Tenaga Ahli Utama KSP, Ali Mochtar Ngabalin merespons pernyataan Fahri Hamzah yang menyinggung 'Harmoko' di kasus konflik Desa Wadas Purworejo. Menurut Ngabalin, negara punya hak menjelaskan.
Awalnya, Ngabalin menjelaskan informasi kepada masyarakat didapat dari media massa dan media sosial. Media massa bisa mempertanggungjawabkan berita yang disampaikan.
"Media sosial, siapa yang bisa bertanggung jawab atas informasi bohong, berita hoax," kata Ngabalin saat dihubungi, Jumat (11/2/2022).
"Apakah kita pemerintah tidak boleh menjelaskan duduk perkara sesungguhnya? Jangan gitu dong," ujar Ngabalin.
Bagi Ngabalin, yang dilakukan oleh pemerintah adalah mengklarifikasi. Ngabalin meminta Fahri tidak tendensius.
"Kami harus lakukan klarifikasi. Kalau tuduhan yang disampaikan saudara Fahri Hamzah, jangan tendensius dalam memberikan penilaian yang tidak terlalu benar," katanya.
Soal evaluasi, Ngabalin menyebut pemerintah tak menutup pintu. "Kami harus klarifikasi duduk perkara, iya. Nanti ada evaluasi, BPN, Polisi, kita tidak bisa langsung judge," katanya.
Soal pernyataan yang disampaikan pemerintah, Ngabalin menyebut Presiden Joko Widodo (Jokowi) tidak anti-kritik. Saat ini, KSP turun langsung ke Wadas untuk mencari informasi.
"Jokowi dari awal tidak anti kritik, setiap orang bisa lakukan kritik evaluasi. Sekarang, ada dua tim ditugaskan oleh Pak Moeldoko sebagai Kepala Staf Kepresidenan, untuk mendapat informasi yang benar, dan duduk perkara yang sesungguhnya," katanya.
Fahri Ungkit 'Harmoko' di Kasus Wadas
Wakil Ketua Umum Partai Gelora Fahri Hamzah kembali buka suara terkait konflik yang terjadi di Wadas, Purworejo, Jawa Tengah. "Kalau harmoko bilang gak ada apa2 ya sudah memang gak ada apa2," cuit Fahri lewat akun Twitternya @Fahrihamzah, seperti dilihat, Jumat (11/2).
Cuitan Fahri Hamzah ini membalas pemberitaan detikcom yang berjudul 'YLBHI Kritik Narasi Pemerintah; Seolah Tak Ada Apa-apa di Wadas'.
Dia awalnya berbicara terkait tradisi otoriter di mana negara selalu meminta dipercaya dan apa pun yang dikatakan pemerintah itu selalu benar. Hal tersebut, menurut dia, sempat terjadi di zaman Orde Baru, Soeharto.
"Dalam tradisi otoriter, negara selalu meminta agar mereka dipercaya, apa yang dikatakan oleh penguasa itu selalu benar dan kita harus selalu menganggap yang dikatakan penguasa itu benar. Nah, itu yang terjadi dulu di zaman Orde Baru," kata Fahri Hamzah saat dimintai konfirmasi.
Fahri Hamzah mengakui hal itu terjadi lantaran pemerintah bisa mendikte seluruh elemen seperti aparat hingga media. Maka, menurutnya, terkadang apa pun yang dikatakan Istana, meski salah, harus dibenarkan oleh jajarannya.
"Memang dalam banyak hal karena pemerintah mampu mendikte seluruh elemen yang ada termasuk media dan juga aparat di bawah, sehingga kadang-kadang omongan Istana itu salah pun harus dibenarkan di bawah," ucapnya.
Namun, menurutnya, saat ini sudah berbeda zaman dengan Orde Baru. Dia menegaskan pemerintah tidak lagi harus selalu menang dan benar.
"Sekarang sudah beda situasinya, kita hidup di zaman demokrasi, negara tidak selalu harus menang, tidak selalu harus benar. Dan pemerintah juga harus jujur karena teknologi dan keterbukaan yang ada sekarang tidak memungkinkan lagi negara dan pemerintah menyembunyikan apa yang terjadi di tengah masyarakat," tegasnya.
"Jadi sebaiknya kritik kepada juru bicara istana perlu didengar karena rakyat juga melihat dan mereka semua kejadian yang ada," lanjut dia.[detik.com]