KONSEP MANUSIA DALAM SEBUTAN BASYAR

Pada posting sebelumnya kita telah menggali tentang Benarkah Adam Diciptakan dari Tanah ? kemudian membahas tentang Kenapa manusia disebut Bani Adam pada posting kali ini, kita akan mencoba membahas tentang bagaimana Konsep Manusia dalam sebutan Basyar.
Basyar adalah nama lain dari manusia. Basyar secara bahasa artinya kulit. Timbul pertanyaan kenapa Allah memberi nama manusia dengan Basyar ? Jika kita pikirkan lebih dalam, perbedaan manusia dengan makhluk lain adalah pada kulitnya, jika makhluk selain manusia hampir seluruh tubuhnya tertutupi oleh bulu, maka kulitnya tidak terlihat, sedang manusia, tubuhnya tidak tertutupi oleh bulu, sehingga kulitnya terlihat, karena manusia itu makhluk yang terlihat kulitnya maka Allah menamai manusia dengan basyar. Tetapi bukan masalah itu yang jadi perhatian kita, yang menjadi perhatian kita adalah bagaimana konsep manusia menurut al-Quran dalam sebutan Basyar.
Dalam al-Quran kata basyar diantaranya terdapat pada surat al Kahfi ayat 110 :
???? ???????? ????? ?????? ?????????? ?????? ??????? ???????? ?????????? ?????? ??????? ?????? ????? ??????? ??????? ??????? ???????????? ??????? ???????? ????? ???????? ??????????? ??????? ??????? (110)
110. Katakanlah: Sesungguhnya Aku Ini manusia biasa seperti kamu, yang diwahyukan kepadaku: "Bahwa Sesungguhnya Tuhan kamu itu adalah Tuhan yang Esa". barangsiapa mengharap perjumpaan dengan Tuhannya, Maka hendaklah ia mengerjakan amal yang saleh dan janganlah ia mempersekutukan seorangpun dalam beribadat kepada Tuhannya".
Ayat di atas diturunkan oleh Allah sebagai bantahan terhadap golongan yang bertanya kepada Nabi Muhammad tentang Ashabul Kahfi, Dzul Qornain dan Ruh. Kemudian Nabi menjawab dua pertanyaan pertama, dan menyerahkan masalah ruh kepada Allah. Karena itulah ayat ini diawali dengan kata perintah Qul! yang artinya katakanlah !. Katakanlah kepada orang-orang musyrik yang mendustakan kerasulanmu bahwa sesungguhnya aku ini adalah manusia biasa seperti kamu, barang siapa menyangka bahwa aku ini berbohong, ceritakanlah kepadaku tentang apa yang telah aku ceritakan kepadamu. Sesungguhnya aku tidak akan mengetahui hal-hal gaib (Ashabul Kahfi dan Dzul Qornain) sebagaimana yang aku ceritakan kepadamu sebelumnya, seandainya saja Allah tidak memperlihatkan hal tersebut kepadaku. Karena itulah aku kabarkan kepadamu bahwa �Sesungguhnya Tuhanmu adalah tuhan yang satu, tidak ada sekutu baginya. Barang siapa yang menginginkan untuk bertemu dengan Allah, atau pahala dari Allah (surga), maka hendaklah ia beramal shaleh yang sesuai dengan syariat Islam dan jangan menyekutukan Allah dalam beribadah kepadanya�.
Memperhatikan referensi ayat di atas, kita akan mengetahui bahwa Nabi Muhammad secara fisik sama dengan orang-orang kafir, tetapi dalam masalah keimanan keduanya berbeda, karena itulah Allah menggunakan istilah basyar untuk mempersamakan Nabi Muhammad dengan orang-orang kafir, karena istilah basyar itu lebih cenderung kepada pengertian fisik sebagaimana basyar itu sendiri yang artinya kulit dan kulit itu merupakan bagian dari tubuh manusia yang bersifat fisik karena dapat diketui oleh panca indera. Seandainya saja Allah menggunakan istilah lain selain basyar tentu tidak sesuai lagi dengan konteks dan itu tidak akan terjadi karena al-Quran merupakan kitab suci dengan tingkat balaghah yang tinggi.
Sifat manusia dalam sebutan basyar hanya meliputi hal-hal fisik saja, tidak mencakup pada hal-hal non fisik seperti keimanan kepada Allah. Sifat-sifat tersebut seperti suka makan, suka minum, menikah, bergaul dengan isteri, sakit, memiliki anak, dan sifat-sifat lain yang ada pada diri manusia pada umumnya. Hanya saja Allah memberikan wahyu kepada Nabi Muhammad sehingga beliau terlihat unggul dibanding manusia pada umumnya sehingga orang-orang kafir pada saat itu menganggap Nabi Muhammad lebih dari sekedar manusia biasa, bahkan ada yang menyebutnya sebagai ahli sihir dan ayat ini merupakan bantahan bagi mereka.
Selain menjelaskan tentang konsep manusia dalam sebutan basyar ayat di atas juga menjelaskan tentang syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang memiliki keinginan untuk bertemu dengan Allah. Pertemuan dengan Allah merupakan hal yang mungkin, tetapi kemungkinan terjadinya di dunia bagi yang bukan nabi dan rasul adalah sangat kecil. Pertemuan dengan Allah hanya di alami oleh seorang manusia sempurna yaitu Nabi Muhammad saw pada saat isra mi�raj. Adapun pertemuan dengan Allah di surga adalah hal yang bisa terjadi, sebagaimana dijelaskan dalam al-Quran surat al-Qiyamah [75] ayat 22-23 :
??????? ?????????? ????????? (22) ????? ???????? ????????? (23)
(22) Wajah-wajah (orang-orang mukmin) pada hari itu berseri-seri. (23) Kepada Tuhannyalah mereka Melihat. (QS. al-Qiyamah [75] ayat 22-23).
Ibnu Katsir menjelaskan bahwa yarju liqa�a rabbih bukan hanya harapan melihat Allah tetapi termasuk di dalamnya adalah harapan untuk mendapatkan pahala dan balasan yang baik dari Allah yakni surga. Hal ini bisa dimengerti karena bagaimana mungkin seseorang bisa melihat Allah sementara ia tidak mendapatkan pahala dan balasan yang baik dari Allah dalam kata lain dia masuk neraka, tentu dia telah menyalahi surat al-Qiyamah ayat 22-23 di atas, karenanya dia tidak akan bisa melihat Allah. Alasan lain adalah bahwa melihat Allah merupakan pahala yang paling besar di antara pahala yang besar (surga) sebagaimana hal tersebut dijelaskan dalam hadits, jadi secara logika tidak mungkin orang yang tidak masuk surga bisa melihat Allah karena melihat Allah merupakan pahala bagi orang-orang yang masuk surga, jadi bagaimana mungkin Allah memberikan pahala/balasan yang baik kepada orang yang masuk neraka.
Adapun syarat tersebut adalah :
1. Hendaklah ia melakukan amal shaleh sesuai dengan syariat Allah swt. Di sini ada dua domain yang harus diperhatikan, yakni melakukan amal shaleh dan sesuai dengan syariat. Oleh karena itu sebelum kita melakukan amal shaleh hendaknya kita mengkaji dulu ilmu-ilmu yang menjelaskan tentang amal shaleh tersebut, jika tidak maka setiap amal yang tidak berdasar kepada ilmu itu adalah ditolak tidak diterima. Hal ini cukup jelas karena amal yang tidak didasarkan kepada ilmunya tentu saja amal tersebut besar kemungkinan jauh melenceng dari tatacara yang disyariatkan, andaipun amal itu sama dengan yang disyariatkan maka orang tersebut melakukannya bukan sebagai kesengajaan tetapi sebuah kebetulan saja, sedang hadits Umar bin Khatab mengatakan bahwa �sesungguhnya jadinya amal itu adalah berdasarkan niat�, itu artinya amal itu harus dilakukan dengan niat dan niat itu sendiri menunjukkan bahwa dia melakukannya atas dasar kesengajaan bukan kebetulan, dengan demikian amal yang dilakukan secara kebetulan dan tidak memiliki unsur kesengajaan maka itu tidak diterima.
2. Hendaklah ia melakukan amal (ibadahnya) hanya karena Allah swt, dan tidak menyekutukannya dengan apapun. Ini memberi isyarat bahwa amal yang kita lakukan hendaknya dilakukan dengan ikhlas, hanya mengharap ridla Allah swt, bukan ridla yang lain termasuk ingin dipuji oleh orang lain (riya, syirik khofi).
Ayat ini memiliki korelasi yang kuat dengan surat al-Bayyinah [98] ayat 5 :
????? ???????? ?????? ???????????? ??????? ??????????? ???? ???????? ????????? ??????????? ?????????? ?????????? ?????????? ???????? ????? ???????????? (5)
Padahal mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan memurnikan ketaatan kepada-Nya dalam (menjalankan) agama yang lurus, dan supaya mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian Itulah agama yang lurus (QS. al-Bayyinah [98] ayat 5).
Memurnikan ketaatan adalah ikhlas dan menjalankan agama yang lurus adalah beribadah sesuai dengan syariat Allah. Jika kedua syarat ini dilakukan maka manusia akan mendapat pahala yang besar dari Allah, diantara pahala tersebut adalah bisa melihat Allah di surga. Wallahu a�lam.
Untuk menyelesaikan serial ayat tentang manusia maka pada posting selanjutnya akan membahas tentang Konsep Manusia dalam sebutan an-Naas dan sebutan Insan.