Bagi warga masyarakat yang tinggal di daerah dan pinggiran, posisi PNS di instansi pemerintah daerah masih dianggap sesuatu yang membanggakan. Hal tersebut tidak terlepas masih banyaknya opini yang berkembang bahwa bekerja sebagai PNS merupakan wujud kemapanan seseorang. PNS selain mendapatkan gaji tetap setiap bulan, cuti, fasilitas, perlindungan kesehatan serta tunjangan juga mendapatkan jaminan hari tua melalui dana pensiun. Tidak mengherankan jika banyak orang tua terutama di daerah pinggiran dan pedesaan khususnya dengan segala cara untuk dapat memasukkan putera puterinya di instansi tersebut.
Mereka selama ini banyak yang belum menyadari bahwa pegawai di instansi pemerintah keberadaannya sebagai abdi masyarakat yang bertugas melayani segala keperluan warga. Kesadaran mereka akan tugas melayani warga terabaikan dengan belum meratanya pemahaman pegawai terkait fungsi dan tugas pokoknya. Selain itu kurangnya pelatihan dan rasa peduli terhadap warga memperparah kondisi tersebut. Hal tersebut ditambah dengan budaya melayani yang belum optimal di instansi milik negara tersebut.
Sebagai warga yang baru pindah dari kota besar ke daerah, suatu saat saya berkesempatan mengurus administrasi kependudukan di instansi pemerintah daerah tempat saya tinggal. Harapan saya tidaklah sesuai kenyataan, pelayanan cepat, mudah dan ramah yang selama ini di obral belumlah sesuai dengan kenyataan. Saya melihat masih lamanya waktu tunggu warga yang hanya ingin sekedar mendapatkan informasi, antrian panjang yang semrawut serta kurang pedulinya para petugas di -garda depan-dengan wajah �mrengat mrengut � menambah kesan kekurang ramahan mereka. Padahal sejatinya dari warga dan rakyatlah gaji mereka dibayarkan per bulannya melalui anggaran negara.
Hati saya sempat membandingkan dengan pelayanan di perusahaan tempat saya dulu bekerja selama belasan tahun sebelum akhirnya memutuskan mengambil pensiun dini, sungguh sangat jauh bedanya. Senyum, sapa dan salam merupakan harga mati yang harus di berikan kepada pelanggan, selain itu tidak ada kasta dalam melayani pelanggan, semua pelanggan adalah sama. Kata � kata maaf, tolong dan terimakasih merupakan hal wajib yang setiap saat keluar dari mulut kita. Dan tidak aneh jika setiap tanggal 4 September, pemerintah menetapkan sebagai hari pelanggan nasional termasuk tempat saya kerja dulu ikut merayakannya.
Hadirnya UU No 25 Tahun 2009 tentang Pelayanan Publik, UU No 14/2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik, UU No 5/2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) serta UU No 23/2014 tentang Pemda sampai saat ini belum terasa mampu merubah wajah buram pelayanan terhadap warga secara signifikan. Regulasi tersebut seakan dilaksanakan sebatas formalitas semata belum menyentuh pada substansinya. Konsep � nguwongke wong � masih berjalan ditempat, padahal konsep tersebutlah yang menjadi roh dan filosofi dari terbitnya aturan � aturan tersebut.
Melayani Dengan Hati
Aktivitas melayani dan dilayani merupakan dua kata yang tidak bisa dilepaskan dari kehidupan, karena dua kata tersebut sejatinya sudah ada semenjak kita dilahirkan. Saya masih ingat betul bagaimana ibu melayani saya dari kecil penuh dengan perasaan, kasih sayang tanpa pamrih apapun. Beliau sangat peduli dengan segala kondisi yang terjadi pada diri saya, meskipun saya sendiri tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi dengan kondisi ibu saya. Semua yang dilakukannya penuh ketulusan dan keikhlasan.
Pelayanan dengan hati |
Mendengar kata melayani, dipikiran kita seolah terbentuk opini sesuatu yang tidak mengenakkan, terlintas seperti pembantu dengan pekerjaan pada kasta / tingkatan paling rendah. Lain halnya dengan dilayani terbesit mereka adalah para majikan dan tuan. Padahal melayani merupakan suatu aktivitas yang mulia dan bernilai ibadah dalam pandangan agama. Dalam budaya melayani diperlukan suatu keahlian tersendiri terutama dalam berinteraksi dengan orang lain, selain itu sikap melayani harus didasarkan pada ketulusan bukan keterpaksaan. Sikap inilah mungkin yang akan membedakan pada hasilnya, semisal senyuman yang tulus dan terpaksa akan membawa dampak yang berbeda.
Sudah selayaknya istilah - jika bisa dipermudah kenapa harus dipersulit - bukan hanya menjadi slogan semata tanpa ada aksi nyata. Konsep pelayanan satu pintu (one stop service), pemberian reward bagi instansi dengan pelayanan terbaik, pelayanan publik dengan pendekatan lokal, mempermudah segala jenis perijinan sampai membuat inovasi dan langkah terobosan dalam pelayanan merupakan sebagian langkah yang sudah dijalankan. Namun nampaknya juga belum maksimal dalam memberikan layanan publik yang memadai.
Merubah pola pikir (mind set) setiap abdi masyarakat merupakan langkah awal dari sebuah perubahan budaya birokrasi yang melayani. Karena maklum adanya selama ini terbentuk opini di masyarakat daerah termasuk tempat saya tinggal bahwa pegawai instansi pemerintah merupakan � kaum terhormat � dengan segala atributnya yang melekat. Pola pikir PNS itulah yang kiranya perlu dirubah.
Selain itu perlu disiapkan SDM yang handal dan kompeten. Hal ini dapat dilakukan melalui pelatihan maupun kursus terkait dalam hal pelayanan dari pihak yang kompeten. Dengan adanya pelatihan terhadap seni melayani maka akan terbentuk sikap membantu (hands on) dan peduli (care) bagi warga yang kesulitan dalam mengurus sesuatunya. Disamping itu dengan meratanya SDM akan bisa diterapkan standard pelayanan terhadap pelanggan.
Sejalan dengan itu perbaikan infrastruktur berupa sarana dan prasarana juga diperlukan. Dalam hal ini diperlukan suatu standard prosedur pelayanan yang berguna menyamakan persepsi antar pegawai dan unit kerja instansi. Sebagai contoh bagaimana mampu melayani pembuatan identitas kependudukan yang baik seandainya tidak memiliki standar pemindai retina mata, standard perangkat IT dan lain sebagainya.
Namun ada satu hal mendasar yang diperlukan guna mampu melayani warga dengan baik yakni hadirnya hati dari setiap individu yang terlibat pelayanan. Saya optimis prinsip melayani dengan hati menjadikan setiap abdi masyarakat mampu merasakan bagaimana mereka bisa menempatkan diri jika seandainya menjadi warga yang memerlukan pelayanan. Selain itu dengan pelayanan yang keluar dari hati maka akan timbul ketulusan dan keikhlasan, bukan hanya sekedar menggugurkan kewajiban semata. Melayani merupakan sebuah seni dimana dalam seni diperlukan sentuhan perasaan yag bersumber dari hati.
Ke optimisan saya lebih kuat lagi karena saya percaya bahwa setiap individu di karuniai Tuhan dengan hati, tergantung bagaimana orang tersebut menjaga dan memoles hati masing � masing. Dengan hati, konsep �memanusiakan manusia� akan terjadi dan kemampuan menghargai warga akan tercipta. Disisi lain pelayanan yang keluar dari hati juga akan membawa dampak positif bagi si pelayan itu sendiri. Secara tidak langsung sikap ramah, mudah tersenyum, suka menyapa dan ringan tangan dalam membantu akan terbentuk dalam kehidupan sehari � hari tanpa kita sadari. Dimana sikap � sikap tersebut sejatinya sangat diperlukan dalam kehidupan, baik kehidupan pribadi maupun kehidupan sosial bermasyarakat.
Sudah saatnya mereka meninggalkan kebiasaan untuk dilayani, dan menjadi pribadi yang melayani hal tersebut disebabkan dari rakyat dan wargalah para abdi masyarakat tersebut selama ini di gaji. Dan sudah sepantasnya mereka bekerja sepenuh hati untuk melayani warga dalam berbagai hal sesuai kompetensinya sendiri.....
*Artikel pernah di muat pada kolom gagasan Harian Solo Pos Edisi Kamis, 04 Oktober 2018