TEORI BELAJAR

Beberapa teori belajar serta implikasinya terhadap pelaksanaan pembelajaran di TK/RA dan SD/MI

Oleh:
Sri Hendrawati

Prof.Dr. Ratna Wilis Dahar,M.Sc dalam bukunya yang berjudul Teori-Teori Belajar mengemukakan pembagian teori belajar menjadi 2 bagian, yaitu teori belajar sebelum abad 20 dan teori belajar yang berkembang pada abad 20.
Teori belajar sebelum abad ke-20 dikembangkan tanpa dilandasi eksperimen melainkan hasil dari pengalaman, orientasinya filosofis atau spekulatif. Teori yang berkembang pada saat itu adalah:
- Teori disiplin mental dengan tokohnya adalah Plato dan Ariestoteles. Proses belajar menekankan pada melatih atau mendisiplinkan mental siswa. Contohnya pada saat belajar membaca, siswa mulai diperkenalkan dengan daftar kata-kata menggunakan kartu-kartu kemudian di-drill sampai bisa.
- Teori perkembangan alamiah (natural unfoldment) , tokohnya adalah J.J. Rosseau (1712-1778); Henrich Pestalozzi (1746-1827), dan seorang berkebangsaan Jerman bernama Frederich Froebel (1782-1852) yang merupakan pelopor kindergarten pada masa itu. Contoh penerapannya adalah dengan memberikan pengalaman belajar yang menyenangkan bagi anak, guru lebih mementingkan perkembangan kematangan (maturational development) daripada menanamkan suatu keterampilan tertentu. Guru-guru akan menunggu hingga siswa menyatakan keinginannya untuk belajar membaca,misalnya, sebelum mereka mencoba mengajar siswa-siswa ini membaca. Teori ini merupakan teori pendukung dalam pembelajaran di taman kanak-kanak dan PAUD di banyak negara , termasuk Indonesia.
- Teori Apersepsi, tokohnya adalah Johann Friedrich Herbart (1776-1841) yang mengemukakan tentang teori tabula rasa mengenai pikiran. Belajar merupakan suatu proses terasosiasinya gagasan-gagasan baru dan gagasan �gagasan lama yang sudah membentuk pikiran (mind). Para pengikut teori ini akan mengajar siswa membaca misalnya, mulai dengan abjad dan berusaha agar siswa dapat mengenal dan mengucapkan setiap huruf. Kemudian mereka akan mengatakan bagaimana huruf-huruf itu digabung-gabungkan untuk membuat kata-kata, bagaimana huruf-huruf membuat bunyi, bagaimana bunyi menjadi bersatu, dan bagaimana huruf-huruf hidup dan huruf-huruf mati berperan. Dengan kata lain, guru akan memberikan aturan-aturan pada siswa. Lalu guru ini akan membicarakan benda-benda atau makhluk-makhluk hidup yang telah dikenal siswa, misalnya kucing, anjing, kuda dan lain-lain. Kemudian guru akan menuliskan kata k u d a, dan menerangkan, bahwa kata ini menggambarkan kuda. Guru ini berkeinginan terutama untuk membuat pelajaran membaca itu menarik, dan berusaha agar para siswa memperoleh gagasan-gagasan yang benar dari membaca. Teori ini berlawanan dengan teori disiplin mental dan perkembangan alamiah merupakan suatu asosiasionisma mental yang dinamis didasarkan pada premis fundamental bahwa tidak ada gagasan bawaan sejak lahir (bawaan), apapun yang diketahui seseorang datang dari luar dirinya.

Teori belajar yang berkembang pada abad 20 dikelompokkan menjadi dua keluarga yaitu keluarga perilaku yang meliputi teori-teori stimulus-respons (S-R) conditioning, dan keluarga Gestalt-field yang meliputi teori-teori kognitif.
Perilaku menurut teori behaviorisme ialah hal-hal yang berubah dan dapat diamati. Perilaku terbentuk dengan adanya ikatan asosiatif antara stimulus dan respon (S-R). Manusia berperilaku pada dasarnya mencari kesenangan yang sekaligus menghindari hal-hal yang menyakitkan, dan perilaku pada dasarnya ditentukan oleh lingkungan sesuai dengan pola stimulus respon yang terjadi. Proses belajar terjadi dengan adanya tiga komponen pokok, yaitu stimulus, respon dan akibat. Stimulus adalah sesuatu yang datang dari lingkungan yang dapat membangkitkan respon individu. Respon menimbulkan perilaku jawaban atas stimulus. Sedangkan akibat adalah sesuatu yang terjadi setelah individu merespon baik yang bersifat positif maupun negatif.
Teori belajar humanisme memandang bahwa perilaku manusia ditentukan oleh faktor internal dirinya dan bukan oleh kondisi lingkungan ataupun pengetahuan. Menurut teori belajar humanisme, aktualisasi diri merupakan puncak perkembangan individu. Kebermaknaan perwujudan dirinya itu bahkan bukan saja dirasakan oleh dirinya sendiri, tetapi juga oleh lingkungan sekitarnya. Teori belajar humanisme ini yakin bahwa motivasi belajar harus datang dari dalam diri individu.
Tokoh-tokoh yang berkaitan dengan teori perilaku ini adalah Ivan Petrovich Pavlov (1849-1936), E.L.Thorndike, E.R Guthrie, B.F. Skinner, R.M. Gagne, A.Bandura, dan beberapa lainnya.

Menurut teori gestalt-field, belajar merupakan suatu proses perolehan atau perubahan insight, outlooks, harapan-harapan atau pola-pola berfikir. Para ahli teori ini yakin bahwa perilaku yang tidak Nampak adalah mungkin untuk dipelajari dengan cara ilmiah, seperti pemikiran-pemikiran (thoughts). Karena teori ini memusatkan perhatian dan menganalisa proses-proses kognitif, maka prinsip-prinsip dan kesimpulan-kesimpulan yang mereka sarankan disebut teori-teori kognitif.
Para teoriwan belajar kognitif berpandangan bahwa proses belajar pada manusia melibatkan proses pengenalan yang bersifat kognitif. Menurut mereka, cara belajar orang anak berbeda dengan cara belajar orang dewasa. Proses belajar orang dewasa melibatkan kemampuan kognitif yang lebih tinggi dibandingkan dengan proses belajar anak.

Banyak ahli psikologi kognitif yang mempelajari bagaimana terjadinya belajar dan menyarankan bagaimana seharusnya mengajar di lakukan. Diantaranya adalah Jerome Bruner (1966) yang mengemukakan model penemuan (discovery learning), David Ausubel (1968) yang mengemukakan toeri belajar bermakna, dan Robert Gagne (1970) serta Jean Piaget yang terkenal dengan teori kognitifnya yang sangat mempengaruhi dunia pendidikan.

Bruner mengemukakan bahwa inti dari belajar adalah bagaimana cara orang memilih, mempertahankan dan mentransformasikan informasi secara aktif. Bruner menganggap bahwa belajar penemuan sesuai dengan pencarian pengetahuan secara aktif oleh manusia, dan dengan sendirinya memberikan haasil yang paling baik. Berusaha sendiri untuk mencari pemecahan masalah serta pengetahuan yang menyertainya, menghasilkan pengetahuan yang benar-benar bermakna dan menunjukkan beberapa kebaikan, yaitu : pengetahuan tersebut bertahan lama/mudah diingat, belejar penemuan mempunyai efek transfer yang lebih baik dari hasil belajar lainnya dan yang terakhir adalah secara keseluruhan belajar penemuan dapat meningkatkan penalaran siswa dan kemampuan untuk berfikir secara bebas. Secara keseluruhan belajar penemuan melatih keterampilan-keterampilan kognitif siswa untuk menemukan dan memecahkan masalah tanpa pertolongan orang lain

Ausubel mengklasifikasikan belajar ke dalam dua dimensi. Dimensi pertama menyangkut cara materi atau informasi diterima peserta didik dan dimensi kedua, menyangkut cara bagaimana peserta didik dapat mengaitkan informasi atau materi pelajaran dengan struktur kognitif yang telah ada. Jika peserta didik menghubungkan informasi atau materi pelajaran baru dengan konsep-konsep atau hal lainnya yang telah ada dalam struktur kognitifnya, maka terjadilah yang disebut dengan belajar bermakna.
Menurut Piaget, setiap individu mengalami tingkat-tingkat perkembangan intelektual mulai dari tahap sensori motor (0-2 tahun), pra-operasional (2-7tahun), operasional konkret (7-11tahun), dan operasional formal (11tahun ke atas). Melalui penelitiannya, kini kita dapat memahami bagaimana individu belajar melalui schemata-skemata yang terbentuk di dalam fikirannya, melalui akomodasi dan asimilasi sehingga mencapai ekuilibrasi di setiap tahapan perkembangannya.

Implikasi Teori-Teori Belajar dalam Pembelajaran
Proses pembelajaran yang berpegang teguh pada prinsip dan pemahaman teori behaviorisme menekankan pentingnya keterampilan dan pengetahuan akademik maupun perilaku sosial sebagai hasil belajar. Pendekatan ini lebih menekankan pada penguasaan secara tuntas (mastery) terhadap apa-apa yang dipelajari.
Pandangan kalangan humanisme tentang proses belajar mengimplikasikan perlunya penataan peran guru/tenaga kependidikan dan prioritas pendidikan. Menurut pandangan ini guru/tenaga kependidikan berperan sebagai fasilitator daripada sebagai pengajar belaka. Guru/tenaga kependidikan sebaiknya bukan lagi sebagai pusat proses pembelajaran, tetapi yang terpenting adalah memfasilitasi tumbuhnya motivasi belajar secara intrinsik pada diri peserta didik. Kebutuhan peserta didik harus menjadi bahan pertimbangan materi pembelajaran yang akan disampaikan.

Dari aliran psikologi kognitif, teori Piaget tampak lebih banyak digunakan dalam praktik pendidikan atau proses pembelajaran, meski teori ini bukanlah teori mengajar. Menurut teori kognitif adalah benar bahwa belajar tidak harus berpusat pada guru/tenaga kependidikan, tetapi anak harus lebih aktif. Oleh karenanya peserta didik harus dibimbing agar aktif menemukan sesuatu yang dipelajarinya. Konsekuensinya materi yang dipelajari harus menarik minat belajar peserta didik dan menantang sehingga mereka asyik dan terlibat dalam proses pembelajaran.
Sedikitnya ada empat aplikasi dari teori belajar Ausubel yang dapat diterapkan dalam proses pembelajaran. Pertama, advance organizer yang banyak diterjemahkan sebagai pengatur awal (Dahar, 1996), dan entry behavior pengetahuan siap (Abin Syamsuddin, 1999). Kedua, diferensiasi progresif yang menentukan proses pembelajaran yang berlangsung dari umum ke khusus. Ketiga, superoordinat yang merupakan pengenalan terhadap konsep-konsep yang telah dipelajari sebelumnya sebagai unsur-unsur dari suatu konsep yang lebih luas. Keempat, penyesuaian interaktif yang merupakan upaya untuk mengatasi dan mengurangi terjadinya pertentangan kognitif dalam proses pembelajaran.

Implikasi dari teori-teori belajar yang berkembang sejak sebelum abad ke-20 hingga sekarang adalah bahwa pembelajaran di TK/RA dan SD/MI hendaklah selalu memperhatikan 4 pilar pendidikan sebagai prinsip dalam pembelajaran. Keempat paradigma pembelajaran tersebut adalah (1) learning to know, (2) learning to do, (3) learning to be, dan (4) learning to live together. Learning to know adalah prinsip bahwa belajar untuk mengetahui atau memahami. Dengan prinsip ini pembelajaran harus mengkondisikan agar siswa aktif dan menciptakan suasana untuk selalu ingin mengetahui dan memahami sesuatu yang baru. Dengan demikian pembelajaran hendaknya menciptakan sikap �penasaran� pada siswa, sehingga siswa selalu ingin belajar lebih jauh. Learning to do merupakan prinsip belajar untuk mengerjakan. Prinsip ini mewujudkan bahwa siswa dalam belajar bukan hanya untuk sekedar mengetahui, tetapi juba mampu melaksanakan atau mempraktekkan. Dengan prinsip ini ada kesesuaian antara teori dan praktek. Mata pelajaran yang bersifat praktek seperti pendidikan jasmani harus dilakukan dengan praktek, begitu juga dengan mata pelajaran yang berisi teori dan praktek seperti IPA harus dilakukan seimbang.

Learning to be adalah prinsip belajar untuk mencapai sesuatu. Prinsip ini mengarahkan siswa untuk selalu mengejar dalam mencapai sesuatu dan tidak putus asa. Dengan demikian siswa memiliki pandangan dan bekerja keras karena dalam dirinya akan muncul perjuangan dalam mencapai sesuatu. Dengan prinsip ini siswa memiliki cita-cita dan berpandangan jauh ke depan. Learning to live together adalah prinsip belajar untuk hidup bersama. Siswa merupakan bagian dari suatu sistem, komunitas, dan masyarakat. Dalam pembelajaran harus dihindari situasi eksklusifitas pada siswa. Sebagai bagian dari suatu sistem, maka aturan-aturan harus diterapkan terhadap siswa seperti kedisiplinan dan kerja sama. Siswa merupakan bagian dari komunitas, bahwa siswa belajar bersama guru dan siswa lain. Untuk itu dalam pembelajaran hendaknya diciptakan suasana kebersamaan dan saling menghargai antara satu dengan yang lain. Sekolah merupakan tempat bagi siswa untuk mempersiapkan diri untuk hidup bermasyarakat, karena siswa merupakan bagian dari masyarakat. Dengan kata lain pembelajaran dengan prinsip ini mengkondisikan siswa sebagai bagian dari suatu sistem belajar untuk berorganisasi dan hidup bersama.

Selain daripada prinsip-prinsip yang telah dikemukakan di atas, implikasi dari teori �teori belajar terhadap proses pembelajaran siswa TK dan SD adalah bagaimana guru melakukan dan merumuskan pendekatan serta strategi dalam membelajarkan siswa. Peran guru dakam proses membelajarkan siswa semakin penting, karena dimasa depan guru tidak lagi merupakan sumber informasi atau penyampaian pengetahuan kepada siswa melainkan lebih merupakan fasilitator yang mempermudah siswa belajar. Cara-cara mengajar konvensional, sudak selayaknya untuk diperbaharui dan dikembangkan. Di sinilah pentingnya pemahaman guru terhadap berbagai pendekatan dalam pembelajaran. Salah satu pendekatan dan strategi yang harus dipahami guru adalah pendekatan holistik dan terpadu, hal ini sesuai dengan karakteristik siswa TK dan SD terutama siswa kelas 1-3.

Dalam pendekatan holistik atau terpadu, suatu objek akan terlihat maknanya apabila diamati secara menyeluruh, bukan terpisah-pisah. Pendekatan ini merupakan aplikasi teori dari psikologi Gestalt. Dalam pendekatan pembelajaran, aplikasi teori Gestalt dapat dilihat seperti berikut : 1. Pengalaman insight , 2. Pembelajaran yang bermakna , 3. Perilaku bertujuan , 4.Prinsip ruang hidup , 5. Transfer dalam pembelajaran .
Selanjutnya, untuk dapat memperlihatkan proses belajar sebagai proses yang terpadu, ada 9 hal yang perlu diperhatikan, yaitu: Pembelajaran berfungsi secara penuh untuk membantu perkembangan individu seutuhnya: kedua pembelajaran merupakan aktivitas belajar siswa untuk memperoleh pengalaman yang menempatkan siswa sebagai pusat. Ketiga, pembelajaran diarahkan untuk memberikan ruang gerak siswa secara aktif dan intensif. Keempat, pembelajaran harus menjamin setiap siswa pada posisi yang baik dalam suasana kebersamaan untuk menyelesaikan proses yang dihadapi. Kelima, pembelajaran sebagai proses terpadu mendorong siswa untuk terus-menerus belajar. Keenam, belajar secara terpadu memberikan kemungkinan yang luas agar siswa belajar dengan irama dan gayanya masing-masing, tentunya dengan standard-standard yang ditetapkan sendiri-sendiri. Ketujuh, pembelajaran secara terpadu dapat berfungsi dan berperan secara efektif yang menciptakan lingkungan belajar yang melihat berbagai aspek. Kedelapan, pembelajaran terpadu memungkinkan agar pembelajaran bidang studi tidak harus secara terpisah. Serta kesembilan, pembelajaran terpadu memmungkinkan adanya hubungan antara sekolah dan keluarga.

Pada pendekatan konstruktivisme, individu membentuk sendiri pengetahuan yang dipelajarinya. Menurut Von Glaserfeld, pengetahuan bukanlah suatu barang yang dapat dipindahkan dari pikiran seseorang yang sudah mempunyai pengetahuan (dalam hal ini adalah guru) kepada pikiran orang yang belum memiliki pengetahuan itu (siswa). Siswalah yang menginterpretasikan serta mengkonstruksikan pemindahan pengetahuan tersebut berdasarkan pengalaman yang mereka miliki masing-masing. Konstruktivisme dibedakan atas 3 level yaitu: Konstruktivisme radikal, realisme hipotesis, dan konstruktivisme yang biasa (jika dikaitkan dengan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan).

Selain itu pandangan konstruktivisme juga menghendaki guru untuk menerapkan pendekatan mengajar yang berpusat pada siswa (student-centered approach). Beberapa hal yang diperlukan untuk menyokong pendekatan berorientasi pada anak/siswa adalah pertama, orientasi mengajar tidak hanya untuk pencapaian prestasi akademik. Kedua, topik-topik yang dipelajari dapat berdasarkan pengalaman anak yang relevan. Ketiga, metode mengajar harus berorientasi pada anak dengan sifat yang menyenangkan. Keempat, kesempatan anak untuk bermain dan bekerja sama dengan orang lain mendapat prioritas. Kelima, bahan pembelajaran dapat diambil dari bahan yang konkret. Keenam, penilaian tidak hanya terbatas pada aspek kognitif semata. Serta ketujuh, keenam hal terdahulu membawa implikasi bagi guru yang harus menampilkan diri sebagai guru dalam proses pembelajaran, dan bukan hanya sekedar mentransformasikan pengetahuan kepada siswa.

Implikasi lainnya dari teori-teori belajar terhadap pembelajaran di TK/RA dan SD/MI adalah bagaimana guru menyusun dan mengembangkan bahan ajar, menyediakan sarana dan prasarana yang menunjang kegiatan pembelajaran serta bagaimana merancang kegiatan pembelajaran sesuai dengan karakteristik siswa baik di TK maupun di SD.Dalam menyajikan materi pembelajaran, guru hendaknya memulai dari yang benda-benda yang konkrit, semi konkrit dan abstrak. Materi pun hendaknya memperhatikan tingkatan kesulitan, sehingga pembelajaran dimulai dari hal-hal yang mudah dipahami bagi anak barulah menuju ke tahap yang lebih kompleks. Sekuens materi pembelajaran juga patut diperhatikan. Materi pembelajaran dimulai dari hal-hal yang sifatnya dekat dengan lingkungan anak, ditemukan dalam kehidupan sehari-hari (kontekstual) dan bermakna bagi kehidupannya.

Akhir-akhir ini, dikenal ada pendekatan pembelajaran kontemporer yang sedang trend digunakan di Sekolah Dasar. Diantaranya adalah pendekatan Experiential Learning, dan Multiple Intelligence yang masing-masing membawa angin segar bagi inovasi pembelajaran. Kendati telah teruji secara empirik, pendekatan pembelajaran tersebut dalam penerapannya pada konteks pembelajaran Sekolah Dasar di Indonesia perlu pengkajian kreasi dari para guru. Artinya, akan lebih baik jika keunggulan dari masing-masing pendekatan itu bukan diterapkan secara lugas melainkan dikreasi kembali sehingga muncul pendekatan pembelajaran yang sesuai dengan konteks Indonesia.