Ribuan warga masyarakat desa datang berbondong � bondong memadati balai desa yang jaraknya tidak jauh dari rumah tempat saya tinggal. Beberapa hari yang lalu mereka datang ke tempat tersebut hanya untuk menentukan calon pemimpin baru di desa kami. Warga masyarakat termasuk saya beserta keluarga datang pagi � pagi setelah Ruang Pemumgutan Suara (RPS) dibuka demi untuk menyalurkan hak suara kami dengan memilih satu diantara empat kandidat. Semua datang dengan gembira dan sukarela mengingat moment Pemilihan Kepala Desa (Pilkades) tidak datang setiap waktu atau tahun.
Kursi Panas CaKades |
Dengan mata kepala sendiri, saya menyaksikan begitu antusiasnya warga masyarakat dalam menyambut moment Pilkades ini. Mereka rela antri dan meninggalkan pekerjaannya hari itu demi untuk berpartisipasi dan mensukseskan gelaran pilkades yang ada. Moment enam tahunan sekali seperti yang diamanahkan UU N0 6/2014 pasal 39 dalam memilih pemimpin lokal tingkat desa betul � betul dimanfaatkan warga masyarakat. Mereka bukan hanya mencoblos Calon Kepala Desa (Cakades) saja, namun juga mengikuti jalannya pilkades sampai dengan usai.
Warga begitu rukun dan penuh dengan persaudaraan saling duduk bareng satu dengan yang lain setelah acara coblosan usai sembari menunggu hasil penghitungan suara yang dilakukan panitia. Mereka tidak mempedulikan perbedaan pilihan yang ada di RPS, bagi mereka perbedaan pilihan hanya pada saaat di bilik dan setelahnya mereka kembali menyatu dengan yang lain. Warga tidak mempedulikan siapa nantinya yang bakal terpilih menjadi pemimpin mereka, sedangkan yang ada di pikiran mereka hanya satu yakni siapapun yang terpilih nantinya itulah pemimpin mereka.
Semua gambaran diatas nyata adanya dan menjadi bukti bahwa Pilkades merupakan bentuk demokrasi sejati yang telah berjalan selama ini tanpa kita sadari bersama. Di dalam Pilkades tersimpan potensi lokal perihal demokrasi, yang sudah seharusnya di pertahankan dan dikembangkan sebagai modal bangsa dalam membangun negeri. Pilkades sendiri merupakan salah satu bentuk demokrasi tertua yang ada di tanah air meski hanya dalam taraf lokal, jauh sebelum konsep demokrasi modern muncul.
Bagi saya sebagai warga masyarakat yang tinggal di pedesaan dan sebagai pemilih, ada beberapa catatan yang sangat berarti, antara lain yang pertama Pilkades terasa sangat istimewa bagi warga desa dan �gereget� Pilkades lebih berasa tidak seperti pemilu lainnya semisal Pilpres yang beberapa bulan lalu sempat dilaksanakan. Semua dikarenakan masih adanya hubungan kedekatan antara warga sebagai pemilih dengan Cakades yang ada. Oleh karenanya mereka tahu persis tabiat dan karakter Cakades yangakan dipilih. Hal ini menjadikan pilkades menjadi lebih menarik karena para kontestan sulit untuk memanipulasi pribadinya masing � masing.
Yang kedua kekaguman saya terhadap sikap berpolitik warga masyarakat desa baik sebagai pemilih maupun para kontestan yang saling berhadapan dalam ajang Pilkades. Partisipasi warga desa sangatlah tinggi ditandai dengan sikap responsif positif warga dalam mengikuti coblosan. Hal demikian memberi sinyal bahwa demokrasi yang sejati selama ini telah tumbuh dan berkembang di tingkat lokal desa. Demokrasi yang pada dasarnya kekuasaan di tangan rakyat betul terlaksanan dan terbukti di desa � desa. Mereka mencoblos tanpa ada bayaran, intimidasi dan berdasar kemauan sendiri menentukan pilihannya. Selain itu kerahasiaan pilihan di jamin oleh panitia dan siapapun yang terpilih semua akan menghormati.
Yang ketiga, dalam proses gelaran pilkades ini, panitia di banyak desa juga mengagendakan adanya program penyampaian visi dan misi Cakades meski masih bersifat sederhana. Bahkan ada sebagian desa � desa yang melakukan sesi adu gagasan serta program langkah kerja yang nantinya akan dilakukakan cakades jika terpilih. Dengan adanya sesi tersebut, warga akan sangat jelas dan tahu persis cakades mana yang menjadi pilihannya, tanpa harus ada iming � iming uang dan lainnya dalam menentukan pilihannya.
Dan yang keempat, saya lebih kagum lagi ketika hasil pilkades di umumkan mereka para kontestan yang bertarung tetap menghormati keputusan panitia tanpa adanya protes. Saya menyaksikan Cakades yan terpilih datang menghampiri para rivalnya, berangkulan satu dengan yang dan melakukan swafotosecara bersama. Hal tersebut menjadikan suasana yang ada nampak lebih kondusif dan jauh dari adanya gesekan dari para pendukungnya. Sejalan dengan itu suasana yang adem ayem, tenang dan harmoni dalam sebuah lingkungan pedesaan tetap terjaga pasca di gelarnya PIlkades.
Fenomena E-Voting
Pada penyelenggaraan pilkades serentak yang diagendakan oleh Pemda, selain dilakukan secara manual (coblosan) juga di lakukan Pilkades dengan e-votinguntuk beberapa desa. Salah satu desa yang menggunakan model ini kebetulan desa sebelah saya, dimana warga dalam memilih dengan berbasis teknologi komputer yang saat ini sedang terus dikembangkan kesempurnaannya.
Dalam pelaksanaannya, warga cukup datang ke TPS dengan membawa kartu undangan yang diserahkan pada panitia, kemudian panitia akan memberikan kartu (semacam kartu ATM) yang akan dimasukkan ke dalam PCyang berisi data pemilih. Selanjutnya jika kartu sudah terbaca komputer, akan muncul gambar Cakades dan pemilih tinggal memilih dengan menekan menggunakan jari telunjuknya. Kemudian jika telah selesai, pemilih tinggal menekan tombol keluar sehingga kartu akan keluar. Begitu juga jika sudah selesai pemilihan, secara otomatis tidak berapa lama hasilnya langsung dapat diketahui, dan warga pulang kerumah masing � masing.
Penggunaan e-votingdi satu sisi sangat membantu panitia dalam penyelenggaraan pilkades. Selain karena lebih cepat, transparan dan hasilnya akurat, penggunaan e-voting juga lebih menghemat kertas suara dan jumlah panitia penyelenggara dapat diminimalkan yang berarti secara keseluruhan akan menghemat anggaran yang dikeluarkan. Di negara � negara yang sudah maju, penggunaan e- voting jamak dilakukan terutama dalam pemilihan anggota dewan, gubernur maupun pemimpin negara. Hal tersebut wajar adanya mangingat tingkat pengetahuan dan pendidikan warga juga jauh berbeda dengan kondisi yang ada di bangsa kita.
Selain itu e-voting juga memperkecil terjadinya gesekan antar warga masyarakat, hal ini disebabkan dalam e-voting penghitungan suara langsung dilakukan secara otomatis tidak ada 15 menit sudah terlihat hasilnya dan tidak perlu dibacakan satu persatu yang memakan waktu 3-4 jam. Dengan cepatnya penghitungan suara yang ada maka warga yang berkumpul juga lebih cepat membubarkan diri karena hasilnya sudah ada. Masa yang berkumpul menunggu hasil suara tersebut biasanya berpotensi terjadinya gesekan antar pendukung Cakades yang ada.
Namun dibalik kelebihan sistem yang ada, juga menyimpan beberapa persoalan yang dapat dijadikan pembenahan nantinya, diantaranya yang pertama perlu adanya edukasi terhadap warga masyarakat. Hal ini mengingat penggunaan model e-voting masih jarang dan tidak semua warga melek dalam penggunaannya. Nampaknya peran dari berbagai pihak nantinya perlu dilibatkan lebih dalam sosialisasi terhadap sistem yang satu ini.
Yang kedua dalam e-voting, memasukan data calon pemilih juga harus benar � benar akurat karena jika data pemilih tidak terinput maka warga tidak dapat menggunakan hak suaranya. Sehingga warga akan kehilangan haknya sebagai pemilih. Lain halnya jika masih mempergunakan sistem coblosan, jika ada warga yang belum terdaftar masih bisa menggunakan KTP atau KK.
Yang ketiga secara sosiologis masyarakat desa, penggunaan model ini akan menjadikan warga berubah cenderung menjadi lebih individualis. Karena begitu selesai pemilihan hasilnya langsung dapat diketahui yang berarti kurangnya interaksi warga satu dengan yang lain. Hal ini bertolak belakang dengan sifat sesungguhnya warga masyarakat desa yang bersifat sosialis dan guyub satu dengan yang lain. Selaras dengan itu penggunaan e-voting akan memperkecil hubungan kedekatan dan komunikasi warga satu dengan yang lain, karena dengan e-votinghasilnya langsung keluar.
Pilkades di desa yang baru saja di jalankan baik secara manual maupun dengan mempergunakan e-votingsejatinya merupakan bentuk demokrasi yang sesungguhnya. Dengan adanya pilkades warga bebas dan berdaulat dalam menentukan masa depan desanya sendiri melalui pemilihan pemimpin lokal mereka. Selain itu Pilkades dapat menjadi contoh bagi seluruh warga negara, baik bagi pemilih maupun kontestan nantinya bahwa demokrasi yang sejati berjalan tanpa ada intimidasi, politik uang, serta sikap kesatria bagi semua peserta untuk menghormati hasilnya. Mereka tetap bersinergi meski gelaran pilkades telah usai dan saling menghormati serta hidup rukun kembali seperti sedia kala tanpa harus ada rasa dendam dan sakit hati. Mereka berpikir siapapun pemimpinya itulah pemimpin seluruh warga masyarakat desa setempat.