Semua orang ingin sukses, baik di dunia maupun di akhirat, siapapun dia, termasuk orang atheis, walaupun dia tidak mengakui adanya tuhan, tetapi fitrah agamanya tidak bisa hilang begitu saja, selamanya akan tetap ada walaupun tidak diungkapkan. Firman Allah SWT. dalam surat Al A�raf ayat 172, �Bukankah aku ini Tuhanmu ? Mereka menjawab, Ya kami bersaksi bahwa engkau adalah tuhan kami�.
Kesuksesan di dunia mungkin terlihat sangat menyenangkan. Orang yang kaya segala keinginannya terpenuhi, perusahaannya dimana-mana, depositonya tidak terhitung, kapal pesiarnya lebih dari sepuluh ditambah pesawat pribadi yang setia mengantarkannya kemanapun ia mau, rumahnya ada dimana-mana dan lain sebagainya. Sepintas orang tersebut terlihat sangat bahagia dan terpuaskan. Tetapi benarkah demikian. Benarkah hatinya benar-benar tentram, tenang dan tidak gelisah, ataukah dirinya telah menjadi bahan permainan dari harta-hartanya sehingga ia tidak merasakan sedikitpun kepuasan atas hasil usahanya, yang ada hanya kekhawatiran, kelelahan dan beban pikiran.
Sebaliknya, kemiskinan tidak berarti tidak merasakan kepuasan. Begitu banyak orang yang miskin tetapi bisa tidur terlelap tanpa beban apapun. Ada juga orang miskin yang merasa cukup atas anugerah Allah setelah dia berusaha maksimal untuk meraihnya. Tapi apakah agama memerintahkan agar kita menjadi orang miskin ? Tentu saja tidak. Bahkan kemiskinan lebih dekat kepada jurang kekafiran. Lantas seperti apakah profil ideal yang diharapkan agar oleh agama sehingga bisa sukses dunia dan akhirat ?
Allah SWT. Berfirman dalam surat An Nahl ayat 97, yang artinya : �Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan�.
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan agar kita senantiasa mengerjakan amal saleh. Allah tidak menyebutnya ibadah yang saleh, tetapi amal yang saleh. Ini menunjukkan bahwa pandangan agama hanya sebagai ritualitas saja adalah salah, tetapi agama harus dipandang sebagai pedoman dalam melaksanakan seluruh aktivitas (amal), baik yang berhubungan dengan ritual maupun non ritual dan aktivitas tersebut harus dilaksanakan dengan dilandasi oleh kesalehan individu dan keimanan. Dengan demikian maka jika ada seseorang melakukan usahanya dengan dilandasi kesalehan maka ia akan mendapat balasannya, begitu juga jika ada orang yang melakukan ritual dilandasi dengan kesalehan maka akan mendapat balasannya.
Prakteknya dalam kehidupan, jika kita ingin sukses di dunia maka jadilah orang yang terus berikhtiar meraih kesuksesan dilandasi dengan kesalehan sosial, misalnya jujur, dapat dipercaya, semangat, terampil, pantang menyerah, kreatif, inovatif dan lain-lain. Kesalehan itu sendiri akan muncul ketika seseorang sudah dekat dengan Sang Pencipta. Kesalehan ini tidak akan muncul dari orang yang jauh dari Sang Pencipta, karena perasaan jauh ini akan mendorongnya untuk melakukan hal yang dilarang dan ia merasa tidak akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Andaipun kesalehan itu ada, kesalehan itu tidak akan membuatnya tenang dan tentram dalam berkarya, karena hatinya gersang dan punya ketergantungan kepada materi yang cukup kuat. Sebaliknya orang yang kesalehannya muncul atas kedekatannya kepada Allah, maka kesalehan itu akan berbekas, bukan hanya kepada dirinya tetapi juga orang disekitarnya. Dia tidak memiliki ketergantungan kepada materi, sehingga ia tidak takut untuk kehilangannya. Ia juga akan memberikan karya terbaik, walaupun majikannya tidak ada didekatnya, karena motivasinya bukan pujian dan sanjungan dari atasan, tetapi semata meraih mardhatillah.
Pada dasarnya agama memerintahkan kita kaya, tetapi kekayaan tersebut harus diraih atas kesalehan dan digukanan untuk proyek amal shaleh. Kekayaan tanpa kesalehan memungkinkan orang melakukan kegiatan maksiat untuk meraihnya serta membelanjakannya. Selanjutnya ketika ia berusaha maksimal tapi tidak menjadi orang kaya, ia akan tetap tenang, tentram dan tidak tertekan, karena kekayaan bukan tujuan akhirnya. Inilah hakikat kesuksesan di dunia, yaitu tidak memiliki ketergantungan kepada kekayaan apakah dia jadi orang kaya ataupun jadi orang miskin.
Adapun hakikat kesuksesan di akhirat adalah ketika kita bisa menghirup udara kebebasan yang abadi disurga, yang hanya bisa kita raih dengan amal saleh yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah SWT.
Kesimpulannya jika sinergi antara kesalehan sosial dengan kesalehan ritual terbentuk, maka ia termasuk kepada orang yang dijanjikan oleh Allah SWT. akan mendapat kehidupan yang baik di dunia dan mendapat balasan pahala berupa surga kelak di akhirat, dalam perkataan lain sukses di dunia dan akhirat. Wallahu A�lam.
Kesuksesan di dunia mungkin terlihat sangat menyenangkan. Orang yang kaya segala keinginannya terpenuhi, perusahaannya dimana-mana, depositonya tidak terhitung, kapal pesiarnya lebih dari sepuluh ditambah pesawat pribadi yang setia mengantarkannya kemanapun ia mau, rumahnya ada dimana-mana dan lain sebagainya. Sepintas orang tersebut terlihat sangat bahagia dan terpuaskan. Tetapi benarkah demikian. Benarkah hatinya benar-benar tentram, tenang dan tidak gelisah, ataukah dirinya telah menjadi bahan permainan dari harta-hartanya sehingga ia tidak merasakan sedikitpun kepuasan atas hasil usahanya, yang ada hanya kekhawatiran, kelelahan dan beban pikiran.
Sebaliknya, kemiskinan tidak berarti tidak merasakan kepuasan. Begitu banyak orang yang miskin tetapi bisa tidur terlelap tanpa beban apapun. Ada juga orang miskin yang merasa cukup atas anugerah Allah setelah dia berusaha maksimal untuk meraihnya. Tapi apakah agama memerintahkan agar kita menjadi orang miskin ? Tentu saja tidak. Bahkan kemiskinan lebih dekat kepada jurang kekafiran. Lantas seperti apakah profil ideal yang diharapkan agar oleh agama sehingga bisa sukses dunia dan akhirat ?
Allah SWT. Berfirman dalam surat An Nahl ayat 97, yang artinya : �Barangsiapa yang mengerjakan amal saleh, baik laki-laki maupun perempuan dalam Keadaan beriman, Maka Sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan Sesungguhnya akan Kami beri Balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan�.
Ayat ini secara eksplisit memerintahkan agar kita senantiasa mengerjakan amal saleh. Allah tidak menyebutnya ibadah yang saleh, tetapi amal yang saleh. Ini menunjukkan bahwa pandangan agama hanya sebagai ritualitas saja adalah salah, tetapi agama harus dipandang sebagai pedoman dalam melaksanakan seluruh aktivitas (amal), baik yang berhubungan dengan ritual maupun non ritual dan aktivitas tersebut harus dilaksanakan dengan dilandasi oleh kesalehan individu dan keimanan. Dengan demikian maka jika ada seseorang melakukan usahanya dengan dilandasi kesalehan maka ia akan mendapat balasannya, begitu juga jika ada orang yang melakukan ritual dilandasi dengan kesalehan maka akan mendapat balasannya.
Prakteknya dalam kehidupan, jika kita ingin sukses di dunia maka jadilah orang yang terus berikhtiar meraih kesuksesan dilandasi dengan kesalehan sosial, misalnya jujur, dapat dipercaya, semangat, terampil, pantang menyerah, kreatif, inovatif dan lain-lain. Kesalehan itu sendiri akan muncul ketika seseorang sudah dekat dengan Sang Pencipta. Kesalehan ini tidak akan muncul dari orang yang jauh dari Sang Pencipta, karena perasaan jauh ini akan mendorongnya untuk melakukan hal yang dilarang dan ia merasa tidak akan dipertanggungjawabkan kelak di akhirat. Andaipun kesalehan itu ada, kesalehan itu tidak akan membuatnya tenang dan tentram dalam berkarya, karena hatinya gersang dan punya ketergantungan kepada materi yang cukup kuat. Sebaliknya orang yang kesalehannya muncul atas kedekatannya kepada Allah, maka kesalehan itu akan berbekas, bukan hanya kepada dirinya tetapi juga orang disekitarnya. Dia tidak memiliki ketergantungan kepada materi, sehingga ia tidak takut untuk kehilangannya. Ia juga akan memberikan karya terbaik, walaupun majikannya tidak ada didekatnya, karena motivasinya bukan pujian dan sanjungan dari atasan, tetapi semata meraih mardhatillah.
Pada dasarnya agama memerintahkan kita kaya, tetapi kekayaan tersebut harus diraih atas kesalehan dan digukanan untuk proyek amal shaleh. Kekayaan tanpa kesalehan memungkinkan orang melakukan kegiatan maksiat untuk meraihnya serta membelanjakannya. Selanjutnya ketika ia berusaha maksimal tapi tidak menjadi orang kaya, ia akan tetap tenang, tentram dan tidak tertekan, karena kekayaan bukan tujuan akhirnya. Inilah hakikat kesuksesan di dunia, yaitu tidak memiliki ketergantungan kepada kekayaan apakah dia jadi orang kaya ataupun jadi orang miskin.
Adapun hakikat kesuksesan di akhirat adalah ketika kita bisa menghirup udara kebebasan yang abadi disurga, yang hanya bisa kita raih dengan amal saleh yang dilandasi oleh keimanan kepada Allah SWT.
Kesimpulannya jika sinergi antara kesalehan sosial dengan kesalehan ritual terbentuk, maka ia termasuk kepada orang yang dijanjikan oleh Allah SWT. akan mendapat kehidupan yang baik di dunia dan mendapat balasan pahala berupa surga kelak di akhirat, dalam perkataan lain sukses di dunia dan akhirat. Wallahu A�lam.