Setelah membaca Belajar Hadits 2 : Cara-Cara Para Ulama Dalam Menjaga Ilmu Hadits maka kita temukan istilah "Perawi yang Adil". Nah, pada tulisan singkat kali ini kita membahas tentang Bagaimana Mengetahui Keadilan Perawi Hadits? Silakan disimak penjelasan berikut.
Jumhur ahli hadits berpendapat bahwa keadilan perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua cara, yaitu:
Pertama: Terkenal keadilannya
Maksudnya perawi itu masyhur dikalangan ahli hadits kebaikannya dan banyak yang memujinya sebagai perawi yang amanah dan tsiqah, maka ketenaran ini sudah mencukupi dan tidak lagi membutuhkan kepada saksi dan bukti, seperti imam yang empat, Syu�bah, Sufyan bin �Uyainah dan Sufyan Ats Tsauri, Yahya bin Ma�in dan lain-lain.
Kedua: Pernyataan dari seorang imam
Bila seorang perawi tidak ditemukan pujian (ta�dil) kecuali dari seorang imam yang faham maka diterima ta�dilnya selama tidak ditemukan padanya jarh (celaan) yang ditafsirkan.
2. Periwayatan yang ia riwayatkan apakah ia menguasainya atau tidak, atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan istilah dlabth dan itqan.
Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kedlabitan perawi, yaitu:
A. Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain yang terkenal ketsiqahan dan kedlabitannya.
Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan periwayatan para perawi yang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang dlabit. Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang tsiqah tadi maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah. Akan tetapi jika si perawi tersebut mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya sebatas dari buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.
B. Menguji perawi.
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya. Diantaranya juga adalah membolak-balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menguji perawi, sebagian ulama mengharamkannya seperti Yahya bin Sa�id Al Qathan dan sebagian lagi melakukannya seperti Syu�bah dan Yahya bin Ma�in. Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus menerus dilakukan pada seorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengetahui derajat seorang perawi dengan waktu yang cepat.
Sumber : Telegram ulumul Hadits
Bersambung in Syaa Allah..
Belajar ilmu Hadits |
Jumhur ahli hadits berpendapat bahwa keadilan perawi dapat diketahui dengan salah satu dari dua cara, yaitu:
Pertama: Terkenal keadilannya
Maksudnya perawi itu masyhur dikalangan ahli hadits kebaikannya dan banyak yang memujinya sebagai perawi yang amanah dan tsiqah, maka ketenaran ini sudah mencukupi dan tidak lagi membutuhkan kepada saksi dan bukti, seperti imam yang empat, Syu�bah, Sufyan bin �Uyainah dan Sufyan Ats Tsauri, Yahya bin Ma�in dan lain-lain.
Kedua: Pernyataan dari seorang imam
Bila seorang perawi tidak ditemukan pujian (ta�dil) kecuali dari seorang imam yang faham maka diterima ta�dilnya selama tidak ditemukan padanya jarh (celaan) yang ditafsirkan.
2. Periwayatan yang ia riwayatkan apakah ia menguasainya atau tidak, atau yang disebut dalam ilmu hadits dengan istilah dlabth dan itqan.
Ada dua cara yang digunakan oleh para ahli hadits untuk mengetahui kedlabitan perawi, yaitu:
A. Membandingkan periwayatannya dengan periwayatan perawi-perawi lain yang terkenal ketsiqahan dan kedlabitannya.
Jika mayoritas periwayatannya sesuai walaupun dari sisi makna dengan periwayatan para perawi yang tsiqah tersebut dan penyelisihannya sedikit atau jarang maka ia dianggap sebagai perawi yang dlabit. Dan jika periwayatannya banyak menyelisihi periwayatan perawi-perawi yang tsiqah tadi maka ia dianggap kurang atau cacat kedlabitannya dan tidak boleh dijadikan sebagai hujah. Akan tetapi jika si perawi tersebut mempunyai buku asli yang shahih dan ia menyampaikannya hanya sebatas dari buku bukan dari hafalannya maka periwayatannya dapat diterima.
B. Menguji perawi.
Bentuk-bentuk ujian kepada perawi bermacam-macam diantaranya adalah dengan membacakan padanya hadits-hadits lalu dimasukkan di sela-selanya periwayatan orang lain, jika ia dapat membedakan maka ia adalah perawi yang tsiqah dan jika tidak dapat memebedakannya maka ia kurang ketsiqahannya. Diantaranya juga adalah membolak-balik matan dan sanad sebagaimana yang dilakukan oleh para ahli hadits Baghdad terhadap imam Bukhari. Para ulama berbeda pendapat tentang hukum menguji perawi, sebagian ulama mengharamkannya seperti Yahya bin Sa�id Al Qathan dan sebagian lagi melakukannya seperti Syu�bah dan Yahya bin Ma�in. Al Hafidz ibnu Hajar rahimahullah memandang bahwa menguji perawi adalah boleh selama tidak terus menerus dilakukan pada seorang perawi karena mashlahatnya lebih banyak dibandingkan mafsadahnya yaitu dapat mengetahui derajat seorang perawi dengan waktu yang cepat.
Sumber : Telegram ulumul Hadits
Bersambung in Syaa Allah..