiaan sejati (al-sa�adah al-haqiqiyah), hendaknya menjadikan akhlak sebagai landasannya dalam bertindak dan berperilaku. Sebaliknya, orang yang tidak memperdulikan pembinaan akhlak adalah orang yang tidak dmemiliki arti dan tujuan hidup. Di era modern seperti sekarang ini, sedikitnya terdapat tiga fungsi akhlak dalam kehidupan manusia. Pertama. ia dapat dijadikan sebagai panduan dalam memilih apa yang boleh diubah, dan apa pula yang harus dipertahankan. Kedua, dapat dijadikan sebagai obat penawar dalam menghadapi berbagai ideologi kontemporer (seperti materialisme, nihilisme, hedonisme, radikalisme, marxisme, skulerisme dan lain-lain). Ketiga, dapat pula dijadikan sebagai benteng dalam menghadapi perilaku menyimpang akibat pengaruh negatif globalisasi.[2]
Pendidikanmerupakan bagian terpenting dalam kehidupan manusia yang sekaligus membedakan manusia dengan hewan, karena manusia diberikan sebuah anugerah terbesar dari Allah berupa akal pikiran, sehingga proses belajar mengajar merupakan usaha manusia dalam masyarakat yang berbudaya, dan dengan akal pikiran yang ia miliki akan mengetahui segala hakikat permasalahan dan sekaligus dapat membedakan mana yang baik dan buruk.[3]
Tujuan dari pendidikan di Indonesia (baik pendidikan umum ataupun pendidikan Islam) dalam Pasal 3 UUSPN No.20 Tahun 2003, yaitu berfungsi untuk mengambangkankemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab.[4]
Ditinjau dari aspek sejarahnya, pendidikan Islam secara formal merupakan sistem pendidikan tertua di dunia, hal ini dikarenakan semenjak Islam masuk ke Indonesia, belum adanya lembaga-lembaga pendidikan-pendidikan formal. Lembaga pendidikan di Indonesia secara formal diperkenalkan pertama kali oleh umat Islam melalui Meunasah dan Rongkong di Aceh, Surau di Sumatera Barat dan Pesantren di Jawa. Melihat usia dan pengalaman yang cukup panjang ini seyogyanya dapat menjadikan pendidikan Islam di Indonesia semakin handal dan mapan. Namun, hingga dewasa ini lembaga-lembaga pendidikan Islam di Indonesia terkesan menjadi �lembaga pendidikan kelas dua� setelah lembaga pendidikan umum. Hal ini disebabkan belum ditemukannya konsep-konsep sistem pendidikan yang adaptif dan akomodatif dengan zamannya. Oleh karena itu, kajian-kajian komprehensif terhadap al-Qur�an, sunnah Nabi, tuntutan kehidupan dan pemikiran para filosof serta pakar pendidikan harus senantiasa dilakukan.[5]
Diskursus tentang pengembangan sistem pendidikan Islam yang diprakarsai para pakar pendidikan Islam serta para pengambil kebijakan selama ini telah memperkaya khazanah keilmuan dan bisa memberikan kontribusi pemikiran dalam pengembangan pendidikan Islam di Indonesia. Namun dalam realisasinya, kebijakan pemerintah dalam rangka meningkatkan kualitas pendidikan belum mampu memberikan hasil yang memuaskan, khususnya dalam membentuk moral bangsa. Meskipun bangsa Indonesia terdiri dari mayoritas Islam, pelaksanaan pendidikan agama Islam tampaknya belum menyentuh pada jiwa kaum muslim.[6]Maka diperlukannya reformulasi dari pendidikan Islam, dimana pendidikan tersebut bukan hanya menjadikan seseorang menjadi pintar secara akademik, namun juga berakhlak secara kepribadian. Mengingat sekarang ini di Tanah Air kita sedang marak sekali perbincangan mengenai pendidikan karakter (akhlak) hal ini tentu karena dirasakan sekali di masyarakat betapa kemerosotan bangsa ini dalam bidang karakter. Bahkan sebetulnya pada saat Soekarno menjadi presiden beliau sering mengungkapkan perkataan �Nation andCharacter Building�, ketika itu beliau telah melihat bahwa salah satu yang amat penting dibangun pada masyarakat Indonesia adalah karakternya.[7]
Pembinaaan akhlak dan budi pekerti, bukanlah masalah yang baru muncul saat ini. Dalam sejarah perkembangan pemikiran Islam, ditemukan beberapa tokoh yang menyibukan diri dalam bidang ini kepada Al-Kindi, Al-Farabi, Ikhwan al-Safa, Ibn Sina, Al-Ghazali, Ibn Miskawaih dan lain-lain. Dan dari sekian banyak tokoh tersebut, Ibn Miskawaih adalah tokoh yang betul-betul berjasa dalam mengembangkan wacana etika Islami (akhlak al-karimah).[8]Oleh karena itu, dalam makalah ini akan dibahas mengenai pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih yang menurut penulis masih relevan untuk diterapkan dalam Sistem Pendidikan Islam mutakhir di Indonesia, mengingat bahwa masalah pendidikan sekarang yang baru berhasil mencetak generasi pintar namun belum berhasil mencetak generasi yang bermoral.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkanlatar belakang masalahdi atas, maka penulis merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaiman biografi singkat Ibn Miskawaih?
2. Bagaimana Pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih?
3. Bagaimana relevansi antara pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih dengan pendidikan Islam mutakhir?
C. Pembahasan
1. Biografi Singkat Ibn Miskawaih
Ibn Miskawaih memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Ya�qub bin Miskawaih, Abu Ali, seorang pengkaji dan sejarawan.[9]Ada pula yang memanggilnya hanya dengan Miskawaih (tanpa Ibn).[10]Ia dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 932 M/320 H.[11] Menetap di Isfahan dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 421 H/1030 M.[12]Kedua orangtuanya berasal dan berkebangsaan Persia. Ayahnya seorang pegawai pemerintahan, karenanya ia memperoleh kesempatan untuk bergaul dengan kalangan terhormat dan kalangan birokrat. Masyarakat yang sudah kondusif, mendorong Ibn Miskawaih untuk belajar.[13]Ia menekuni bidang kimia, filsafat, dan logika untuk masa yang cukup lama.[14]Sewaktu masih muda, ia telah menjadi atase bagi al-Muhallabi yang saat itu berkedudukan sebagai Perdana Menteri Dinasti Buwaihi yang dipimpin oleh Mu�iz al-Daulah di Baghdad. Setelah al-Muhallibi meninggal, ia mendapatkan hadiah dan penghormatan dari Ibn al-Amid sebagai Perdana Menteri saudara kandungnya Mu�izz al-Daulah, yaitu Rukn al-Daulah di al-Ray. Ibn Miskawaih diangkat sebagai pegawai perpustakaan (pustakawan) pada Perpustakaan Ibn al-Amid. Di perpustakaan inilah ia memperoleh peluang untuk meningkatkan ilmunya.[15]Setelah itu beliau mengkhususkan diri mengabdi kepada Baha� al-Daulah al-Buwaihi yang memberikannya kedudukan tinggi dan karismatik. Abu Hayyan berkata, saat melukiskan garis besar sifat-sifat kepribadiannya, bahwa cara beliau menuturkan kata-kata sangat lembut, mudah dicerna, mengandung makna-makna sangat masyhur, sangat hati-hati tapi juga lemah mendaki � yakni bersemangat pada mulanya, lalu menurun secara tiba-tiba.[16]
Dari segi latar belakang pendidikannya tidak diketahui secara pasti. Namun demikian, dapat diprediksikan bahwa ia mengalami pendidikan seperti anak-anak seusianya. Ahmad Amin mendeskripsikan bahwa pendidikan anak pada masa Abbasiyyah saat itu pada umumnya anak-anak mulai belajar membaca, menulis, mempelajari al-Qur'an, dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan Arud (ilmu membaca dan membuat sya'ir). Pelajaran-pelajaran tersebut diselenggarakan di surau-surau dan di rumah-rumah bagi keluarga yang mampu mendatangkan guru privat bagi anak-anak mereka. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diberikan, dilanjutkan dengan mata pelajaran ilmu fikih, hadits, sejarah Arab Persi khususnya dan India, dan matematika. Selain itu, diberikan pula pelajaran ilmu-ilmu praktis seperti musik, main catur, dan furusiah (ilmu militer). Aktivitas intelektual Ibn Miskawaih dimulai dengan belajar sejarah kepada Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al Qadhi. Selajutnya ia belajar filsafat kepada Ibn al Khammar, seorang komentator atas karya-karya Ariestoteles. Disamping itu, ia juga belajar kimia dari Abi al-Tayyibah al-Razi, seorang ahli kimia terkenal di zamanya. Karena keahliannya dalam berbagai ilmu, Iqbal mengelompokannya sebagai seorang pemikir, moralis, dan sejarawan Parsi paling terkenal.[17]
Sebelum menganut agama Islam, Ibn Miskawaih adalah seorang pemeluk agama Majusi. Namun setelah masuk Islam, ia merupakan salah seorang sarjana yang taat dalam menjalankan ajaran agamanya.[18]Menurut al-Labib, dulunya Ibn Miskawaih ini seorang Majusi yang kemudian masuk Islam. Tapi barangkali juga yang dimaksudkan adalah kakeknya, Al-Qifthi. Andaipun betul begitu, hal itu tidak harus berarti bahwa beliau tercela gara-gara majusi lalu masuk Islam. Bahkan hal itu justru mengangkat derajatnya, karena ternyata beliau mendapat petunjuk setelah sekian lama terjerembab dalam kesesatan. Al-Labib pernah juga mengungkapkan bahwa beliaulah seseorang yang paling agung, yang paling terhormat di kalangan orang non-Arab. Beliau pulalah yang paling karismatik di antara orang-orang Persia. Menurut beberapa orang, yang disebut �Miskawaih� itu adalah kakeknya bukan ayahnya.[19]
Banyakpenulis berpendapat bahwa Ibn Miskawaih adalah seorang Syi'i. Pendapat tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi (salah satu kerajaan beraliran Syi'ah yang menggantikan posisi Daulah Abbasiyah di Irak sekitar abad ke 10 -12 M).[20]Ia hijrah ke Baghdad dan belajar sastra Arab dan Persi kepada menteri al-Mahlabi pada tahun 348 M. dan menetap di sana bersama ahli sastra lainnya sampai gurunya meninggal dunia pada tahun 352 H.
Setelah itu dia kembali ke Rayy dan mengaji kepada ibn al-'Amid, seorang intelektual profesional di bidang arsitek bangunan, ahli filsafat, logika dan ahli bahasa dan sastra Arab, serta penyair dan penulis terkenal. Kurang lebih tujuh tahun ia belajar sampai ibn al- 'Amid meninggal dunia pada tahun 359 H.
Di beberapa sumber yang lain menyebutkan bahwa ibn Miskawaih juga mempelajari sejarah dari Abu Bakr Ahmad Ibn Kamil al-Qadli, belajar filsafat ke Ibn al-Akhman, dan mempelajari kimia dari Abu Tahyyib al-Razy. Ia juga pernah bekerja sebagai bendahara, sekretaris, pustakawan, dan pendidik anak para pemuka dinasti Buwaihi.
Ibn Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles. Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya al-Fauz al-Asghar. Dalam buku tersebut, ia membahas ide-ide filosofisnya ke dalam tiga bagian, yaitu : pembuktian tentang eksistensi Tuhan, tentang jiwa, dan tentang kenabian. Ia mencoba melakukan rekonsiliasi antara pemikiran Yunani dengan ajaran Islam. Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang sebagai filosof ketuhanan (al-Falsafah al-Nadzariyyah al-'Amaliyah).[21]Agaknya hal itu dimotivasi oleh situasi masyarakat yang kacau pada saat itu. Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah pendidikan, pengajaran, etika yang utama dan metode-metode yang baik bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah:[22]
1. Tajarih Al-Umam
2. Ta�qub Al-Himam
3. Thaharat Al-Nafs
4. Adab Al-�Arab wa Al-Firs
5. Al-Fawz Al-Ashgar fi Ushul Al-Dinayat
6. Al-Fawz Al-Akbar (dalam bidang etika)
7. Kitab Al-Siasat
8. Mukhtar Al-Asy�ar
9. Nadim Al-Farid
10. Nuzhat Namah �Alaiy
11. Jawidan Khird
12. Tartib Al-Sa�adat
13. Al-Adwiyah Al-Mufridah
14. Al-Asyribah
15. Tahdz�b al-Akhlaq wa Tath�r al-A'raq
2. Pemikiran Pendidikan Ibn Miskawaih
Pemikiran Ibn Miskawaih terkait pendidikan, tidak terlepas dari pemikirannya mengenai manusia dan akhlak. Mengenai konsepnya tentang manusia, Ibn Miskawaih memandang bahwa manusia memiliki tiga daya, yaitu daya bernafsu (an-Nafs al-Bahimiyat) dimana menempati posisi yang paling rendah dan organ yang digunakan adalah hati, daya berani (an-Nafs al-Sabu�iyat) sebagai daya yang tengah-tengah dimana organ yang berperan yaitu jantung, dan daya berpikir (an-Nafs al-Natiqah), daya yang paling mulia, dimana melalui daya ini manusia menyejajarkan dirinya dengan malaikat dan organ yang digunakan yaitu otak. Manusia akan mulia ketika banyak jiwa berpikirnya, dan jika mengabdikan dirinya pada jiwa berpikir ini, ia berada pada tingkat kesempurnaan. Ketika ada tingkat kesempurnaan, maka ada tingkatan yang tidak sempurna yaitu tingkatan di mana orang-orang lemah jiwa berpikirnya, merekalah yang berada dalam alam binatang yang tunduk terhadap nafsunya yang dipuaskan melalui organ-organ inderawi.[23]
Sebagaimana dikutip oleh Abuddin Nata dalam bukunya yang berjudul �Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam�, Sebagaimana yang dikutip oleh Abuddin Nata, Ibnu Miskawaih memahami bahwa unsur ruhani berupa daya bernafsu (al-nafs al-bahimiyyat) dan daya berani (al-nafs al-sabu�iyyat) berasal dari unsur materi sedangkan daya berpikir (al-nafs al-nathiqah) berasal dari ruh Tuhan. Oleh karena itu unsur yang berasal dari materi akan hancur bersama hancurnya badan sedangkan unsur (al-nafs al-nathiqah) yang berasal dari ruh Tuhan tidak akan mengalami kehancuran. Dari sini kita dapatkan bahwa mengenai hubungan antara daya bernafsu dan daya berani dengan jasad, menurut Ibn Miskawaih pada hakikatnya saling mempengaruhi. Sehat dan kuat atau sakit dan lemahnya tubuh bergantung dari kedua daya tersebut, dan daya ini tidak akan berfungsi dengan baik jika tidak menggunakan hal-hal yang bersifat bendawi atau badani yang terdapat dalam tubuh manusia. Sehingga Ibn Miskawaih menyatakan bahwa manusia terdiri dari unsur jasmani dan rohani (daya berfikir) yang saling berhubungan.[24]
Mengenai akhlaq, menurutnya akhlaq merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan jiwa ini yang membuat manusia berbuat tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Akhlaq dibagi menjadi dua, pertama bersifat alamiah dan bertolak dari jiwa. Kedua, yang tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus, menjadi karakter.[25]Kedua watak tersebut menurut Ibn Miskawaih pada hakekatnya tidak alami, meskipun kita diciptakandengan menerima watak, akan tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran.[26]
Paradigma pemikiran Ibnu Miskawaih dalam bidang ahklak memiliki keunikan-keunikan tersendiri. Pemikiran akhlak Ibnu Miskawaih banyak dipengaruhi oleh para filosof Yunani, seperti Aristoteles, plato, dan Galen dengan meramu pemikiran-pemikiran tersebut dengan ajaran-ajaran Islam. Disamping itu, Ibnu Miskawaih juga banyak dipengaruhi filosof Muslim, seperti al-Kindi, al-Farabi dan al-Razi serta lainnya. Oleh karena itu, corak pemikiran Ibnu Miskawaih dapat dikategorikan ke dalam tipologi etika filosofi (etika rasional), yaitu pemikiran etika yang banyak dipengaruhi oleh para filosof, terutama para filosof Yunani.[27]
Ibn Miskawaih menegaskan bahwa pendidikan akhlak didasarkan atas doktrin jalan tengah. Menurutnya jalan tengah diartikan sebagai keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atauposisi tengah antara dua ekstrim baik dan buruk yang ada dalam jiwa manusia. Menurutnya, posisi tengah jiwa bahimiyah adalah iffah, yaitumenjaga diri dari perbuatan dosa dan maksiat. Selanjutnya posisi tengah jiwa al-ghadlabiyah adalah al-saja �ah yaitu keberanian yang dipertimbangkan untung dan ruginya. Sedangkan posisi tengah jiwa nathiqah adalah al-hikmahyaitu, kebijaksanaan. Adapun perpaduan dari ketiga posisi tengah tersebut adalah keadilan atau keseimbangan. Keempat keutamaan (al fadhilah)akhlak al-iffah (sikap sederhana), al-saja'ah (dermawan), al-hikmah (kearifan/kebijaksanaan) dan al-adalah (adil) adalah merupakan pokok atau induk akhlak yang mulia. Adapun lawannya ada empat pula yaitu al-jah, as-syarh, al-jubn dan al-jur (bodoh, rakus, pengecut, dan lalim).[28]
Dan keempat akhlak tersebut merupakan induk akhlak mulia yang melahirkan berbagai macam akhlak-akhlak mulia lainnya yang tak terhitung jumlahnya. Jadi, pribadi yang diidealkan oleh Ibn Miskawaih ialah pribadi yang mampu memposisikan dirinya secara proporsional dan profesional dalam rangka keseimbangan dan senantiasa menempatkan posisi tengah di antara ekstrimitas kehidupan. Selain itu juga harus memiliki kepekaan intelektual (intelectual ability) dan kepedulian emosional (emotional majority) terhadap kehidupan dirinya, masyarakat dan lingkungan sekitarnya.[29]
Pendidikan akhlak ini memiliki tujuan, kode etik (pendidik dan peserta didik), metode pendidikan, materi pendidikan akhlak, dan lingkungan pendidikan.
Ibnu Miskawaih mengatakan bahwa tujuan pendidikan akhlak adalah terwujudnya sikap batin yang mampu mendorong secara spontanuntuk melahirkan semua perbuatan yang bernilai baik sehingga mencapai kesempurnaan dan memperoleh kebahagiaan yang sejati dan sempurna.[30]Kehidupan yang komprehensif, yang mengandung kebahagiaan, kemakmuran, keberhasilan, kesempurnaan, kesenangan, dan kecantikan. Sehingga tujuan pendidikan yang diinginkan oleh Ibn Miskawaih bersifat universal.[31]
Mengenai kode etik (pendidik dan peserta didik). Menurut Ibn Miskawaih, pendidik mempunyai tugas dan tanggung jawab untuk meluruskan peserta didik melalui ilmu rasional agar mereka dapat mencapai kebahagiaan intelektual dan untuk mengarahkan peserta didik pada disiplin-disiplin praktis dan aktivitas intelektual agar dapat mencapai kebahagiaan praktis.[32]
Pandangan Ibnu Miskawaih tentang pendidik diklasifikasikan menjadi dua, yaitu orang tua dan guru. Sementara itu, guru menurutnya ada dua, yaitu guru ideal mua'lim al-hakim dan guru biasa dengan persyaratan masing-masing. Adapun pandangan Ibnu Miskawaih tentang kewajiban peserta didik adalah mencintai guru yang melebihi cintanya terhadap orang tua. Bahkan kecintaan peserta didik terhadap gurunya disamakan dengan cinta terhadap Tuhannya. Oleh karena itu, dalam interaksi edukatif antara guru dan murid harus didasarkan pada perasaan cinta kasih. Dengan adanya dasar semacam ini proses pembelajaran diharapkan berjalan sesuai dengan yang diharapkan.[33]
Metode yang dikemukakan Ibnu Miskawaih dalam upaya mencapai akhlak yang baik adalah pertama; kemauan yang bersungguh-sungguh. Adanya kemauan secara bersungguh-sungguh untuk berlatih secara terus menerus dan menahan diri (al-�adat wa al-jihad) untuk memperoleh keutamaan dan kesopanan yang sebenarnya adalah sesuai dengan keutamaan jiwa.[34] Latihan ini bertujuan untuk menahan kemauan jiwa al-syahwaniyyat dan alghadabiyyat.Latihan yang dilakukan antara lain adalah dengan makan dan minum yang tidak berlebihan yang membawa pada kerusakan tubuh. Sedangkan yang kedua; yakni menjadikan pengetahuan dan pengalaman orang lain sebagai cermin bagi dirinya, yaitu pengetahuan dan pengalaman berkenaan dengan hukum akhlak yang berlaku bagi sebab munculnya kebaikan dan keburukan bagi manusia. Dengan cara ini seseorang tidak akan hanyut kepada perbuatan yang tidak baik, karena ia bercermin kepada perbuatan buruk dan akibat buruk yang dialami orang lain.[35]
Jika orientasi pendidikannya adalah perbaikan akhlak, maka metode yang digunakan pun berkaitan dengan pendidikan akhlak. Oleh karena itu, dalam hal ini akhlak bukanlah bawaan yang tidak dapat diubah, karena jikalau demikian berarti pendidikan sudah tidak dibutuhkan lagi. Menurutnya untuk mengubah akhlak menjadi baik maka dalam pendidikannya ia menawarkan metodeyang efektif yang terfokus pada dua pendekatan yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan, serta peneladanan dan peniruan.[36]
Pembiasaan bisa dilakukan sejak usia dini yaitu dengan sikap dan berprilaku yang baik, sopan dan menghormati orang lain. Sedangkan pelatihan dapat diaplikasikan dengan menjalankan ibadah bersama keluarga seperti sholat, puasa dan latihan-latihan yang lainnya. Peneladanan dan peniruan bisa dilakukan oleh orang yang dianggap sebagai panutan baik orang tuanya sendiri, guru-gurunya ataupun tokoh lain yang layak dijadikan figur. Model pendidikan moral dan karakter seperti itulah sampai sekarang perlu diperhatikan dan tidak bisa diabaikan begitu saja.[37]
Metode-metode tersebut ditawarkan oleh Ibn Miskawaih karena dia memandang seorang pendidik yang dalam hal ini guru, instruktur, ustadz atau dosen memegang peranan penting dalam kegiatan pembelajaran dan pendidikan untuk mencapai tujuan yang ditetapkan. Posisinya sama dengan posisi kedua orang tuanya yang melahirkan dan mendidiknya sejak kecil. Bahkan Ibn Miskawaih meletakkan cinta murid terhadap gurunya berada di antara kecintaan terhadap orang tua dan kecintaan terhadap Tuhan.[38]Dengan begitu diharapkan kegiatan belajar mengajar yang didasarkan atas cinta kasih antara guru dan murid dapat memberi dampak positif bagi keberhasilan pendidikan.
Secara garis besar Ibnu Miskawaih mengklsifikasikan materi pendidikan akhlak ke dalam tiga jenis, yaitu (1) hal-hal yang wajib bagi kebutuhan tubuh manusia, (2) hal-hal yang wajib bagi jiwa manusia dan (3) hal-hal yang wajib bagi hubungannya dengan sesama manusia. Pembagian semacam ini tidak terlepas dari pembagian Ibnu Miskawaih tentang daya jiwa manusia.[39]
Untuk materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan manusia disebutnya adalah shalat, puasa dan sa'i.[40] Di sini dia tidak memberi penjelasan lebih lanjut mengenai contoh tersebut. Ada kemungkinan ia mengira kita sudah bisa memahami maksudnya. Selanjutnya materi pendidikan akhlak yang wajib bagi kebutuhan jiwa dicontohkan dengan pembahasan tentang akidah yang benar, mengesakan Allah SWT dengan segala kebesaran-Nya, serta motivasi untuk senang kepada ilmu. Adapun materi yang terkait dengan kebutuhan manusia terhadap sesamanya dicontohkan dengan materi dalam ilmu muamalat, pertanian, perkawinan, saling menasihati, peperangan dan lain-lain.[41]
Dari ketiga pokok materi tersebut, maka akan diperoleh ilmu yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi dua, pertama; ilmu-ilmu tentang pemikiran (al-�ulum al-fikriyah), kedua; ilmu yang berkaitan dengan indera (al-�ulum al-bissiyat).
Ibnu Miskawaih membicarakan lingkungan pendidikan dengan cara bersifat umum, mulai dari lingkungan sekolah yangmenyangkut hubungan guru dan murid, lingkungan pemerintah sampai lingkungan rumah tangga yang meliputi hubungan orang tua dengan anak. Lingkungan ini secara akumulatif berpengaruh terhadap terciptanya lingkungan pendidikan.
3. Relevansi antara pemikiran pendidikan Ibn Miskawaih dengan pendidikan Islam mutakhir
Pendidikan akhlak yang digagas pertama kali oleh Ibn Miskawaih memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa ke depan. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua krisis yang terjadi dewasa ini baik ekonomi, politik dan sosial budaya itu disebabkan karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka atau bingkai kehidupan. Perilaku korupsi, kolusi, perjudian, perzinahan, narkoba, dan kekerasan yang terjadi selama ini disebabkan hancurnya pendidikan moral dan akhlak. Sebagaimana juga dikatakan oleh Syauqi Baiq dalam kata-kata hihmahnya: �Sesungguhnya mati dan hidup bangsa itu sangat bergantung pada akhlaknya, jika baik, maka akan kuat bangsa itu, dan jika rusak maka hancurlah bangsa itu�.[42]
Selain daripada hal di atas, globalisasi pun menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam dewasa ini. Globalisasi telah menyebarkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam. Dan arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. Apakah nilai-nilai itu bersifat positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah berlaku didalam masyarakat. Dan yang lebih penting lagi pengaruh globalisasi adalah pengaruh nilai-nilai seperti materialisme, konsumerisme, hedonisme, penggunaan kekerasan, dan narkoba yang dapat merusak moral masyarakat.[43]
Menghadapi Globalisasi itu, seyogyanya kita sebagai umat Islam tidak menyikapinya dengan sikap apriori (menolak) apa saja yang berasal dari efek globalisasi dengan dalih semua itu berasal dari Barat yang bersifat negatif. Ingat tidak ada hal negatif yang sepenuhnya negatif, dan juga tidak ada hal positif yang sepenuhnya positif. Oleh, karena itu kita haruslah bersikap selektif dan memfilter nilai-nilai dan menanamkan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka hadapi dan alami.
Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat diwujudkan bila ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata, setiap sektor pendidikan lain baik formal, informal maupun non formal harus difungsikan secara integral. Di samping itu, pendidikan harus diarahkan secara seimbang antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan mempunyai peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai (akhlak) kepada peserta didik, maka diperlukan sistem pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan zaman.[44]
Membangun manusia seutuhnya merupakan tujuan ideal dari pendidikan di Indonesia. Untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya tersebut, diawali dengan melihat manusia itu memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikis (jiwa). Didalam aspek psikis inilah duduknya pendidikan karakter. Lahirnya sebuah sikap dan perilaku itu dimotori penggeraknya dalam jiwa seseorang. Karena itulah membangun jiwa seutuhnya haruslah berawal dari pembangunan jiwa manusia.[45]Dan dalam hal ini, Ibn Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral education) bagi pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqw�m) harus berbanding lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan. Kehidupan manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan kenikmatan spiritual dengan etika sebagai kontrolnya. Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
Nilai-nilai pendidikan seperti itu harus mulai ditanamkan sejak usia dini. Karena hal itu tidak bersifat alami dalam diri manusia tapi harus diusahakan jadi merupakan suatu kewajiban untuk mengajarkan dasar-dasar pengetahuan dan etika pergaulan dalam proses pembelajaran dan pendidikan. Mengacu dari tridomain pendidikan (domain kognitif, domain afektif, dan domain psikomotorik), tatanan nilai yang tertuang dalam pembukaan UUD�45 khususnya yang tertuang dalam UU No.2/1989 dan UU No. 20/2003 lebih banyak didominasi oleh domain afektif atau cenderung kepada pembentukan sikap. Hal ini menunjukkan bahwa tatanan nilai (kperibadian yang luhur) berfungsi sebagai pengayom domain lainnya. Artinya, kecerdasan dan keterampilan harus berasaskan nilai-nilai luhur yang dianut bangsa. Di antara sekian banyak nilai-nilai luhur tersebut yaitu beriman, berakhlakul karimah, dan berama shaleh utamanya yang bersumber pada nilai-nilai ajaran agama (Islam) adalah bagian dari nilai luhur itu.[46]
Dari dua metode yang ditawarkan oleh Ibn Miskawaih yaitu melalui pembiasaan dan pelatihan secara kontinyu serta peneladanan dan peniruan dari orang yang ada di sekitarnya. Dapat dilihat perlu adanya upaya dari para pendidik baik orang tua maupun guru-guru yang patut dijadikan panutan bagi peserta didiknya. Karena peran yang mulai itulah agama menempatkan orang tua sebagai manusia yang harus di taati setelah Allah SWT dan rasulnya. Selain orang tua yang memiliki peran yang sangat urgen, guru juga tidak kalah penting peranannya sebagai wakil dari orang tuanya. Apalagi saat ini tidak sedikit orang tua yang sibuk dengan aktifitasnya di luar rumah sehingga anak-anaknya lebih banyak menghabiskan waktunya dengan guru dan teman-temannya di sekolah. Dari situ guru di tuntut untuk profesional dibidangnya selain itu juga ia harus memiliki kasih sayang sebagaimana yang dimiliki oleh para orang tua. Oleh sebab itu, seorang guru diharapkan tidak hanya melakukan transfer of knowledge tetapi harus melakukan transformasi keilmuan dan kependidikan bagi anak didiknya. Apapun sistem ataupun pendidikan etika yang diajarkannya, menurut Ibn Miskawaih guru merupakan centre of learning yang menentukan berhasil tidaknya proses pendidikan. Namun eksistensinya tidak bertumpu pada ilmu yang dimilikinya, melainkan pada perilakunya yang baik dan strategi ataupun metodologi yang digunakannya dalam pendidikan.[47]
D. Penutup
Ibn Miskawaih memiliki nama lengkap Ahmad bin Muhammad bin Ya�qub bin Miskawaih, Abu Ali, seorang pengkaji dan sejarawan. Ada pula yang memanggilnya hanya dengan Miskawaih(tanpa Ibn). Ia dilahirkan di kota Ray (Iran) pada tahun 932 M/320 H. Menetap di Isfahan dan meninggal dunia di kota ini pada tahun 421 H/1030 M. Ia menekuni bidang kimia, filsafat, dan logika untuk masa yang cukup lama. Banyak penulis berpendapat bahwa Ibn Miskawaih adalah seorang Syi'i. Pendapat tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa sebagian besar hidupnya dihabiskan untuk mengabdi kepada pemerintah Dinasti Buwaihi (salah satu kerajaan beraliran Syi'ah yang menggantikan posisi Daulah Abbasiyah di Irak sekitar abad ke 10 -12 M). Ibn Miskawaih sangat tertarik kepada masalah sejarah, filsafat dan etika. Pemikirannya dipengaruhi oleh pemikiran Plato, Aristoteles. Pemikiran filsafatnya dapat dijumpai dalam bukunya al-Fauz al-Asghar. Kendatipun disiplin ilmunya meliputi bahasa, sejarah dan filsafat, namun ia lebih populer sebagai filosof akhlak (al-Falsafah al 'Amaliyah), ketimbang sebagai filosof ketuhanan (al-Falsafah al-Nadzariyyah al-'Amaliyah). Hal itu terbukti banyaknya karya-karya yang berbicara masalah pendidikan, pengajaran, etika yang utama dan metode-metode yang baik bagi semua masalah tersebut. Adapun karya-karyanya adalah Tajarih Al-Umam, Ta�qub Al-Himam, Thaharat Al-Nafs,Adab Al-�Arab wa Al-Firs, Al-Fawz Al-Ashgar fi Ushul Al-Dinayat,Al-Fawz Al-Akbar (dalam bidang etika), Kitab Al-Siasat,Mukhtar Al-Asy�ar,Nadim Al-Farid,Nuzhat Namah �Alaiy,Jawidan Khird,Tartib Al-Sa�adat,Al-Adwiyah Al-Mufridah, Al-Asyribah danTahdz�b al-Akhlaq wa Tath�r al-A'raq
Pemikiran Ibn Miskawaih terkait pendidikan, tidak terlepas dari pemikirannya mengenai manusia dan akhlak. Mengenai konsepnya tentang manusia, Ibn Miskawaih memandang bahwa manusia memiliki tiga daya, yaitu daya bernafsu (an-Nafs al-Bahimiyat), daya berani (an-Nafs al-Sabu�iyat) dan daya berpikir (an-Nafs al-Natiqah). Mengenai akhlaq, menurutnya akhlaq merupakan suatu keadaan jiwa. Keadaan jiwa ini yang membuat manusia berbuat tanpa berpikir atau dipertimbangkan secara mendalam. Akhlaq dibagi menjadi dua, pertama barsifat alamiah dan bertolak dari jiwa. Kedua, yang tercipta melalui kebiasaan dan latihan. Pada mulanya, keadaan ini terjadi karena dipertimbangkan dan dipikirkan, namun kemudian melalui praktik terus menerus, menjadi karakter. Kedua watak tersebut menurut Ibn Miskawaih pada hakekatnya tidak alami, meskipun kita diciptakan dengan menerima watak, akan tetapi watak tersebut dapat diusahakan melalui pendidikan dan pengajaran. Ibn Miskawaih menegaskan bahwa pendidikan akhlak didasarkan atas doktrin jalan tengah. Menurutnya jalan tengah diartikan sebagai keseimbangan, moderat, harmoni, utama, mulia atauposisi tengah antara dua ekstrim baik dan buruk yang ada dalam jiwa manusia.
Pendidikan akhlak yang digagas pertama kali oleh Ibn Miskawaih memiliki urgensi nilai yang cukup signifikan dalam membentuk kepribadian bangsa ke depan. Sebagaimana kita ketahui bahwa semua krisis yang terjadi dewasa ini baik ekonomi, politik dan sosial budaya itu disebabkan karena akhlak tidak lagi menjadi kerangka atau bingkai kehidupan. Perilaku korupsi, kolusi, perjudian, perzinahan, narkoba, dan kekerasan yang terjadi selama ini disebabkan hancurnya pendidikan moral dan akhlak. Sebagaimana juga dikatakan oleh Syauqi Baiq dalam kata-kata hihmahnya: �Sesungguhnya mati dan hidup bangsa itu sangat bergantung pada akhlaknya, jika baik, maka akan kuat bangsa itu, dan jika rusak maka hancurlah bangsa itu�.
Selain daripada hal di atas, globalisasi pun menjadi tantangan tersendiri bagi dunia pendidikan, khususnya pendidikan Islam dewasa ini. Globalisasi telah menyebarkan arus informasi yang begitu banyak dan beragam. Dan arus informasi tersebut tidak hanya berupa pengetahuan tetapi juga berbagai nilai, dan nilai-nilai yang sepintas lalu terasa baru dan asing. Apakah nilai-nilai itu bersifat positif atau negatif tergantung pada nilai-nilai budaya dan tradisi yang telah berlaku didalam masyarakat. Dan yang lebih penting lagi pengaruh globalisasi adalah pengaruh nilai-nilai seperti materialisme, konsumerisme, hedonisme, penggunaan kekerasan, dan narkoba yang dapat merusak moral masyarakat. Menghadapi Globalisasi itu, seyogyanya kita sebagai umat Islam tidak menyikapinya dengan sikap apriori (menolak) apa saja yang berasal dari efek globalisasi dengan dalih semua itu berasal dari Barat yang bersifat negatif. Ingat tidak ada hal negatif yang sepenuhnya negatif, dan juga tidak ada hal positif yang sepenuhnya positif. Oleh, karena itu kita haruslah bersikap selektif dan memfilter nilai-nilai dan menanamkan nilai-nilai (akhlak) pada peserta didik agar dapat mempersiapkan mereka dalam menghadapi tantangan globalisasi yang mereka hadapi dan alami. Dalam rangka penanaman nilai-nilai (akhlak) tersebut pendidikan menjadi kunci utama, tentu saja penanaman nilai-nilai tersebut tidak akan dapat diwujudkan bila ia hanya mengandalkan pendidikan formal semata, setiap sektor pendidikan lain baik formal, informal maupun non formal harus difungsikan secara integral. Di samping itu, pendidikan harus diarahkan secara seimbang antara aspek kognitif, afektif dan psikomotorik. Pendidikan mempunyai peran penting dalam sosialisasi nilai-nilai (akhlak) kepada peserta didik, maka diperlukan sistem pendidikan yang bermutu dan sesuai dengan perkembangan zaman. Membangun manusia seutuhnya merupakan tujuan ideal dari pendidikan di Indonesia. Untuk membangun manusia Indonesia seutuhnya tersebut, diawali dengan melihat manusia itu memiliki dua aspek, yaitu aspek fisik dan aspek psikis (jiwa). Didalam aspek psikis inilah duduknya pendidikan karakter. Lahirnya sebuah sikap dan perilaku itu dimotori penggeraknya dalam jiwa seseorang. Karena itulah membangun jiwa seutuhnya haruslah berawal dari pembangunan jiwa manusia. Dan dalam hal ini, Ibn Miskawaih menekankan pendidikan moral (moral education) bagi pembangunan manusia. Karena sejatinya pembangunan manusia adalah pembangunan jiwa dengan keutamaan (ahsan taqw�m) harus berbanding lurus dengan kenikmatan jasmani, harta dan kekuasaan. Kehidupan manusia bukanlah kehidupan zuhud dan penolakan, melainkan kompromi dan penyesuaian antara tuntutan jasad dan ruh (jasmani dan rohani). Orang bijak bukanlah orang yang meninggalkan kenikmatan dunia sepenuhnya akan tetapi menghubungkannya dengan kenikmatan spiritual dengan etika sebagai kontrolnya. Hal ini cukup relevan jika kita jadikan acuan di era masa kini, agar kita tidak hanya mementingkan kehidupan duniawi saja ataupun sebaiknya, melainkan kita harus mengkombinasikan keduanya dan mengaturnya sedemikian rupa agar segala yang kita kerjakan di dunia ini semata-mata hanyalah untuk kehidupan akhirat kelak yang sifatnya lebih kekal.
DAFTAR PUSTAKA
Alavi, Zianuddin. 2003. Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan. Pentrj. Abuddin Nata. Bandung : Angkasa
Daulay, Haidar Putra. 2012. Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia. Jakarta : Kencana
Fakhry, Majid. 1995. Etika dalam Islam. Terj. Zakiyuddin Baidhawy. Yogyakarta : Pustaka Pelajar
Hasan, Muhammad Thalhah. 2006. Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam. Jakarta : Lantabora Persa
Marzuki. Konsep Akhlak Islam. Yogyakarta : UNY
Miskawaih, Ibn. 1998. Tahdzib Al-Akhlaq, diterj. Helmi Hidayat (Menuju Kesempurnaan Akhlak : Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika). Bandung : Mizan
Muslim Az, Nor. 2003. Himmah Vol. IV No. 9 : Pemikiran Pendidikan Ibnu Misakwaih dan al-Qabisi, Relevansinya dengan Pendidikan Kontemporer. Palangkaraya : STAIN Palangkaraya
Nasution, Hasyimsah. 1999. Filsafat Islam. Bandung : Mizan
Nata, Abuddin. 2000. Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
Sa�diyah, Halimatus. 2011. Tadris Volume 6 Nomor 2 : Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Ibnu Miskawaih. Pamekasan : Universitas Islam Madura (UIM)
Sahlan, Asmaun. 2009. Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah : Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi. Malang : Uin Maliki Press
Shindhunata. 2000. Menggagas Pendidikan Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society Globalisasi. Yogyakarta : Tiara Wacana
Suhar. Konsep Pendidikan Akhlak Ibnu Miskawaih.
Suseno, Franz Magin. 1987. Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral. Yogyakarta : Kanasils
Tholhah, Imam. 2004. Membuka Jendela Pendidikan. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada
[1]Marzuki, Konsep Akhlak Islam, UNY, Yogayakarta, hlm. 169
[2] Franz Magin Suseno, Etika Dasar : Masalah-Masalah Pokok Filsafat Moral, 1987, Kanasils, Yogyakarta, hlm. 15
[3] Asmaun Sahlan, Mewujudkan Budaya Religius di Sekolah : Upaya Mengembangkan PAI dari Teori ke Aksi, 2009, Uin Maliki Press, Malang, hlm. 1
[4] Ibid, hlm. 2
[5] Nor Muslim Az, Himmah Vol. IV No. 9 : Pemikiran Pendidikan Ibnu Misakwaih dan al-Qabisi, Relevansinya dengan Pendidikan Kontemporer, 2003, STAIN Palangkaraya, Palangkaraya, hlm. 21
[6] Halimatus Sa�diyah, Tadris Volume 6 Nomor 2 : Konsep Pendidikan Akhlak Perspektif Ibnu Miskawaih, 2011, Universitas Islam Madura (UIM), Pamekasan, hlm. 268
[7]Haidar Putra Daulay, Pendidikan Islam dalam Sistem Pendidikan Nasional di Indonesia, 2012, Kencana, Jakarta, hlm. 185
[8] Suhar, Op.cit., hlm. 2
[9] Ibn Miskawaih, Tahdzib Al-Akhlaq, diterj. Helmi Hidayat (Menuju Kesempurnaan Akhlak : Buku Daras Pertama tentang Filsafat Etika),1998, Mizan, Bandung, hlm. 29
[10] Muhammad Thalhah Hasan, Dinamika Pemikiran tentang Pendidikan Islam, 2006, Lantabora Persa, Jakarta, hlm. 112
[11]Zianuddin Alavi, Pemikiran Pendidikan Islam pada Abad Klasik dan Pertengahan, Pentrj. Abuddin Nata, 2003, Angkasa, Bandung, hlm. 42
[12]Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 29
[13]Zianuddin Alavi, Op.cit., hlm. 42
[15] Zianuddin Alavi, Op.cit., hl m. 42
[16] Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 29
[17]Suhar, Op.cit., hlm.3
[18] Hasyimsah Nasution, Filsafat Islam, 1999, Mizan, Bandung, hlm. 56
[19] Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 29-30
[20] Hasyimsah Nasution, Op.cit., hlm. 56
[21] Imam Tholhah, Membuka Jendela Pendidikan, 2004, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 240-241
[23] Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 44 dan 68-69
[24] Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam, 2000, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 7-8
[25] Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 56
[26] Majid Fakhry, Etika dalam Islam, Terj. Zakiyuddin Baidhawy, 1995, Pustaka Pelajar, hlm. 22
[27] Ibid,
[28] Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 52 dan 44-45
[29] Halimatus Sa�diyah, Op.cit., hlm. 272
[30] Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 9
[31] Ibid, hlm. 11
[32] Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 61-62
[33] Ibid, hlm. 124-125
[34] Ibid., hlm. 65
[35] Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 23-25
[36]Ibn Miskawaih, Op.cit., hlm. 65-66
[37] Halimatus Sa�diyah, Op.cit., hlm.
[38] Abuddin Nata, Op.cit., hlm. 17
[39] Ibn. Miskawaih, Op.cit., hlm. 116
[40] Ibid, hlm. 116
[41] Ibid, hlm. 117
[42] Halimatus Sa�diyah, Op.cit., hlm. 276
[43] Shindhunata, Menggagas Pendidikan Baru Pendidikan Demokratisasi, Otonomi, Civil Society Globalisasi, 2000, Tiara Wacana, Yogyakarta, hlm. 106-107
[44] Suhar, Op.cit., hlm. 12
[45] Haidar Putra Daulay, Op.cit., hlm. 184
[46] Asmaun Sahlan, Op.cit., hlm. 3
[47] Halimatus Sa�diyah, Op.cit., hlm. 276-277