AGAMA ANTARA SIMBOL RITUAL DAN MAKNA ESENSIAL (2)

Ja'far al-Shadiq, guru dari para imam dan tokoh keagamaan besar dalam sejarah Islam baik untuk kalangan Ahl al-Sunnah maupun Syi'ah, memberikan Pandangan Ketuhanan yang amat mendasar yang diterangkan dengan jelas sekali. Dalam sebuah penuturan, ia menjelaskan nama "Allah" dan bagaimana menyembah-Nya secara benar sebagai jawaban atas pertanyaan Hisyam: "Allah" (kadang-kadang dieja, "Al-Lah") berasal "ilah" dan "ilah" mengandung makna "ma'luh', (yang disembah), dan nama (ism) tidaklah sama dengan yang dinamai (al-musamma). Maka barangsiapa menyembah nama tanpa makna, ia sungguh telah kafir dan tidak menyembah apa-apa. Barangsiapa menyembah nama dan makna (sekaligus), maka ia sungguh telah musyrik dan menyembah dua hal. Dan barangsiapa menyembah makna tanpa nama maka itulah Tawhid. Engkau mengerti, wahai Hisyam?" Hisyam mengatakan lagi, "Tambahilah aku (ilmu)". Ja'far al-Shadiq menyambung, "Bagi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung ada Sembilan puluh sembilan nama. Kalau seandainya nama itu sama dengan yang dinamai, maka setiap nama itu adalah suatu Tuhan. Tetapi Allah Yang Maha Mulia dan Maha Agung adalah suatu Makna (Esensi) yang diacu oleh nama-nama itu, sedangkan nama-nama itu sendiri seluruhnya tidaklah sama dengan Dia..."

Kisah diatas menunjukkan bahwa agama mengandung simbol-simbol (dalam contoh di atas : nama Allah), tetapi nama Allah tersebut bukan esensi dari nama itu sendiri, tetapi terkandung makna esensial dari nama itu, yakni Al musamma (Dzat Allah).

Agama tidak bisa lepas dari simbol, bahkah Allah memerintahkan umat Islam untuk mengagungkan simbol-simbol agama, firman Allah SWT. �Barang siapa yang mengagungkan syi�ar-syi�ar agama Allah, maka itu bagian dari ketakwaan hati�. Namun demikian tidak cukup mengaplikasikan agama hanya dari simbolnya saja, tetapi harus meresap sampai ke dalam makna esensial dari agama itu sendiri, firman Allah :�Masuklah ke dalam Islam secara kaffah (menyeluruh) dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan. Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu� (QS. Al Baqarah : 208)., ketika manusia melaksanakan shalat, maka tidak cukup hanya pelaksanaan ritual shalat itu sendiri, tapi harus sampai kepada makna esensial dari shalat tersebut yaitu kesalehan dan penghambaan kepada Allah SWT.

Jika makna esensial ibadah telah mengakar kuat dalam hati manusia, maka kesalehan masyarakat akan terbentuk, sehingga agama tidak dipandang sebagai simbol ritual saja yang kosong dari esensi agama itu sendiri, tetapi esensi agama itu akan tergambar dalam seluruh aktivitas kehidupannya, baik dalam berhubungan dengan Allah (hablum minallah) maupun berhubungan dengan sesama manusia (hablum minannas).

Dengan demikian yang dikatakan "ideal" dalam kehidupan beragama ialah jika ada keseimbangan antara simbolisasi dan substansi. Artinya, jika terdapat kewajaran dalam penggunaan simbol-simbol sedemikian rupa sehingga agama memiliki daya cekam kepada masyarakat luas (umum), namun tetap ada kesadaran bahwa suatu simbol hanya mempunyai nilai instrumental, dan tidak intrinsik (dalam arti tidak menjadi tujuan dalam dirinya sendiri, melainkan menuju kepada suatu nilai yang tinggi). Bersamaan dengan penggunaan simbol-simbol diperlukan adanya kesadaran tentang hal-hal yang lebih substantif, yang justru mempunyai nilai intrinsic (makna esensial). Justru segi ini harus ditumbuhkan lebih kuat dalam masyarakat. Agama tidak mungkin tanpa simbolisasi, namun simbol tanpa makna adalah absurd, muspra dan malah berbahaya. Maka agama ialah pendekatan diri kepada Allah dan perbuatan baik kepada sesama manusia, sebagaimana keduanya itu dipesankan kepada kita melalui shalat kita, dalam makna takbir (ucapan "Allah-u Akbar") pada pembukaan dan dalam makna taslim (ucapan,'assalamu'alaikum...") pada penutupannya.

Referensi : Dari berbagai sumber