TUNDANG MAYANG SANGGAR PUSAKA
Kesenian Daerah Media Dakwah
(Kab. Pontianak - Kalimantan Barat)
(Kab. Pontianak - Kalimantan Barat)
A. Sejarah Munculnya Kesenian Tundang
Munculnya kesenian Tundang Mayang Sanggar Pusaka dilatarbelakangi sejarah yang panjang, hingga saat ini populerlah di tengah-tengah masyarakat. Berikut ini diutarakan sejarah kemunculannya dari ide sampai pada saat sekarang menjelma dalam sebuah karya seni.
Tundang awalnya berarti pantun bergendang karena pelantun melantunkan pantun sambil bergendang, namun setelah alat (instrumen) yang digunakan bertambah dan dikolaborasikan juga dengan tarian maka Tundang berubah arti menjadi pantun berdendang. Materi Tundang tidak hanya berbentuk pantun, akan tetapi juga berupa syair, sekalipun kesenian ini tetap bernama Tundang karena akrabnya nama itu di tengah-tengah masyarakat, hingga sampai sekarang kesenian ini dikenal dengan sebutan Tundang.
Tundang diperkenalkan pertama kali pada tahun 1992 di Sanggau oleh Eddy Ibrahim. Kesenian Tundang lahir dilatarbelakangi oleh keinginannya untuk dapat menyampaikan aspirasi dan gagasan melalui sebuah media, melalui media tersebut selain dapat menyampaikan gagasan, diharapkan juga bisa membuat orang yang mendengarnya merasa senang. Untuk mencapai tujuan tersebut, Eddy kelahiran
Eddy Ibrahim Pencetus dan pengelola Tundang Mayang Sanggar Pusaka |
Ide tentang Tundang sebenarnya sudah ada di benaknya sejak di bangku Sekolah Menengah Atas (SMA) tahun 1979 namun belum bisa diwujudkan, hingga pada pagelaran Musabaqah Tilawah Quran (MTQ) tingkat kecamatan di Sanggau tahun 1992, kesenian yang saat itu belum bernama ini atas permintaan panitia coba ditampilkan saat kekosongan acara sambil menunggu kekosongan acara sambil menunggu pengumuman pemenang lomba. Dibantu sebuah gendang pinjaman dari Grup Kasidah yang juga tampil pada acara itu, Eddy mulai berpantun sambil bergendang. Karena kebiasaan Eddy suka berpantun, sebenarnya pantun yang dibawakannya sudah dibuat sebelumnya walaupun ia tidak mengira sebelumnya akan tampil pada acara itu. Eddy juga dengan spontan berpantun dengan mengambil tema kejadian-kejadian lucu yang terjadi di lokasi kegiatan, sehingga membuat penonton tertawa. Berikut ini cuplikan pantun yang dibawakannya.
Buah mempelam buah kuini
Dipetik orang berjalan kaki
Betapa gembira hati kita malam ini
Bersama menyaksikan acara MTQ
Penampilan Tundang dalam salah satu acara live |
Orang Berenang ke pulau sebelah
Di tengah laut ada buaya
Jika pemenang dapat hadiah
Janganlah lupa kepada saya
Pergi ke Kuala berjalan kaki
Dari Kuala kita ke Mempawah
Saya heran kalau ada acara MTQ
Ngapai bah yang nonton saja orang yang tua-tua
Elok indah Sanggau Permai
Banyak orang pakai sepeda
Kulah ronung penonton mulai nak ramai
Lurah Beringin pun ikut main kasidah
Sungguh enak sekali rasanya lempar
Dimakan orang berlalap lobak
Saya lihat para dewan juri sangatlah lapar
Memborong bakso satu gerobak
Goreng pisang pakai mentega
Pisang raja di dalam peti
Yang menang janganlah bangga
Yang kalah jangan patah hati
Kue lapes pakai durian
Panton abes cukup sekian
Penampilannya tidak berhenti pada malam itu, Eddy kembali diminta tampil pada acara ulang tahun Gapensi, mengikuti Festival Budaya Muslim di Masjid Raya Mujahidin Pontianak yang diutus oleh Departemen Agama Kabupaten Sanggau, tampil juga pada acara MTQ tingkat provinsi di Mempawah. Sejak saat itu, Eddy selalu ditunjuk untuk menjadi duta kesenian oleh Pemerintah Kabpaten Sanggau. Setelah sekian lama tampil, Eddy pun kesulitan untuk memberikan nama kesenian ini, hingga pada suatu hari Eddy bersama rekannya Dani dan Long Fa’i (sapaan akrab Bapak Rifa’i) duduk dan diskusi di sebuah warung kopi di Sanggau untuk membicarakan masalah pantun yang dibawakannya, yang menurut Long Fa’i kesenian ini sangat bagus dan perlu dikembangkan. Setelah perbincangan itu berjalan cukup lama, akhirnya muncul sebuah nama yaitu Tundang yang berarti berpantun sambil bergendang, sehingga populerlah kesenian ini dengan nama Tundang.
Mulailah nama Tundang dibawa dalam setiap kali pertunjukan. Eddy tampil tidak lagi sendiri, ia ditemani oleh kerabatnya Dani dan Busni dengan memanfaatkan peralatan gendang dan gitar akustik, dengan demikian penampilan Tundang kali ini kelihatan semakin meriah. Eddy pun pindah tinggal ke Sungai Burung dan di sana ia kembangkan kesenian ini bersama remaja masjid Fastabiqul Khairat.
Tampillah Tundang pada acara khataman, pernikahan, dan mengikuti pentas budaya. Selang beberapa lama, rekan-rekan remaja masjid disibukkan dengan pekerjaan untuk mencari nafkah dan ada pula yang menikah, sehingga Tundang sempat fakum. Perjuangan Eddy tidak sampai di situ, Tundang kembali melakukan pertunjukan pada acara Seleksi Tilawah Quran (STQ) tingkat kecamatan dan kabupaten di Desa Purun Kecil dengan mengajak beberapa orang dari desa setempat.
Penampilan di STQ tersebut Tundang tidak lagi menggunakan pantun, akan tetapi menggunakan syair. Digunakan syair karena akan lebih banyak pesan yang disampaikan daripada pantun yang membutuhkan waktu lama untuk menyampaikan pesan karena masih harus menggunakan sampiran untuk sandaran bunyi pesan yang disampaikan. Sampailah saat ini, Tundang lebih banyak menggunakan syair sehingga jarang menggunakan pantun dengan pertimbangan tersebut. Sekalipun ada, pantun hanya sebagai ungkapan pembuka dalam lantunan tanpa diiringi musik instrumen. Keberadaan syair dalam Tundang tidak lantas menjadikan kesenian ini berubah nama karena akrabnya sebutan Tundang di masyarakat.
B. Pesan-Pesan Dakwah dalam Tundang
Pesan dalam kesenian Tundang disampaikan melalui syair dan pantun yang bersifat fleksibel, artinya disesuaikan dengan tema atau situasi dan kondisi. Sekalipun demikian, sebagai seorang Muslim, dalam lantunan syair atau pantun selalu menyertakan pesan dakwah di dalamnya. Pesan dakwah adalah materi yang disampaikan oleh dai kepada mad’u. materi tersebut adalah ajaran Islam yang bersumber dari Quran dan Hadis yang meliputi aspek akidah, akhlak, dan syariat. Pesan akidah adalah materi dakwah yang berbicara tentang keimanan, tauhid, dan ketuhanan, seperti yang bisa kita lihat dalam petikan syair berikut ini.
Sebagai manusia kita harus banyak bersyukur
Janganlah sampai ingin kaya serta makmur
Lalu minta tolong dapat rejeki dengan pohon serta kubur
Muhammad adalah rasul pilihan
Nabi terakhir yang diutus Tuhan
Apa yang dia lakukan jadikanlah teladan
Agar kita selamat di hari kemudian
Sementara itu, pesan dakwah yangbersifat akhlak dapat berupa tuntunan sikap dan perilaku. Hal ini bisa dilihat dalam syair berikut ini.
Hingga di sini perjumpaan kita
Ampon dan maaf jika ada salah kata
Sampai jumpa di acara sepak bola piala dunia
Khatamul Quran pada malam ini
Sebagai ugkapan syukur pada Ilahi
Seta menghormati Al-Qur’an kitab suci
Dan sebagai bukti telah khatam mengaji
Bait syair pertama memberikan isyarat kepada kita bahwa jika ada salah segera meminta maaf, agar kesalahan tersebut bisa terhapuskan. Sementara bait yang kedua, kita diminta untuk menghormati Al-Qur’an sebagai kitab suci, sebagai salah satu sikap yang mesti dilakukan, khususnya oleh umat Muslim.
Sedangkan pesan syariat dapat berupa ajakan untuk melakukan perintah Allah Swt dan Rasul-Nya dengan berbakti dan beribadah kepada-Nya, seperti yang tertuang dalam bait syair berikut ini.
Al-Qur’an adalah perkataan Tuhan
Yang selalu kita sebut juga sebagai firman
Kandungan dan isinya mari kita amalkan
Janganlah Al-Qur’an hanya dijadikan pajangan
Muhammad adalah rasul pilihan
Nabi terakhir yang diutus Tuhan
Apa yang dia lakukan jadikanlah teladan
Agar kita selamat di hari kemudian
C. Teknik Penyampaian Pesan Dakwah Melalui Kesenian Tundang
Sampai atau tidaknya pesan yang disampaikan bergantung pada cara penyampaian yang digunakan. Cara yang digunakan harus sesuai dengan kondisi mad’u, sehingga proses penyampaian pesan dapat berjalan dengan baik. Penyampaian pesan melalui kesenian Tundang dilakukan dengan metode billisan (oral) dan disampaikan secara langsung dengan bertatap wajah antara personil Tundang dan penontonnya. Kelebihan metode billisan adalah mampu menyampaikan pesan secara langsung, cepat, dan mudah dimengerti, karena cirinya adalah menggunakan bahasa berupa rangkaian kata, dan bahasa merupakan alat komunikasi efektif karena antara dai dan mad’u dapat saling memahami pesan dengan cepat.
Perkembangan teknologi yang semakin pesat saat ini membuat sarana komunikasi menjadi semakin canggih, saat ini komunikasi dapat dilakukan melalui telepon, faxcimile, radio, televisi, film, satelit, dan lain sebagainya. Namun tetap saja sarana yang paling ampuh untuk human communication ialah komunikasi tatap muka (face to face communication). Jika komunikasi dilakukan dengan tatap muka kepada mad’u, dai dapat melihat dan merasakan apakah “gayung bersambut kata berjawab”. Misalnya jika dai melihat mad’u terangguk-angguk dan matanya terpejam, berarti dia tidak sedang mendengarkan dakwah yang disampaikan oleh dai.
Demikian juga jika melihat mad’u yang matanya menatap tetapi pandangannya hampa, dai tau bahwa mad’u tidak mendengarkan dan pikirannya menerawang. Ada pula yang menggunakan kepala saat memberikan penekanan kepada hal-hal yang kita ulas dan matanya yang bersinar-sinar pertanda mad’u mendengarkan dengan sungguh-sungguh. Semuanya itu merupakan karakteristik komunikasi tatap muka yang tidak dijumpai dalam bentuk komunikasi yang lain, seperti komunikasi melalui media audio-visual atau komunikasi media cetak.
Pertama, menggunakan syair dan pantun, keduanya merupakan tradisi lisan yang dikenal dalam bidang sastra. Digunakan sastra dalam berdakwah karena memiliki keindahan khas yang bisa menarik minat mad’u, karena seseorang secara umum memiliki naluri atau sisi keindahan. Kanyataan ini terbukti pada masa Rasulullah Saw, sastra dijadikan kesenangan, kecintaan, dan pekerjaan dalam kehidupan bangsa Arab. Oleh karena kecintaan dan kesenangan bangsa Arab terhadap keindahan sastra yang luar biasa inilah kemudian Allah Swt menurunkan kitab Quran sebagai salah satu mukjizat untuk menunjukkan kebenaran dan kebesaran Ilahi dalam bahasa yang maha indah dan maha suci sebagai “tandingan” budaya lisan yang dimiliki dan dibanggakan bangsa Arab kala itu.
Zainuddin al-Maebari, seorang ulama tasawuf dan ahli sejarah terkenal pada abad ke-15 Masehi menuturkan bahwa keberhasilan dakwah Islam di India dan Asia Tenggara, khususnya Malabar, banyak dibantu melalui syair yang dinyanyikan.
Dalam tradisi sastra Melayu, pengembangan ajaran Islam dalam bentuk puisi dan syair dapat dilihat melalui karya-karya Hamzah Fansuri yang hidup antara pertengahan abad ke-16 sampai awal abad ke-17. bahkan di Aceh, hikayat perang sabil menjadi sebuah karya sastra monumental dalam membangkitkan semangat jihad rakyat Aceh melawan Belanda. Hikayat perang sabil mampu “menyihir” rakyat Aceh untuk menegakkan ajaran Islam dengan jihad fi sabilillah melawan kezaliman Belanda (Dedy Ari Asfar dalam Yusriadi dan Patmawati, 2006:189).
Kedua, menggunakan beberapa bentuk gaya bahasa, yaitu gaya bahasa berdasarkan pilihan kata, nada, dan gaya bahasa berdasarkan langsung tidaknya makna. Berdasarkan pilihan kata menggunakan gaya bahasa percakapan, dengan tujuan agar lebih menciptakan suasana akrab dan lebih santai. Untuk merealisasikan tujuan tersebut maka yang harus diperhatikan adalah memilih kata-kata yang tepat, jangan sampai kata-kata yang digunakan membuat mad’u merasa tidak nyaman dengan lantunan syair Tundang. Oleh karena itu, perlu penyeleksian terhadap kata-kata yang digunakan, sudah sesuai atau belum dengan penontonnya.
Pertimbangan seperti ini dilakukan agar mad’u dapat memahami isinya denganbaik, tanpa dipaksa, bahkan hingga menciptakan suasana tawa dan riang.
Pertimbangan etis tidaknya kata yang digunakan harus merujuk pada paradigma dan landasan yang benar. Dalam Quran dapat ditemui tuntunan yang baik, misalnya istilah qaulan ma’rufa (perkataan yang baik dan pantas), qaulan kariman (perkataan yang mulia), dan qaulan maisura (perkataan yang mudah dimengerti).
Pertimbangan etis tidaknya kata yang digunakan harus merujuk pada paradigma dan landasan yang benar. Dalam Quran dapat ditemui tuntunan yang baik, misalnya istilah qaulan ma’rufa (perkataan yang baik dan pantas), qaulan kariman (perkataan yang mulia), dan qaulan maisura (perkataan yang mudah dimengerti).
Ketiga, salah satu ciri khas kesenian Tundang Mayang Sanggar Pusaka adalah humor, setiap syair yang dilantunkannya tidak terlepas dari kata atau kalimat yang bisa membuat penonton tertawa. Teknik humor yang biasa digunakan Tundang adalah teknik superioritas dan degradasi, yang menurut Jalaluddin Rakhmat (2001:126—127) adalah salah satu teknik yang bisa membuat kita tertawa bila menyaksikan sesuatu yang janggal, keliru atau cacat. Objek yang membuat kita tertawa adalah objek yang ganjil, aneh, dan menyimpang. Kita tertawa karena merasa tidak mempunyai sifat-sifat objek yang “menggelikan”. Sebagai subjek, kita mempunyai kelebihan (superioritas), sedangkan objek tertawaan kita mempunyai sifat-sifat yang rendah. Ketika tertawa selalu menemukan maksud tersembunyi dari humor yang disampaikan.
Penekanan bisa menjadi alat ampuh untuk menarik perhatian penonton dalam menyimak apa yang disampaikan pelantun. Jika penonton telah menyimak lantunan karena penekanan tadi, maka dapat dipastikan pesan yang disampaikan mudah diterima dan akan lebih lama lekat dalam pikiran seseorang, sebab sesuatu yang diikuti dengan antusias akan lebih diingat. Perulangan juga bisa menjadi perhiasan atau keindahan syair, dengan adanya kesamaan bunyi, kata, dan kalimat menjadikan syair lebih indah untuk dinikmati dan lebih mudah untuk dimengerti.
Keempat, berdasarkan langsung tidaknya makna, gaya bahasa yang digunakan adalah gaya bahasa retoris dan kiasan. Gaya bahasa retoris semata-mata merupakan penyimpangan dari konstruksi biasa untuk mencapai efek tertentu, sementara gaya bahasa kiasan merupakan penyimpangan yang lebih jauh, khususnya dalam bidang makna. Dalam kesenian Tundang, gaya bahasa retoris yang digunakan terdiri atas aliterasi, asonansi, rima, konkatensi, enumerasi, dan paralelisme. Sementara itu, gaya bahasa kiasan yang digunakan adalah gaya perumpamaan atau perbandingan (smile).
Perumpamaan biasanya menyamakan satu hal dengan hal lain. Yang menarik dari gaya ini adalah gaya perumpamaan, karena dengan gaya ini pesan dapat dikemas dengan suasana yang lain dan lebih implisit, dan melalui gaya ini pula lantunan akan terasa lebih indah.
Daftar Pustaka
· Abdurrahman al-Baghdadi. 1991. Seni dalam Pandangan Islam: Seni Vokal, Musik & Tari. Jakarta : Gema Insani Press.
· Dedy Ari Asfar. 2006. “Sastra, Dakwah, dan Islamisasi di Kalimantan Barat” dalam Yusriadi dan Patmawati (ed.). Dakwah Islam di Kalimantan Barat. Pontianak : STAIN Pontianak Press.
· Jamaluddin Kafie. 1993. Psikologi Dakwah. Surabaya : Indah.
Muhammad Husain Fadullah. 1997. Metode Dakwah dalam al-Qur’an (Terj. Tarmana Ahmad Qasim).Jakarta : Lentera.
Muhammad Husain Fadullah. 1997. Metode Dakwah dalam al-Qur’an (Terj. Tarmana Ahmad Qasim).
· http://nuansahabibi.blogspot.com/2010/11/berdakwah-melalui-seni-penyampaian.html
Muhammad Furqan Abdullah (20100720067)
Mata Kuliah : Apresiasi Seni dan Budaya IslamDosen Pengampu : Drs. Nur Iswantara, M.Hum
Pengumpulan Tugas: Kamis, 08 Juni 2011
NB: Bagi teman-teman yang ingin tugasnya diposting di blog ini, bisa kirim filenya ke email biep458@gmail.com dengan menyertakan Nama Lengkap dan Nomor Mahasiswa atau ketemu langsung dengan saudara Muhammad Furqan Ab(20100720067) di kampus tercinta, CP: 085235554237.Jazakumullah...
(Indahnya Berbagi.......)