FAKTOR PENYEBAB KEGAGALAN TQM
By: Sri Hendrawati, M.Pd
Menurut Nanang Fattah dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Sekolah, diungkapkan bahwa ada dua faktor yang dapat menyebabkan kegagalan penerapan TQM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern organisasi yang akan diuraikan di bawah ini.
1. Faktor Intern Organisasi
a. Top manajemen tidak melaksanakan komitmennya.
Hampir semua pakar TQM sependapat bahwa salah satu fungsi pokok keberhasilan tau kegagalan implementasi TQM adalah management commitmen. Apabila manajemen mempunyai dan memegang teguh komitmennya . Kemungkinan besar mereka akan berhasil. Sebaliknya , apabila mereka kurang komitmen bisa dipastikan bahwa organisasi akan mengalami kegagalan mencapai TQM. Komitmen ini setidaknya, menurut Dobbind(1995) meliputi tiga hal, yaitu waktu, antusiatitas( enthusiasm) dan tersedianya sumber-sumber(resource) dalam organisasi. Komitmen terhadap waktu ini merupakan kesadaran manajemen bahwa implementasi TQM, tergantung pada kondisi perusahaan, memerlukan pengorbanan waktu . dalam hal ini manajemen harus menyediakan waktu yang cukup berkonsentrasi pada TQM . Antusiatitas mengacu kepada konsisten manajemendalam mempertahankan keinginannya memperbaiki kualitas. Sedangkan sumber-sumber mengacu kepada tersedianya sumber yang berkualitas sesuai dengan target tingkatkualitas tertentu yang diharapkan. Selain itu, komitmen manajemen, menurut Corrigan (1995) , dapat pula berupa support yang serius dan leadership yang menumbuhkan motivasi. Komitmen ini bukan hanya diucapkan oleh para manajer, yang berupa slogan-slogan semata, tapi dapat dilihat dari kacamata dan dirasakan oleh para karyawan -managements crebility is in the workers eyes (Anand. 1995) Seluruh staf dan karyawan akan merasakan adanya komitmen manajemen. Dengan kata lain, slogan-slogan atau motto dan omongan saja tidaklah cukup tanpa diikuti oleh tindakan nyata manajemenyang mengarah pada quality. Namun harus diingat, bahwa untuk membuktikan keseriusan manajemen tidaklah mudah. Ini bisa dilacak melalui action research, long � period observation atau keyakinan para subordinate.
b. Komitmen manajemen ini harus diikuti dengan employee imvolvement.
Kurangnya mengikutsertakan seluruh lapisan manajemen dan karyawan , baik secara individu maupun sebagai suatu kelompok, departemen atau bagian, menimbulkan rasa kurang bertanggung jawab. Dengan kata lain kurangnya memeran sertakan karyawan dalam masalah kualitas akan menyebabkan orang merasa bahwa masalah kualitas hanya tanggungjawab bagian quality control, bukan tanggung jawab semua orang. Padahal setiap individu dalam suatu organisasi adalah ikut menentukan tingkat keberhasilan kualitas yang dicapai.
c. Drensek dan Grubb (1995) menambahkan bahwa struktur organisasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan TQM juga menjadi penghambat.
TQM menghendaki struktur yang dengan jelas menetapkan tanggungjawab dan prioritas bagi setiap anggota team. Prioritas mengacu pada pengertian bahwa tidak ada bagian atau seseorang yang tugasnya lebih pentingdari pada yang lain.semua tugas mempunyai tingkat �penting� yang sama sesuai dengan sifat tugas itu. Sehingga yang membedakan adalah prioritas urutan tugas. Bila struktur itu tidak terjadi, perusahaan akan mengalami kendala pencapaian TQM.
d. Lack of understanding tentang apa yang dimaksud dengan filosofi TQM.
Kekurangan-kekurangan ini menjelma dalam beberapa tindakan. Hoover (1995) mengungkapkan bahwa seringkali manajemen mengharapkan terlalu banyak dan terlalu cepat akan hasilnya. Karena kelihatannya mudah untukimplementasi TQM, sehingga mencapai word-class quality. Manajemen beranggapan bahwa filosofi ini dapat diterapkan pada segala keadaan (circumstances) dan budaya. Kekurang pahaman ini, menurut Corrigan (1995) , tercermin pada besarnya antusias manajemen pada awal dimulainya TQM, namun antusias itu segera hilang karena ketidaksabaran. Akibatnya yang negative adalah tidak maunya berpartisipasi pada usaha-usaha TQM atau ketidak mauan merubah kebiasaan (behavior). Semua ini disebabkan karena kurang training.
e. Meskipun bukan dalam rangka TQM , training yang berkesinambungan bagi segenap anggota organisasi adalah penting,
Tujuan training yang berkesinambungan yaitu mencapai apa yang dimaksud dengan learning organization dimana pengetahuan menyebar pada segenap lapisan manajemen . Karena sukses itu, Anderson et al (1995) mengklaim, memerlukan pengembangan organisasi yang selalu membangun dan secara ajeg (continually) memperbaharui kemampuan bersaing dalam segala fungsinya. Salah satu cara yaitu melalui penyelenggaraan training yang berkelanjutan. Lebih-lebih dalam usaha meningkatkan kualitas, training secara menyeluruh merupaka salah satu persyaratanyang tidak bia ditinggalkan . kembali pada usaha enerapan TQM, kurangnya training yang memadai juga merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan.
f. Selain tidak konsisten dalam mencapai tujuan, leadership (kepemimpinan) yang kurang memadai, Corrigan ( 1995) menambahkan, juga merupakan salah satu hambatan yang harus direduksi.
Kelemahan yang lazim yaitu menyamakan masalah kepemimpinan dengan mekanisme kerja mesin. Padahal kepemimpinan adalah produk aktivitas social. Ia bukan dan berbeda dari ilmu eksata dimana melalui suatu proses tertentu akan menghasilkan output yang sama ( hoover, 1995) kepemimpinan itu bersifat spesifik, sehingga tidak dapat digeneralisasi. Kepemimpinan ini memerlukan responsibility and ownership (Corrigan). Menurut Corrigan. Komitmen manajemen mengarah pada bagaimana memerankan personel dan responsibilitynya. Sedangkan ownership mengacu pada bagaimana eksekutif memahami dan menerima bahwa perubahan kultur organisasi harus dimulai dari perubahan kebisaan (behavior) pada level manajemen.
g. Berikutnya yaitu masalah sumber daya manusia (SDM) kelemahan yang ada lazimnya berupa tidak memadainya SDM yang tersedia untuk mencapai tingkat kaulitas tertentu.
Hal ini mungkin saja ditimbulkan karena proses requitment kurang baik atau manajemen hanya mementingkan biaya pegawai yang murah . asumsinya, yaitu bila kualitas SDM rendah bisa dibayar dengan gaji yang relatif rendah pula. Tetapi kendalanya, yaitu akan mempengaruhi kualitas organisasi secara keseluruhan. Selain itu adanya kemungkinan manajemen menekankan kualitas secara teknik (technical quality) atau mengkonsentasikan pada kualitas produk tetapi melupakan kualitas SDM.
h. Hal lain yang ada kaitannya dengan masalah manusia yaitu keengganan manusia untuk menerima perubahan ( employee resistance) terhadap kemapanan meskipun perubahan itu menawarkan sesuatu yang lebih baik.
Kecenderungannya, karyawan yang sudah bekerja lama pada suatu organisasi (senior) itu tidak mau berubah. Padahal penerapan filosofi TQM itu menghendaki adanya perubahan furdamental dalam struktur berfikir dan bertidak secara dinamis yang mungkin bertentangan dengan pola kemapanan. Factor keengganan ini harus disadarai betul adanya , kemudian dicari dan diindentifikasi penyebabnya, kemudian diusahakan pemecahannya. Employee Resistence ini diklaim sebagai faktor yang paling sulit untuk diubah. Untuk itu dilakukan perubahan melalui pendekatan sosio-kultural. Kegagalan mengatasi hal ini berdampak pada kegagalan penerapan TQM secara tidak langsung.
i. Lengahnya manajemen terhadap dampak sosial akibat perubahan lingkungan kerja.
Meskipun telah disebutkan bahwa TQM membawa perubahan ke arah yang lebih baik , namun manajemen harus tetap mempertimbangkan dampak perubahan sosial yang akan terjadi . Hal ini berkaitan dengan aspek emosi (rasa) manusia. Manajemen tidak boleh melupakan hal ini, karena manusia itu sejak lahir sudah dilengkapi dengan emosi rasa. Oleh karena itu manajemen sudah mempertimbangkan kemungkinan ini sejak awal dimulainya program TQM.
j. Penyebab kegagalan intern lainnya yaitu faktor cost, manajemen mengabaikan perhitungan aspek pembiayaan , sehingga pembiayaan TQM melebihi hasil yang biasa diraih.
Salah satu implementasi TQM adalah untuk memperbaiki pula posisi keuangan(financial performance) Apabila setelah menerapakan TQm perusahaan malah mengalami kondisi keuangan yang semangkin memburuk, bererti terdapat sesuatu yang tidak benar . jadi seharusnya dengan implementasi TQM , perusahaan akan memperbaiki kondisi keuangannya. Jadi pertimbangan biaya adalah mutlak dilakukan sebelum program TQM dimulai. Namun yang harus diingat dalam membandingkan antara biaya dan manfaat yaitu periode (jangka) waktu. Karena biaya pengeluaran program TQM jelas tidak akan kembali dalam waktu satu tahun. Ia akan kembali setelah perusahaan mencapai tingkat kualitas yang diharapkan.
k. Menekankan segala bentuk kenaikan biaya.
Penyebab kegagalan yang relevan dengan pengorbanan yaitu perbaikan kualitas tidak diikuti oleh penyesuaian-penyesuaian (alignment) antara hak dan kewajiban yang seimbang (award system) Peningkatan kaulitas harus disertai oleh adanya peningkatan (reward). Adalah sesuatu yang tidak mungkin bila kita menungtut sesuatu yang lebih, member imbalan yang memadai , antara lain berbentuk kenaikan upah/gajiyang sesuai diperlukan agar usaha pencapaian TQM mendapat support yang kontinyu.
l. Selain pengorbanan material (uang) , manajemen juga dituntut pengorbanan lainnya, yaitu waktu.
Manajemen harus meluangkan waktu yang cukup dan berkonsentrasi penuh terhadap program TQM. Di samping waktu yang disediakan oleh manajemen harus pula dasar akan waktu untuk mencapai target kualitas yang diinginkn. Pencapaian target ini selalu melalui proses yang seringkali makan waktu yang cukup panjang. Kegagalannya yaitu karena manajemen menghendaki perubahan yang cepat dan melupakan masalah proses.
m. Faktor intern yang terakhir problem solving techniques.
Karyawan tidak diberi kesempatan memecahkan masalah mereka sendiri. Seakan-akan pemecahan ,masalah adalah tanggung jawab supervisor. Ada hal seperti yang telah ditegaskan oleh Drensek dan Grubb (1995) , karyawan sebetulnya yang paling mengetahui penyebab suatu problem, sehingga mereka harus tahu dan mampu memecahkan problemnya pula. Sedangkan supervisor biasanya hanya berusaha menghilangkan atau mematikan api dari pada menyelesaikan masalah, oleh karenanya , sebaiknya supervisor bersama-sama dengan fasilitator atau consultan, bertindak selaku penengah dan nara sumber dalam masalah problem solving yang dilakukan oleh karyawan ( lihat juga Hoover , 1995)
2. Faktor Ekstern Organisasi
Dilihat dari sudut pengaruh extern organisasi, bahwa kegagalan implementasi TQM terutama disebabkan karena dua hal pokok, yaitu peran supplier dan consumer. Peran supplier dalam hal ini mengacu pada external supplier bukan internal supplier.
a. Ketidakmampuan mengontrol kualitas produk supplier
Di Indonesia cukup sulit untuk menentukan dan mengontrol kualitas produk bahan baku yang di suplai supplier. Kesulitan itu antara lain karena sifatnya, misalnya produk alami, dan dikuasai oleh supplier (monopoli). Tetapi yang menjadi problem yaitu belum terbiasanya perusahaan membuat kerjasama dalam bidang kualitas antara penjual dan pembeli (Bemowski 1995, Roosevelt,1995). Tujuannya membentuk produk yang memenuhi standar pembeli. Sebagian penjual masih berprinsip menjual sebanyak mungkin. Padahal , peran supplier itu penting dalam pengertian bila kualitas bahan baku itu telah sesuai dengan standar perusahaan berarti proses produksi telah dimulai dengan standar yang diharapkan, berarti manajemen dapat mengkonsentrasikan tindakan kualitas pada elemen manajemen yang lain. untuk mencapai TQM diperlukan supplier yang mau membuat hubungan kerjasama timbal- balik yang sesuai dengan rencana pengembangan perusahaan
b. Kurang memfokuskan pada konsumen
Manajemen kurang menaruh perhatian akan kepentingan konsumen. Kelemahan yang sering terjadi yaitu� manajemen kurang medengarkan keluhan, keinginan dan penapat konsumen� (lihat bemowski 1995 ; hoover , 1995) sehingga manajemen kurang peka terhadap keinginan konsumen. Bagian marketing yang sering berhubungan dengan konsumen harus difungsikan pula sebagai information gatherer and tracer.
c. Lack of guidance
Akhirnya selain masalah supplier dan konsumen, faktor eksternal lain yaitu lack of guidance. Konsultan kurang memberi pengarahan atau manajemen perusahaan tidak sepenuhnya memberi kepercayaan pada konsultan , sehingga konsultan kurang berperan. Hal ini berkaitan dengan kurang konsisten dan komitmen dari manajemen. Dengan alasan klasik, � masalah kerahasiaan�, manajemen bertindak kurang terbuka. Kekurangterbukaan ini mengakibatkan adanya keluhan dan menjadikan konsultan sebagai kambing hitam , sehingga menimbulkan anggapan bahwa konsultan kurang professional.
By: Sri Hendrawati, M.Pd
Menurut Nanang Fattah dalam bukunya yang berjudul Manajemen Berbasis Sekolah, diungkapkan bahwa ada dua faktor yang dapat menyebabkan kegagalan penerapan TQM, yaitu faktor intern dan faktor ekstern organisasi yang akan diuraikan di bawah ini.
1. Faktor Intern Organisasi
a. Top manajemen tidak melaksanakan komitmennya.
Hampir semua pakar TQM sependapat bahwa salah satu fungsi pokok keberhasilan tau kegagalan implementasi TQM adalah management commitmen. Apabila manajemen mempunyai dan memegang teguh komitmennya . Kemungkinan besar mereka akan berhasil. Sebaliknya , apabila mereka kurang komitmen bisa dipastikan bahwa organisasi akan mengalami kegagalan mencapai TQM. Komitmen ini setidaknya, menurut Dobbind(1995) meliputi tiga hal, yaitu waktu, antusiatitas( enthusiasm) dan tersedianya sumber-sumber(resource) dalam organisasi. Komitmen terhadap waktu ini merupakan kesadaran manajemen bahwa implementasi TQM, tergantung pada kondisi perusahaan, memerlukan pengorbanan waktu . dalam hal ini manajemen harus menyediakan waktu yang cukup berkonsentrasi pada TQM . Antusiatitas mengacu kepada konsisten manajemendalam mempertahankan keinginannya memperbaiki kualitas. Sedangkan sumber-sumber mengacu kepada tersedianya sumber yang berkualitas sesuai dengan target tingkatkualitas tertentu yang diharapkan. Selain itu, komitmen manajemen, menurut Corrigan (1995) , dapat pula berupa support yang serius dan leadership yang menumbuhkan motivasi. Komitmen ini bukan hanya diucapkan oleh para manajer, yang berupa slogan-slogan semata, tapi dapat dilihat dari kacamata dan dirasakan oleh para karyawan -managements crebility is in the workers eyes (Anand. 1995) Seluruh staf dan karyawan akan merasakan adanya komitmen manajemen. Dengan kata lain, slogan-slogan atau motto dan omongan saja tidaklah cukup tanpa diikuti oleh tindakan nyata manajemenyang mengarah pada quality. Namun harus diingat, bahwa untuk membuktikan keseriusan manajemen tidaklah mudah. Ini bisa dilacak melalui action research, long � period observation atau keyakinan para subordinate.
b. Komitmen manajemen ini harus diikuti dengan employee imvolvement.
Kurangnya mengikutsertakan seluruh lapisan manajemen dan karyawan , baik secara individu maupun sebagai suatu kelompok, departemen atau bagian, menimbulkan rasa kurang bertanggung jawab. Dengan kata lain kurangnya memeran sertakan karyawan dalam masalah kualitas akan menyebabkan orang merasa bahwa masalah kualitas hanya tanggungjawab bagian quality control, bukan tanggung jawab semua orang. Padahal setiap individu dalam suatu organisasi adalah ikut menentukan tingkat keberhasilan kualitas yang dicapai.
c. Drensek dan Grubb (1995) menambahkan bahwa struktur organisasi yang tidak sesuai dengan kebutuhan TQM juga menjadi penghambat.
TQM menghendaki struktur yang dengan jelas menetapkan tanggungjawab dan prioritas bagi setiap anggota team. Prioritas mengacu pada pengertian bahwa tidak ada bagian atau seseorang yang tugasnya lebih pentingdari pada yang lain.semua tugas mempunyai tingkat �penting� yang sama sesuai dengan sifat tugas itu. Sehingga yang membedakan adalah prioritas urutan tugas. Bila struktur itu tidak terjadi, perusahaan akan mengalami kendala pencapaian TQM.
d. Lack of understanding tentang apa yang dimaksud dengan filosofi TQM.
Kekurangan-kekurangan ini menjelma dalam beberapa tindakan. Hoover (1995) mengungkapkan bahwa seringkali manajemen mengharapkan terlalu banyak dan terlalu cepat akan hasilnya. Karena kelihatannya mudah untukimplementasi TQM, sehingga mencapai word-class quality. Manajemen beranggapan bahwa filosofi ini dapat diterapkan pada segala keadaan (circumstances) dan budaya. Kekurang pahaman ini, menurut Corrigan (1995) , tercermin pada besarnya antusias manajemen pada awal dimulainya TQM, namun antusias itu segera hilang karena ketidaksabaran. Akibatnya yang negative adalah tidak maunya berpartisipasi pada usaha-usaha TQM atau ketidak mauan merubah kebiasaan (behavior). Semua ini disebabkan karena kurang training.
e. Meskipun bukan dalam rangka TQM , training yang berkesinambungan bagi segenap anggota organisasi adalah penting,
Tujuan training yang berkesinambungan yaitu mencapai apa yang dimaksud dengan learning organization dimana pengetahuan menyebar pada segenap lapisan manajemen . Karena sukses itu, Anderson et al (1995) mengklaim, memerlukan pengembangan organisasi yang selalu membangun dan secara ajeg (continually) memperbaharui kemampuan bersaing dalam segala fungsinya. Salah satu cara yaitu melalui penyelenggaraan training yang berkelanjutan. Lebih-lebih dalam usaha meningkatkan kualitas, training secara menyeluruh merupaka salah satu persyaratanyang tidak bia ditinggalkan . kembali pada usaha enerapan TQM, kurangnya training yang memadai juga merupakan salah satu faktor penyebab kegagalan.
f. Selain tidak konsisten dalam mencapai tujuan, leadership (kepemimpinan) yang kurang memadai, Corrigan ( 1995) menambahkan, juga merupakan salah satu hambatan yang harus direduksi.
Kelemahan yang lazim yaitu menyamakan masalah kepemimpinan dengan mekanisme kerja mesin. Padahal kepemimpinan adalah produk aktivitas social. Ia bukan dan berbeda dari ilmu eksata dimana melalui suatu proses tertentu akan menghasilkan output yang sama ( hoover, 1995) kepemimpinan itu bersifat spesifik, sehingga tidak dapat digeneralisasi. Kepemimpinan ini memerlukan responsibility and ownership (Corrigan). Menurut Corrigan. Komitmen manajemen mengarah pada bagaimana memerankan personel dan responsibilitynya. Sedangkan ownership mengacu pada bagaimana eksekutif memahami dan menerima bahwa perubahan kultur organisasi harus dimulai dari perubahan kebisaan (behavior) pada level manajemen.
g. Berikutnya yaitu masalah sumber daya manusia (SDM) kelemahan yang ada lazimnya berupa tidak memadainya SDM yang tersedia untuk mencapai tingkat kaulitas tertentu.
Hal ini mungkin saja ditimbulkan karena proses requitment kurang baik atau manajemen hanya mementingkan biaya pegawai yang murah . asumsinya, yaitu bila kualitas SDM rendah bisa dibayar dengan gaji yang relatif rendah pula. Tetapi kendalanya, yaitu akan mempengaruhi kualitas organisasi secara keseluruhan. Selain itu adanya kemungkinan manajemen menekankan kualitas secara teknik (technical quality) atau mengkonsentasikan pada kualitas produk tetapi melupakan kualitas SDM.
h. Hal lain yang ada kaitannya dengan masalah manusia yaitu keengganan manusia untuk menerima perubahan ( employee resistance) terhadap kemapanan meskipun perubahan itu menawarkan sesuatu yang lebih baik.
Kecenderungannya, karyawan yang sudah bekerja lama pada suatu organisasi (senior) itu tidak mau berubah. Padahal penerapan filosofi TQM itu menghendaki adanya perubahan furdamental dalam struktur berfikir dan bertidak secara dinamis yang mungkin bertentangan dengan pola kemapanan. Factor keengganan ini harus disadarai betul adanya , kemudian dicari dan diindentifikasi penyebabnya, kemudian diusahakan pemecahannya. Employee Resistence ini diklaim sebagai faktor yang paling sulit untuk diubah. Untuk itu dilakukan perubahan melalui pendekatan sosio-kultural. Kegagalan mengatasi hal ini berdampak pada kegagalan penerapan TQM secara tidak langsung.
i. Lengahnya manajemen terhadap dampak sosial akibat perubahan lingkungan kerja.
Meskipun telah disebutkan bahwa TQM membawa perubahan ke arah yang lebih baik , namun manajemen harus tetap mempertimbangkan dampak perubahan sosial yang akan terjadi . Hal ini berkaitan dengan aspek emosi (rasa) manusia. Manajemen tidak boleh melupakan hal ini, karena manusia itu sejak lahir sudah dilengkapi dengan emosi rasa. Oleh karena itu manajemen sudah mempertimbangkan kemungkinan ini sejak awal dimulainya program TQM.
j. Penyebab kegagalan intern lainnya yaitu faktor cost, manajemen mengabaikan perhitungan aspek pembiayaan , sehingga pembiayaan TQM melebihi hasil yang biasa diraih.
Salah satu implementasi TQM adalah untuk memperbaiki pula posisi keuangan(financial performance) Apabila setelah menerapakan TQm perusahaan malah mengalami kondisi keuangan yang semangkin memburuk, bererti terdapat sesuatu yang tidak benar . jadi seharusnya dengan implementasi TQM , perusahaan akan memperbaiki kondisi keuangannya. Jadi pertimbangan biaya adalah mutlak dilakukan sebelum program TQM dimulai. Namun yang harus diingat dalam membandingkan antara biaya dan manfaat yaitu periode (jangka) waktu. Karena biaya pengeluaran program TQM jelas tidak akan kembali dalam waktu satu tahun. Ia akan kembali setelah perusahaan mencapai tingkat kualitas yang diharapkan.
k. Menekankan segala bentuk kenaikan biaya.
Penyebab kegagalan yang relevan dengan pengorbanan yaitu perbaikan kualitas tidak diikuti oleh penyesuaian-penyesuaian (alignment) antara hak dan kewajiban yang seimbang (award system) Peningkatan kaulitas harus disertai oleh adanya peningkatan (reward). Adalah sesuatu yang tidak mungkin bila kita menungtut sesuatu yang lebih, member imbalan yang memadai , antara lain berbentuk kenaikan upah/gajiyang sesuai diperlukan agar usaha pencapaian TQM mendapat support yang kontinyu.
l. Selain pengorbanan material (uang) , manajemen juga dituntut pengorbanan lainnya, yaitu waktu.
Manajemen harus meluangkan waktu yang cukup dan berkonsentrasi penuh terhadap program TQM. Di samping waktu yang disediakan oleh manajemen harus pula dasar akan waktu untuk mencapai target kualitas yang diinginkn. Pencapaian target ini selalu melalui proses yang seringkali makan waktu yang cukup panjang. Kegagalannya yaitu karena manajemen menghendaki perubahan yang cepat dan melupakan masalah proses.
m. Faktor intern yang terakhir problem solving techniques.
Karyawan tidak diberi kesempatan memecahkan masalah mereka sendiri. Seakan-akan pemecahan ,masalah adalah tanggung jawab supervisor. Ada hal seperti yang telah ditegaskan oleh Drensek dan Grubb (1995) , karyawan sebetulnya yang paling mengetahui penyebab suatu problem, sehingga mereka harus tahu dan mampu memecahkan problemnya pula. Sedangkan supervisor biasanya hanya berusaha menghilangkan atau mematikan api dari pada menyelesaikan masalah, oleh karenanya , sebaiknya supervisor bersama-sama dengan fasilitator atau consultan, bertindak selaku penengah dan nara sumber dalam masalah problem solving yang dilakukan oleh karyawan ( lihat juga Hoover , 1995)
2. Faktor Ekstern Organisasi
Dilihat dari sudut pengaruh extern organisasi, bahwa kegagalan implementasi TQM terutama disebabkan karena dua hal pokok, yaitu peran supplier dan consumer. Peran supplier dalam hal ini mengacu pada external supplier bukan internal supplier.
a. Ketidakmampuan mengontrol kualitas produk supplier
Di Indonesia cukup sulit untuk menentukan dan mengontrol kualitas produk bahan baku yang di suplai supplier. Kesulitan itu antara lain karena sifatnya, misalnya produk alami, dan dikuasai oleh supplier (monopoli). Tetapi yang menjadi problem yaitu belum terbiasanya perusahaan membuat kerjasama dalam bidang kualitas antara penjual dan pembeli (Bemowski 1995, Roosevelt,1995). Tujuannya membentuk produk yang memenuhi standar pembeli. Sebagian penjual masih berprinsip menjual sebanyak mungkin. Padahal , peran supplier itu penting dalam pengertian bila kualitas bahan baku itu telah sesuai dengan standar perusahaan berarti proses produksi telah dimulai dengan standar yang diharapkan, berarti manajemen dapat mengkonsentrasikan tindakan kualitas pada elemen manajemen yang lain. untuk mencapai TQM diperlukan supplier yang mau membuat hubungan kerjasama timbal- balik yang sesuai dengan rencana pengembangan perusahaan
b. Kurang memfokuskan pada konsumen
Manajemen kurang menaruh perhatian akan kepentingan konsumen. Kelemahan yang sering terjadi yaitu� manajemen kurang medengarkan keluhan, keinginan dan penapat konsumen� (lihat bemowski 1995 ; hoover , 1995) sehingga manajemen kurang peka terhadap keinginan konsumen. Bagian marketing yang sering berhubungan dengan konsumen harus difungsikan pula sebagai information gatherer and tracer.
c. Lack of guidance
Akhirnya selain masalah supplier dan konsumen, faktor eksternal lain yaitu lack of guidance. Konsultan kurang memberi pengarahan atau manajemen perusahaan tidak sepenuhnya memberi kepercayaan pada konsultan , sehingga konsultan kurang berperan. Hal ini berkaitan dengan kurang konsisten dan komitmen dari manajemen. Dengan alasan klasik, � masalah kerahasiaan�, manajemen bertindak kurang terbuka. Kekurangterbukaan ini mengakibatkan adanya keluhan dan menjadikan konsultan sebagai kambing hitam , sehingga menimbulkan anggapan bahwa konsultan kurang professional.