Upacara Mandi Syafar (Islam dan Tamaddun Melayu)

Judul : Upacara Mandi Syafar Dalam Masyarakat Melayu Di Desa Teluk Lecah Kecamatan Rupat Kab. Bengkalis
Mata Kuliah : Islam dan Tamaddun Melayu


BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Umumnya perkembangan agama Islam di Indonesia bercampur dengan unsur-unsur kepercayaan lama (Hindu dan Budha) dan adat istiadat masyarakat setempat tidak semuanya hilang dari masyarakat, hal ini akan terlihat dari berbagai bentuk upacara dalam masyarakat tersebut, seperti pada masyarakat Jawa ditemui upacara Grebeb yang jatuh pada hari besar Islam.(1) Selanjutnya Geertz juga mengatakan bahwa tradisi religius Jawa, khususnya dari kaum petani merupakan sebuah campuran unsur-unsur India, Islam dan unsur-unsur pribumi Asia Tenggara. Hasilnya adalah sebuah sinkriteisme yang selaras dengan mitos-mitos dan ritus yang didalamya Dewa-Dewi Hindu, nabi-nabi muslim dan para Santo, dan roh-roh makhluk halus setempat semuanya mendapat tempat yang layak.

Bentuk-bentuk ritual inti dalam sinkritisme ini adalah sebuah perayaan bersama yang disebut �selametan�(2), di Bengkalis akibat adanya proses harmonisasi antara adat, unsur-unsur kepercayaan lama (Hindu dan Budha) dengan Islam, maka banyak pula ditemui kegiatan Islam yang dipengaruhi oleh adat Istiadat dan begitu juga sebaliknya. Salah satu kegiatan keagamaan Islam yang aktifitas-aktifitas masyarakatnya diasumsikan telah dipengaruhi oleh sebagian unsur-unsur lama diantaranya adalah mandi syafar di desa Teluk Lecah yang lebih dikenal dengan istilah upacara bersafar. Berdasarkan aktifitas-aktifitas dalam upacara ini merupakan fokus dari penelitian ini.

Pelaksanaan mandi syafar dilakukan pada dua tempat di pulau Rupat, yaitu di Tanjung Medang (acara besarnya) dan di Teluk Lecah (acara kampungnya). Mandi syafar di Tanjung Medang diikuti oleh para petinggi di daerah wilayah Riau ini seperti mengundang Gubernur dan wakil gubernur serta Bupati dan wakilnya sehingga mandi syafar ini lebih semarak dan meriah sekali. Sedangkan di Teluk Lecah hanya diikuti oleh para tokoh dan para ulama serta perangkat desa setempat dan sebahagian para perantau yang sengaja pulang kekampungnya untuk mengikuti upacara ini. Para perantau sendiri datang dari berbagai daerah seperti Malaysia, Jambi, Medan dan daerah Pulau Jawa.

Bersyafar dilaksanakan pada bulan syafar yaitu pada hari Rabu minggu terakhir di bulan syafar yang diadakan sekali dalam setahun. Dalam pelaksanaan upacara mandi syafar ini ditemui serangkaian aktifitas diantaranya terdapat aktifitas yang berupa ibadah dalam agama Islam seperti: berzikir (sebelum berzikir diadakan kenduri terlebih dahulu), kemudian Azan dan membaca surat yasin.

Seluruh rangkaian aktifitas-aktifitas dan benda-benda apa saja yang dipakai dalam ritual upacara ini tentunya mempunyai makna tersendiri bagi para pengikut yang melakukan mandi syafar tersebut. Apakah ritual ini masih lestari sampai sekarang? Untuk itulah penelitian ini dilakukan guna menjawab berbagai pertanyaan yang muncul dalam fikiran.

2. Rumusan Masalah
Selanjutnya akan dibahas dalam makalah ini adalah mengenai upacara ritual mandi syafar di Teluk Lecah Pulau Rupat.

3. Tujuan Makalah
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mandiri mata kuliah Islam dan Tamaddun Melayu, selian itu bertujuan untuk menambah khazanah ilmu pengetahuan tentang Budaya Melayu yang berkaitan dengan Islam.


BAB II
PEMBAHASAN

1. Sejarah Upacara Mandi Syafar
Bersafar merupakan salah satu bentuk dari banyak upacara keagamaan yang ada di dunia ini. Berbicara masalah keagamaan sangatlah penting artinya bagi ahli antropologi, karena banyak diantara mereka yang menganalisa agama berasal pertama kali dari upacara tersebut. Hal ini disebabkan karena upacara agama tersebut merupakan aktivitas yang ada di didunia ini cukup banyak ditemui dan hampir pada setiap suku bangsa. Kemudian lagi upacara itu merupakan suatu yang nyata-nyata ada atau suatu yang tampak keadaannya.

Sudah banyak ahli-ahli yang telah memusatkan kajiannya terhadap upacara tersebut yang memerlukan pengkajian yang lebih mendalam lagi. Seperti yang dikatakan oleh Robertson Smith, bahwa disamping sistem keyakinan, sistem upacara juga suatu perwujudan dari agama yang memerlukan studi dan analisa khusus.(3) Kemudian dilanjutkan lagi oleh Van Gennep, yang mengatakan bahwa walaupun berpuluh-puluh upacara yang ada mempunyai bentuk yang nampaknya sangat berbeda satu dengan yang lainnya, hal ini perlu analisa yang mendalam akan mewujudkan adanya persamaan dalam bentuk yang sangat aneka warna.(4)

Upacara-upacara keagamaan itu penting sekali peranannya bagi manusia untuk mencapai tujuan hidupnya. Seperti yang dikatakan Freusz bahwa pusat dari tiap-tiap sistem kepercayaan yang ada di dunia ini adalah upacara, dan melalui kekuatan yang dianggapnya berperan dalam tindakan-tindakan seperti itu manusia mengira dapat memenuhi dan dapat mencapai tujuan hidupnya baik materil maupun spirituil. Dari anggapan Freusz nampaklah jelas bahwa upacara agama berperan penting dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia serta berperan pula dalam mencapai tujuan hidup manusia itu.

Sistem upacara merupakan wujud kelakuan (Behavioral manifestation) dari religi. Seluruh sistem upacara itu terdiri dari aneka macam upacara yang bersifat harian, musiman, atau kadangkala. Upacara itu masing-masing terdiri dari kombinasi dari berbagai macam unsur upacara, seperti bersaji (sesajen), berdoa, bersujud, berkorban, makan bersama, menari dan menyanyi, berprosesi, bersandiwara suci, berpuasa, intoxikasi, bertapa, bersemedi.(5)

Menurut Parsudi Suparlan, agama itu sendiri merupakan sistem keyakinan yang dipunyai secara individual yang melibatkan emosi-emosi dan pemikiran-pemikiran yang sifatnya pribadi dan diwujudkan dalam tindakan-tindakan keagamaan (upacara, ibadat dan amal ibadah) yang sifatnya individual ataupun kelompok dan melibatkan sebagian atau seluruh masyarakat, agama merupakan seperangkat aturan yang mengatur hubungan manusia dengan lingkungan dan Tuhannya. Aturan-aturan ini lebih menekankan pada hal-hal yang normatif atau seharusnya untuk dilakukan.(6)

Oleh Koentjaraningrat suatu agama merupakan suatu sistem religi bagi penganutnya. Setiap religi mempunyai suatu sistem yang terdiri dari empat komponen, yaitu:
1. Emosi keagamaan yang menyebabkan manusia itu bersikap religius.
2. Sistem keyakinan yang mengandung segala keyakinan serta bayangan manusia tentang sifat-sifat Tuhan, tentang wujud dari alam gaib (supernatural): serta segala nilai, norma dan ajaran dari religi yang bersangkutan.
3. Sistem ritus dan upacara yang merupakan usaha manusia untuk mencari hubungan dengan Tuhan, dewa-dewa atau makhluk-makhluk halus yang mendiami alam gaib.
4. Umat atau kesatuan sosial yang menganut sistem keyakinan tersebut dalam sub 2, dan yang melaksanakan sistem ritus dan upacara tersebut dalam sub 3.(7)

Dalam keadaan pengaruh ajaran-ajaran agama itu sangat kuat terhadap nilai-nilai yang ada dalam kebudayaan masyarakat yang bersangkutan, maka sistem-sistem nilai dari kebudayaan tersebut terwujud dengan simbol-simbol suci yang maknanya bersumber pada ajaran-ajaran agama yang menjadi kerangka acuannya. Dalam keadaan demikian maka secara langsung etos menjadi pedoman dari eksistensi dan kegiatan berbagai pranata yang ada dalam masyarakat (keluarga, ekonomi, pendidikan dan sebagainya) dipengaruhi, digerakkan dan diarahkan oleh berbagai sistem nilai yang sumbernya adalah agama yang dianutnya, dan terwujud dalam kegiatan-kegiatan para warga masyarakat sebagai tindakan-tindakan dan karya-karya yang diselimuti oleh simbol-simbol suci (Parsudi Suparlan dalam Robertson). Sedangkan simbol yang dimaksudkan disini adalah yang dikatakan Geertz sebagai setiap subjek, gerakan atau kejadian yang melayani sebagai kendaraan bagi ide-ide atau makna.

Hal ini dapat dilihat dalam sistem nilai yang diwujudkan dalam kehidupan masyarakat melayu, seperti adat bersendikan syarak, syarak bersendikan kitabbullah ini berati adat melayu yang dipakai oleh masyarakat melayu tidak lepas dari nilai-nilai agama Islam.

Jadi agama sebagai sistem keyakinan, yang ajaran-ajaran dalam agama tersebut sangat erat pengaruhnya terhadap sistem nilai yang ada dalam masyarakat yang berangkutan. Sedangkan kebudayaan disini merupakan prilaku berpola yang ada dalam kelompok tertentu yang anggota-anggotanya memiliki makna yang sama serta simbol yang sama untuk mengkomunikasikan makna tersebut. Lebih konkrit lagi, makna-makna yang dimiliki secara bersama (yang diperkuat defenisi realitas) terpatri dalam sistem simbol budaya seperti bahasa, pakaian dan seni. Makna-makna yang dimiliki secara bersama ini secara fungsional terwujud melalui pranata-pranata (struktur) politik, ekonomi, agama dan sosial. Prilaku berpola tersebut, atau kebiasaan merupakan penghubung antara struktur dan fungsi kebudayaan sebagaimana dikomunikasikan secara simbolis.(8)

Salah satu pranata yang dihubungkan dengan penelitian ini adalah pranata agama, dalam hal ini adalah upacara bersafar. Dalam setiap upacara bersafar, dilakukan berbagai aktifitas yang sifatnya terpola seperti yang telah diungkapkan diatas.

Aktifitas dalam upacara bersafar yang diasumsikan telah dipengaruhi oleh unsur-unsur adat dan kepercayaan lama (Hindu dan Budha) tersebut, tentulah mempunyai makna tertentu bagi masyarakat. Tingkah laku manusia yang diekspresikan secara eksplisit sesungguhnya merupakan realitas yang sifatnya maknawi dan berada dalam diri manusia itu sendiri. Suatu benda, waktu, tempat kejadian atau peristiwa tidaklah memiliki makna dalam dirinya, melainkan diberi makna oleh manusia yang mempersepsikannya.(9) Disamping itu makna yang diberikan tersebut telah dimiliki secara bersama, terutama oleh masyarakat setempat yang mendukung berbagai aktivitas dalam bersafar. Secara konseptual, makna yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah:
1. sesuatu yang dimaksudkan atau yang diharapkan, dan
2. sesuatu yang berarti atau yang menunjukkan istilah atau simbol tertentu.

Upacara mandi syafar ini dilakukan mulai pada hari rabu pagi sampai malam, aktifitas-aktifitasnya dimulai pagi hari sampai sore. Pada awalnya pelaksanaan mandi syafar ini hanya ditangani oleh para pemuka-pemuka agama dan pemuka adat serta masyarakat pulau Rupat di desa Teluk Lecah dan Tanjung Medang. Namun sekarang pelaksanaan sudah diambil alih oleh pemerintah daerah kabupaten Bengkalis dengan membentuk panitia mandi syafar yang mengkoordinir pelaksanaan mandi syafar ini. Panitia tersebut diangkat dan diganti setiap tahun sewaktu upacara akan dimulai dengan Bupati Bengkalis sebagai pelindung.

Dengan diambil alihnya panitia syafar oleh pemda Bengkalis terutama untuk yang di Tanjung Medang maka diharapkan dapat meningkatkan dan memantapkan pelaksanaan mandi syafar terutama dalam hal ketertiban, keamanan dan kelancaran upacara mandi syafar.

Syafar pengertiannya adalah �sepaham� yang berasal dari kata safatiah.(10) Sepaham yang dimaksudkan disini adalah seguru atau seperguruan dan sepengajian. Seguru dalam safatiah ini menyangkut kelompok besar orang atau masyarakat Melayu yang menerima ajaran Islam atau pengikut dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhammad.

Dari pengertian syafar ini intinya merupakan mandi syafar yang dilakukan oleh masyarakat secara berkelompok dan serentak pada bulan syafar setiap tahun. Selain itu masyarakat mengadakan mandi syafar ini memiki tujuan-tujuan tertentu yang tidak terlepas dari kegiatan berkumpul dan berdiskusi tentang agama Islam dan meneruskan tradisi yang telah telah lama ada. Berdiskusi dan bertukar pikiran tentang ajaran agama Islam (dakwah), dan perkembangannya. Mereka merasa bahwa dalam dakwah yang dilakukan di daerahnya masing-masing tentunya mempunyai kelebihan dan kekurangan, oleh karena itu dalam berdiskusi ini para guru agama dan ulama mencari metoda alternatif yang lebih baik untuk menyampaikan dakwah agama Islam di dearahnya masing-masing. Hal lain yang dibicarakan dalam diskusi ini mengenai pelaksanaan upacara mandi syafar sendiri, seperti menentukan kapan jatuhnya waktu safar pada tahun yang akan datang agar tidak terjadi kekeliruan, bagaimana agar pelaksanaan mandi syafar tersebut berjalan dan berlangsung dengan tertib dan lancar serta bagaimana agar ibadah yang dilakukan dalam pelaksanaan mandi syafar tersebut tidak menyimpang dari ajaran yang dibawa oleh Nabi Muhamad S.A.W.

Menurut sejarahnya mandi syafar yang dilakukan masyarakat desa Teluk Lecah di pinggir laut atau di tepi pantai telah dilaksanakan sejak tahun 1918 pada bulan syafar. Pada tahun 1918 terjadi suatu bencana yang menimpa perkampungan berupa penyakit seperti muntah berak (muntaber),demam menggigil, gangguan binatang buas, panen yang tidak menjadi (berhasil) dan banyak terjadinya pertumpahan darah (luka) dalam menjalankan pekerjaan sehari-hari serta mala petaka lainnya.Masyarakat beranggapan bahwa muntaber dan demam menggigil itu dalah penyakit to�un ( wabah ).

Dengan adanya bala yang menimpa masyarakat Teluk Lecah maka dibuatlah suatu upacara yaitu mandi syafar yang dilakukan oleh masyarakat Melayu setempat yang dipimpin oleh seorang Imam yang bernama Imam Sapo yaitu penghulu pertama di desa Teluk Lecah. Upacara tersebut bagi masyarakat setempat mempunyi makna yang tinggi dalam kaitannya dengan upaya menjaga kestabilan dan ketenangan bagi masyarakat. Upacara ini sampai sekarang masih dilaksanakan dan dilestarikan sebagai salah satu tradisi masyarakat Melayu setempat, karena menurut kepercayaan masyarakat apabila acara ini tidak dilaksanakan lagi maka kampung mereka akan kembali ditimpa wabah.

Mandi syafar ini dilakukan oleh masyarakat desa Teluk Lecah di pinggir laut atau di tepi pantai yang dilaksanakan setiap tahun. Kegiatan ini mulai dilakukan pada hari Selasa dan Rabu terakhir di bulan syafar. Hari Rabu ini disebut Rabu capuk atau penyakit.

2. Proses Mandi Syafar
Sebelum melaksanakan mandi syafar pada hari Rabu masyarakat desa Teluk Lecah melakukan prosesi sebagai berikut:
1. Kenduri
Kenduri ini diadakan dijembatan oleh masyarakat desa Teluk Lecah secara bersama-sama. Jembatan yang dipilih adalah jembatan yang menghubungkan antara desa satu dengan desa lainnya. Jembatan ini juga bisa langsung menuju ke laut agar lebih mudah melakukan ritual mandi syafar. Dibawah jembatan diletakkan wafak atau ayat-ayat yang telah ditulis di kertas putih.
2. Zikir
Setelah mengadakan kenduri, diadakan zikir bersama di jembatan dan dibaca di sepanjang jalan yang dilalui menuju laut untuk melaksanakan mandi syafar. Zikir ini bertujuan untuk menghalau bala yang akan menimpa kampung atau desa Teluk Lecah dan minta selalu perlindungan dari Allah S.W.T.
3. Azan
Dalam perjalanan menuju laut tokoh masyarakat dan masyarakat tetap berzikir. Ketika menemukan jembatan lagi maka salah seorang yang sudah ditunjuk mengumandangkan Azan, tujuannya adalah untuk meminta seruan Allah supaya kampung bebas dari segala musibah. Rangkaian kegiatan ini dilakukan pada hari Selasa.
4. Pembacaan surat Yasin
Pada malam Rabunya setelah selesai shalat Maghrib dilakukan wirid atau pembacaan surat Yasin secara bersama-sama sebanyak 3 kali berturut-turut. Pembacaan Yasin ini dipimpin oleh bapak Imam Mesjid dengan makna yang pertama: minta jauhkan dari bala bencana, kedua: minta tetapkan keimanan dan yang ketiga murahkan rezeki masyarakat kampung ini.

Pada hari rabu paginya diadakan pawai keliling desa dengan rombongan kompang dan berjalan menuju jembatan yang sudah diletakan wafak (hari Selasa) dan terus menuju laut. Setelah sampai di pinggir laut diletakan wafak lagi pada sebuah kayu yang telah disediakan terlebih dahulu. Rangkaian acara dimulai dengan berkumpulnya seluruh peserta sambil berdiri teratur mengelilingi wafak dan diadakan tepuk tepung tawar pada wafak oleh pemuka-pemuka masyrakat dengan tujuan menjauhkan keseluruhan mara bahaya yang telah dan akan menimpa kampung mereka. Upacara dilanjutkan dengan pembacaan doa tolak bala yang dipimpin oleh imam/kadi serta diikuti oleh seluruh masyarakat yang hadir. Setelah upacara yang dianggap ritual selesai barulah dilakukan mandi bersama-sama untuk membersihkan diri. Setelah upacara mandi syafar selesai diadakanlah acara hiburan dengan menyajikan tarian-tarian Melayu dan lagu-lagu Melayu sambil bersantap bersama. Keletihan hilang dan perasaan lega tergambar dari wajah mereka karena telah sempurna menyatukan diri dalam kegiatan ritual. Malam harinya diadakan acara organ tunggal yang umumnya diadakan oleh para muda-mudi.

3. Makna Mandi Syafar
Mandi syafar yang dilakukan oleh masyarakat desa Teluk Lecah merupakan acara ritual yang mempunyai makna untuk pemeliharaan kampung serta membuang segala penyakit dan bala bencana pada masyarakat desa Teluk Lecah. Menurut sebahagian pendapat ulama acara ini termasuk Bid�ah Hasanah artinya baik untuk menghindari bala. Mandi syafar tidak ada perintah atau paksaan hanya terdapat dalam buku Mujaobat yang tertulis di dalamnya adalah huruf arab/rajah. Disamping huruf rajah ada terdapat dalam Al-qur�an yaitu dalam Alsfat.

Dalam konteks ini yang dilakukan masyarakat Teluk Lecah dianggap sebagai budaya yang ritual. Adat dan kebudayaan ini lebih dekat kepada pertimbangan nilai-nilai agama Islam.Adat Melayu telah mengadopsi seluruh nilai-nilai Islam �orang Melayu identik dengan orang muslim� baik dalam berfikir, berprilaku dan bertindak.(11)

4. Alat-alat yang Digunakan Mandi Syafar
Tepuk Tepung Tawar
Tepung tawar adalah suatu upacara adat budaya di negeri Melayu Riau yang hidup dan berkembang dalam masyarakat sejak masa Raja-raja dahulu hingga saat ini. Tepung tawar artinya untuk menghapuskan atau membuang segala penyakit. Sumber lain menyebutkan tepung tawar dilakukan sebagai perlambang mencurahkan rasa kegembiraan dan sebagai rasa syukur atas keberhasikan, hajat, acara atau niat yang akan ataupun yang telah dapat dilaksanakan baik terhadap benda yang bergerak (manusia) maupun benda mati yang tidak bergerak. Pada dasarnya peralatan atau kelengkapan alat tepung tawar terdiri dari 3 bagian yaitu :

Pertama : bahan kelengkapan penepuk (alat perenjis) yang terdiri dari kumpulan beberapa helai daun tumbuh-tumbuhan yaitu:
a. Daun Sepulih/setawar (Tumbuh-tumbuhan berdaun tebal bercabang)
Melambangkan sebagai penawar (obat) segala yang berbisa, bisa laut dan bisa bumi dan membuang segala yang jahat. Daun ini juga mempunyai makna memulihkan sesuatu yang rusak atau yang sakit maka daun inilah yang memulihkan.
b. Daun Jenjuang/kelinjuang (Tumbuhan berdaun panjang lebar berwarna merah)
Melambangkan penolak bala dan menjauhkan dari hantu, setan serta iblis yang menggangu masyarakat serta pembangkit semangat juang yang tinggi
c. Daun ganda rusa (Tumbuhan berdaun tipis berbentuk lonjong)
Maknanya berjuang untuk menahan sesuatu penyakit yang akan datang masuk ke daerah ini.Daun ini juga merupakan daun penangkal musuh dari luar, penangkal dari dalam, penangkal sihir dan serapah, penangkal segala kejahatan yang dibawa setan lalu.
d. Daun Kenduduk. Maknanya segala penyakit yang datang didudukan atau ditaklukkan dan dilumpuhkan.
e. Daun ibu/ribu-ribu (Tumbuhan melata berdaun kecil bercanggah). Fungsinya sebagai pengikat diantara daun-daun tersebut, maknanya untuk mengikat segala penyakit yang datang dan penguat kesatuan dan kebersamaan serta penguat semangat.

Kedua : kelengkapan perenjis
a. Bedak beras (bedak dingin).Dibuat dari tepung beras yang diadun bersama dengan larutan wewangian alami dari tumbuh-tumbuhan yang mempunyai makna sebagai pendingin dan peneduh kalbu
b. Limau purut yang diiris tipis, yang mempunyai makna sebagai pemberi kekuatan dan kesabaran.
c. Air putih jernih, yang melambangkan kejernihan serta kesucian hati. Ketiga peralatan ini diaduk menjadi satu dalam satu wadah dan direnjis dengan menggunakan gabungan alat penepuk yang terdiri dari dedaunan tersebut.
d. Air pecung/air mawar, yang terbuat dari aneka daun-daunan yang beraroma wangi seperti pandan, serai wangi, jeruk purut yang direbus dan airnya dijadikan air pecung

Ketiga : kelengkapan penabur
a. Beras basuh/beras putih, yang melambangkan pembasuh diri dari yang kotor.
b. Beras kunyit/beras kuning sebagai perlambang keagungan.
c. Beras bertih, perlambang rezki tumbuh dari bumi, rezeki datang dari langit.
d. Bunga rampai, melambangkan wanginya persahabatan, manisnya persaudaraan, harumnya keakraban
Tempat/wadah tepung tawar disebut ampar artinya bumi.


BAB III
PEMBAHASAN

1. Kesimpulan
Upacara mandi syafar merupakan tradisi yang dilakukan masyarakat desa Teluk Lecah setiap tahun dan mempunyai nilai-nilai yang masih dilestarikan dari dulu sampai sekarang. Upacara ini dilaksanakan pada hari selasa dan rabu terakhir di bulan syafar. Tujuan diadakan tradisi ini karena beberapa sebab seperti adanya serangan wabah penyakit yang dianggap bala yang menimpa kampung, sehingga perlu adanya pemeliharaan kampung. Disamping itu upacara tersebut mempunyai makna yang tinggi dalam kaitannya menjaga kestabilan dan ketenangan masyrakat.Dalam melaksanakan tujuan ini timbul berbagai macam aktivitas-aktivitas seperti aktivitas yang berupa keagamaan dan ada juga yang tidak merupakan aktivitas keagamaan yang muncul dari kepercayan masyarakat pendukungnya, ini disebabkan karena adanya makna yang ideal normatif dan diferensiasi atau keberagaman makna dari berbagai aktifitas tersebut.

2. Saran
Diharapkan kepada pihak pemerintah setempat untuk melestarikan budaya ini, dan berkonsultasi dengan pemuka masyarakat setempat untuk lebih meningkatkan kebudayaan Melayu yang tidak bertentangan dengan Islam.


FOOT NOTE

1. Sjamsudduha, 1987, Penyebaran dan Perkembangan Agama Islam-Khatolik Protestan di Indonesia, Jakarta: Usaha Nasional, Hal. 36-37
2. Clifford Geertz, 1992. Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius, hlm, 76
3. Koentjaraningrat,1987, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: PT Dian Rakyat, hlm: 69
4. Ibid
5. Ibid. Hal. 146.
6. Roland Robertson, 1988, Agama dalam Analisa dan Interpretasi Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers
7. opcit, Konetjaraningrat, hlm 145
8. Colletta, Nat J. dan Umar Kayam, 1987, Kebudayaan dan Pembangunan sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, Jakarta
9. Sanapiah Faisal, 1990, Penelitian Kualitatif, Dasar-Dasar dan Aplikasi. YA3 Malang
10. H. NCk, 1990, Tata Cara Ziarah, Jakarta: Firdaus, hlm.3
11. Mahdini, 2002, Islam dan Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: Daulat Riau, hlm. 133


DAFTAR PUSTAKA

Clifford Geertz, 1992. Kebudayaan dan Agama, Yogyakarta: Kanisius.
Colletta, Nat. J & Umar Kayam, 1987, Kebudayaan dan Pembangunan Sebuah Pendekatan Terhadap Antropologi Terapan di Indonesia, Jakarta : Sanapiah
H. NCk, 1990, Tata Cara Ziarah, Jakarta: Firdaus.
Koentjaraningrat, 1987, Sejarah Teori Antropologi, Jakarta: PT Dian Rakyat.
Koentraningrat, 1974, Kebudayaan dan Mentalitas Pembangunan, Jakarta:Gramedia.
Mahdini, 2002, Islam dan Kebudayaan Melayu, Pekanbaru: Daulat Riau.
Parsudi Suparlan, 1985, Pengantar Metode Penelitian kualitatif, Artikel.
Roland Robertson, 1988, Agama Dalam Analisa dan Interprestasi Sosiologis, Jakarta: Rajawali Pers.
Sjamsudduha, 1987, Penyebaran dan Perkembangan Agama Islam-Khatolik Protestan di Indonesia, Jakarta: Usaha Nasional.