Dalam pelaksanaan pendidikan terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi perilaku siswa yang harus dicermati oleh setiap pendidik, baik orang tua di rumah ataupun guru di sekolah. Di antara faktor-faktor yang mempengaruhi perilaku siswa tersebut adalah :
1. Pengawasan
Bila tingkat kesopanan siswa dapat dinyatakan rata-rata menurun, maka sesungguhnya yang pertama-tama harus dilihat adalah bagaimana orang tua melakukan kontak keseharian atau komunikasi dengan putra-putrinya. Kontak keseharian tersebut meliputi tiga aspek penting dalam komunikasi, sebagai berikut:
a. Frekuensi komunikasi. Diyakini bahwa semakin tinggi frekuensi komunikasi antara anak dengan orang tua, semakin besar pengaruh positif-nya kepada anak-anak. Tetapi frekuensi saja tidak cukup untuk menyatakan bahwa komunikasi tersebut berlangsung secara efektif, karena efektivitas komunikasi masih ditentukan oleh intensitas dan kualitas komunikasi yang tercipta. Sementara itu, diperkirakan rata-rata jumlah jam per hari yang dipakai orang tua untuk bekerja saat ini semakin panjang. Secara normatif, seorang pegawai negeri bekerja di kantor antara jam 07.00 sampai pukul 14.00. Tidak jarang, mereka berkerja jauh lebih panjang lagi karena tuntutan jenis pekerjaan yang ditangani, karena tuntutan tanggung jawab pada jabatannya atau karena mencari penghasilan tambahan, dan sebagai-nya. Di kota-kota besar seperti Jakarta, tidak jarang orang tua yang bekerja baru pulang dan sampai ke rumahnya setelah pukul 18.00. Indikasi ke arah itu dapat dicermati di halte-halte bus atau di stasiun kereta api yang, pada jam-jam tersebut, cukup banyak orang yang antre kendaraan umum.
Dalam kondisi seperti itu, jelas frekuensi pertemuan orang tua dengan anak hanya berlangsung pada malam dan pagi hari. Selebihnya, ke mana saja anak-anak itu pergi pada siang hari selepas jam belajar di sekolahnya, para orang tua ini tidak banyak tahu. Kalaupun ada yang membantu melakukan pengawasan di rumah, bisa jadi itu adalah pembantunya. Pada malam hari pun belum tentu terjadi komunikasi. Lebih-lebih pada pagi hari. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah atau ke kantornya masing-masing. Maka problem kesantunan, kesopanan, moral, dan akhlak anak lebih banyak terjadi di daerah perkotaan yang tingkat komunikasi orang tua dengan anak-anaknya relatif lebih sedikit.
b. Tingkat intensitas komunikasi. Bertemu tatap muka bisa jadi memang jarang berlangsung di kota-kota besar yang kedua orang tuanya bekerja seharian. Tetapi masalah itu masih dapat diatasi apabila pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan komunikasi kemudian berlangsung dalam tingkat intensitas yang tinggi. Sambung rasa orang tua dengan anak berlangsung mesra, terbuka, bertimbal balik, dan ceria. Pesan-pesan komunikasi akan ditangkap dengan mudah oleh penerima komunikasi dipastikan menghasilkan kesan-kesan positif terhadap pesan yang disampaikan. Pada intensitas semacam itulah sesungguhnya kita banyak berharap pesan-pesan moral dan budi pekerti banyak ditanamkan orang tua.
c. Kualitas pesan yang dikomunikasikan. Frekuensi dan intensitas komunikasi belum tentu juga menghasilkan pesan yang efektif dapat diterima oleh anak. Ada satu bagian lagi yang dipersyaratkan, yaitu kualitas pesan yang dikomunikasikan. Apakah pesan-pesan tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaan anak ? apakah isi pesan tersebut sesuatu yang mendidik positif kepada anak atau bahkan yang mendorong ke perbuatan-perbuatan negatif ? Umpamanya saja, jika ada orang tua yang berpesan kepada putrinya : "Nak, kalau nanti kamu kesulitan kendaraan umum ketika pulang sekolah, hentikan saja kendaraan Om-Om yang lewat, mereka pasti mau mengantarkan kamu". Maka orang tua itu telah memberikan pesan yang benar, tapi sama sekali tidak mendidik.
2. Sosok Teladan
Yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat pada upaya peningkatan moral dan budi pekerti anak-anak kita. Pada awal masa pertumbuhan anak, peran keluarga begitu dominan. Pada tahap berikutnya, sekolah ikut menyumbang pertumbuhan kejiwaan anak. Dan ketika memasuki masa remaja, dunia mereka jauh lebih luas lagi. Ia menjadi bagian dari kumunitas lingkungannya. Pada tahap inilah peran masyarakat mulai mewarnai penampilan moral dan budi pekerti anak. Kunci keikutsertaan masyarakat terletak pada keteladanan yang secara keseharian digaulinya.
Di samping keteladanan masyarakat, kontrol sosial juga sangat berperan. Di daerah perkotaan, kontrol sosial sedemikian sudah sangat longgar, sehingga pengaruh film atau lainnya akan dengan sangat mudah terlihat. Kontrol sosial juga semakin longgar di daerah pedesaan. Kehidupan bangsa ini semakin mengedepankan individualitas dengan tingkat intensitas yang semakin tinggi. Akibatnya, semakin kentara saat ini. Bila peredaran narkoba dulu hanya di sekitar perkotaan, saat ini sudah banyak merambah kota-kota kecil di pedalaman.
Pengaruh masyarakat bukan hanya dari perilaku individual dan komunal, tetapi juga dari berbagai alat budaya dan alat komunikasi yang berinteraksi di dalam masyarakat. Pengaruhnya diyakini luar biasa, baik yang positif maupun yang negatif. Dan pada era keterbukaan informasi seperti saat ini, kehadirannya tak terhindarkan. Tinggal sejauh mana kita membekali anak-anak dengan tameng iman dan kemampuan menyensor informasi yang mereka terima.
3. Penanaman Bukan Pengajaran
Pendidikan budi pekerti anak-anak didik, baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat, bukanlah dengan mengajarkan mereka dengan ayat, dalil, atau apa pun namanya. Menurut Barlow sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (role-modeling). Selanjutnya, menurut teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons dan peniruan. Dan pembiasaan merespons tersebut melalui pemberian penghargaan dan hukuman.
Khusus di sekolah, pelaksanaan pendidikan budi pekerti dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan pengintegrasian serta pendekatan role-modeling dan imitasi. Pendekatan integratif ke dalam mata pelajaran yang memiliki pokok bahasan yang sesuai dengan dapat dilakukan melalui penambahan materi pada mata pelajaran yang dititipi dan atau melalui metode mengajar yang akan digunakan guru. Hanya saja, dalam pendekatan ini guru akan merasa mendapatkan tambahan beban. Sedangkan pendekatan kedua menekankan pada aspek keteladanan para guru. Semua guru di sekolah hendaknya menyadari bahwa dirinya bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik bagi siswanya. Para guru memiliki kewajiban moral yang melekat dengan profesi kependidikannya untuk memberikan keteladanan. Dengan begitu, para siswa tidak hanya mengenali budi pekerti seperti yang tercetak di dalam buku-buku pelajaran, tetapi mereka melihat langsung pada contoh yang terjadi di sekitarnya, yaitu dari kalangan para guru mereka.
Pilihan pada pendekatan pertama, berarti guru melaksanakan pendidikan budi pekerti melalui fungsi guru sebagai pengajar, sementara jika guru melaksanakan pendidikan budi pekerti melalui role-modeling, imitasi atau keteladanan, berarti guru melaksanakan pendidikan budi pekerti itu melalui fungsi guru sebagai pendidik.
Pola pendidikan budi pekerti yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sesuai tersebut lebih menjadi pilihan karena beberapa alasan, yaitu :
a. Budi pekerti merupakan perilaku bukan pengetahuan.
b. Beban kurikulum di SD, SLTP, SMU, dan SMK sudah sangat berat.
c. Pendidikan budi pekerti bukan tanggung jawab satu-dua guru pembina mata pelajaran saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
d. Sudah ada beberapa mata pelajaran yang dapat mengakomodasikan pemberian pendidikan budi pekerti tersebut.
Jadi dilihat dari sisi lingkungan belajarnya, yang utama dan terutama adalah dengan memberikan keteladanan yang terbaik, dengan perbuatan, perilaku orang tua, guru dan masyarakat. Anak-anak akan menirunya, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan untuk lebih memberikan penghayatan melalui tindakan, diskusi, pemahaman, dan penyadaran.
Inilah beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan budi pekerti, yang secara garis besar merupakan upaya penanaman bukan pengajaran. Hal tersebut akan menjadikan pendidikan budi pekerti berhasil guna, terlebih jika masalah budi pekerti yang selama ini dikeluhkan ditanggulangi melalui gerakan terpadu orang tua, guru, dan masyarakat.
1. Pengawasan
Bila tingkat kesopanan siswa dapat dinyatakan rata-rata menurun, maka sesungguhnya yang pertama-tama harus dilihat adalah bagaimana orang tua melakukan kontak keseharian atau komunikasi dengan putra-putrinya. Kontak keseharian tersebut meliputi tiga aspek penting dalam komunikasi, sebagai berikut:
a. Frekuensi komunikasi. Diyakini bahwa semakin tinggi frekuensi komunikasi antara anak dengan orang tua, semakin besar pengaruh positif-nya kepada anak-anak. Tetapi frekuensi saja tidak cukup untuk menyatakan bahwa komunikasi tersebut berlangsung secara efektif, karena efektivitas komunikasi masih ditentukan oleh intensitas dan kualitas komunikasi yang tercipta. Sementara itu, diperkirakan rata-rata jumlah jam per hari yang dipakai orang tua untuk bekerja saat ini semakin panjang. Secara normatif, seorang pegawai negeri bekerja di kantor antara jam 07.00 sampai pukul 14.00. Tidak jarang, mereka berkerja jauh lebih panjang lagi karena tuntutan jenis pekerjaan yang ditangani, karena tuntutan tanggung jawab pada jabatannya atau karena mencari penghasilan tambahan, dan sebagai-nya. Di kota-kota besar seperti Jakarta, tidak jarang orang tua yang bekerja baru pulang dan sampai ke rumahnya setelah pukul 18.00. Indikasi ke arah itu dapat dicermati di halte-halte bus atau di stasiun kereta api yang, pada jam-jam tersebut, cukup banyak orang yang antre kendaraan umum.
Dalam kondisi seperti itu, jelas frekuensi pertemuan orang tua dengan anak hanya berlangsung pada malam dan pagi hari. Selebihnya, ke mana saja anak-anak itu pergi pada siang hari selepas jam belajar di sekolahnya, para orang tua ini tidak banyak tahu. Kalaupun ada yang membantu melakukan pengawasan di rumah, bisa jadi itu adalah pembantunya. Pada malam hari pun belum tentu terjadi komunikasi. Lebih-lebih pada pagi hari. Semua sibuk mempersiapkan diri untuk berangkat ke sekolah atau ke kantornya masing-masing. Maka problem kesantunan, kesopanan, moral, dan akhlak anak lebih banyak terjadi di daerah perkotaan yang tingkat komunikasi orang tua dengan anak-anaknya relatif lebih sedikit.
b. Tingkat intensitas komunikasi. Bertemu tatap muka bisa jadi memang jarang berlangsung di kota-kota besar yang kedua orang tuanya bekerja seharian. Tetapi masalah itu masih dapat diatasi apabila pada kesempatan-kesempatan yang memungkinkan komunikasi kemudian berlangsung dalam tingkat intensitas yang tinggi. Sambung rasa orang tua dengan anak berlangsung mesra, terbuka, bertimbal balik, dan ceria. Pesan-pesan komunikasi akan ditangkap dengan mudah oleh penerima komunikasi dipastikan menghasilkan kesan-kesan positif terhadap pesan yang disampaikan. Pada intensitas semacam itulah sesungguhnya kita banyak berharap pesan-pesan moral dan budi pekerti banyak ditanamkan orang tua.
c. Kualitas pesan yang dikomunikasikan. Frekuensi dan intensitas komunikasi belum tentu juga menghasilkan pesan yang efektif dapat diterima oleh anak. Ada satu bagian lagi yang dipersyaratkan, yaitu kualitas pesan yang dikomunikasikan. Apakah pesan-pesan tersebut disesuaikan dengan tingkat perkembangan kejiwaan anak ? apakah isi pesan tersebut sesuatu yang mendidik positif kepada anak atau bahkan yang mendorong ke perbuatan-perbuatan negatif ? Umpamanya saja, jika ada orang tua yang berpesan kepada putrinya : "Nak, kalau nanti kamu kesulitan kendaraan umum ketika pulang sekolah, hentikan saja kendaraan Om-Om yang lewat, mereka pasti mau mengantarkan kamu". Maka orang tua itu telah memberikan pesan yang benar, tapi sama sekali tidak mendidik.
2. Sosok Teladan
Yang tidak kalah pentingnya adalah peran serta masyarakat pada upaya peningkatan moral dan budi pekerti anak-anak kita. Pada awal masa pertumbuhan anak, peran keluarga begitu dominan. Pada tahap berikutnya, sekolah ikut menyumbang pertumbuhan kejiwaan anak. Dan ketika memasuki masa remaja, dunia mereka jauh lebih luas lagi. Ia menjadi bagian dari kumunitas lingkungannya. Pada tahap inilah peran masyarakat mulai mewarnai penampilan moral dan budi pekerti anak. Kunci keikutsertaan masyarakat terletak pada keteladanan yang secara keseharian digaulinya.
Di samping keteladanan masyarakat, kontrol sosial juga sangat berperan. Di daerah perkotaan, kontrol sosial sedemikian sudah sangat longgar, sehingga pengaruh film atau lainnya akan dengan sangat mudah terlihat. Kontrol sosial juga semakin longgar di daerah pedesaan. Kehidupan bangsa ini semakin mengedepankan individualitas dengan tingkat intensitas yang semakin tinggi. Akibatnya, semakin kentara saat ini. Bila peredaran narkoba dulu hanya di sekitar perkotaan, saat ini sudah banyak merambah kota-kota kecil di pedalaman.
Pengaruh masyarakat bukan hanya dari perilaku individual dan komunal, tetapi juga dari berbagai alat budaya dan alat komunikasi yang berinteraksi di dalam masyarakat. Pengaruhnya diyakini luar biasa, baik yang positif maupun yang negatif. Dan pada era keterbukaan informasi seperti saat ini, kehadirannya tak terhindarkan. Tinggal sejauh mana kita membekali anak-anak dengan tameng iman dan kemampuan menyensor informasi yang mereka terima.
3. Penanaman Bukan Pengajaran
Pendidikan budi pekerti anak-anak didik, baik di rumah, di sekolah maupun di masyarakat, bukanlah dengan mengajarkan mereka dengan ayat, dalil, atau apa pun namanya. Menurut Barlow sebagian besar dari yang dipelajari manusia terjadi melalui peniruan (imitation) dan penyajian contoh perilaku (role-modeling). Selanjutnya, menurut teori belajar sosial terhadap proses perkembangan sosial dan moral siswa ditekankan pada perlunya pembiasaan merespons dan peniruan. Dan pembiasaan merespons tersebut melalui pemberian penghargaan dan hukuman.
Khusus di sekolah, pelaksanaan pendidikan budi pekerti dapat dilakukan melalui dua pendekatan, yaitu pendekatan pengintegrasian serta pendekatan role-modeling dan imitasi. Pendekatan integratif ke dalam mata pelajaran yang memiliki pokok bahasan yang sesuai dengan dapat dilakukan melalui penambahan materi pada mata pelajaran yang dititipi dan atau melalui metode mengajar yang akan digunakan guru. Hanya saja, dalam pendekatan ini guru akan merasa mendapatkan tambahan beban. Sedangkan pendekatan kedua menekankan pada aspek keteladanan para guru. Semua guru di sekolah hendaknya menyadari bahwa dirinya bukan hanya pengajar, tetapi juga pendidik bagi siswanya. Para guru memiliki kewajiban moral yang melekat dengan profesi kependidikannya untuk memberikan keteladanan. Dengan begitu, para siswa tidak hanya mengenali budi pekerti seperti yang tercetak di dalam buku-buku pelajaran, tetapi mereka melihat langsung pada contoh yang terjadi di sekitarnya, yaitu dari kalangan para guru mereka.
Pilihan pada pendekatan pertama, berarti guru melaksanakan pendidikan budi pekerti melalui fungsi guru sebagai pengajar, sementara jika guru melaksanakan pendidikan budi pekerti melalui role-modeling, imitasi atau keteladanan, berarti guru melaksanakan pendidikan budi pekerti itu melalui fungsi guru sebagai pendidik.
Pola pendidikan budi pekerti yang diintegrasikan dengan mata pelajaran yang sesuai tersebut lebih menjadi pilihan karena beberapa alasan, yaitu :
a. Budi pekerti merupakan perilaku bukan pengetahuan.
b. Beban kurikulum di SD, SLTP, SMU, dan SMK sudah sangat berat.
c. Pendidikan budi pekerti bukan tanggung jawab satu-dua guru pembina mata pelajaran saja, tetapi menjadi tanggung jawab bersama.
d. Sudah ada beberapa mata pelajaran yang dapat mengakomodasikan pemberian pendidikan budi pekerti tersebut.
Jadi dilihat dari sisi lingkungan belajarnya, yang utama dan terutama adalah dengan memberikan keteladanan yang terbaik, dengan perbuatan, perilaku orang tua, guru dan masyarakat. Anak-anak akan menirunya, kemudian sedikit demi sedikit diarahkan untuk lebih memberikan penghayatan melalui tindakan, diskusi, pemahaman, dan penyadaran.
Inilah beberapa faktor yang mempengaruhi pendidikan budi pekerti, yang secara garis besar merupakan upaya penanaman bukan pengajaran. Hal tersebut akan menjadikan pendidikan budi pekerti berhasil guna, terlebih jika masalah budi pekerti yang selama ini dikeluhkan ditanggulangi melalui gerakan terpadu orang tua, guru, dan masyarakat.