"Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya kapal itu berlayar di laut dengan nikmat Allah, supaya diperlihatkan-Nya kepadamu sebagian dari tanda-tanda (kekuasaan)-Nya. Sesungguhnya, pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi semua orang yang sangat sabar dan banyak bersyukur. (QS Lukman [31]: 31)
Sabar terdiri dari huruf shad, ba dan ra, yang secara bahasa adalah masdar dari fi'il madli, shabara, yang berarti 'menahan'. Menurut Rasyid Ridho, sabar adalah menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan dengan perasaan rida, ikhtiar, dan penyerahan diri. Dalam maknanya yang lebih luas, sabar mencakup tiga hal, yakni sabar melaksanakan perintah Allah, sabar menjauhi dosa atau maksiat, dan sabar menghadapi kesulitan dan cobaan.
Sedangkan, syukur (al-Syukr) adalah bentuk masdar dari kata kerja lampau syakara. Maknanya adalah mengakui nikmat dan menampakkannya. Lawannya adalah al-Kufr, melupakan nikmat dan menyembunyikannya. Hakikat syukur adalah sikap positif dalam menghadapi nikmat yang mencerminkan hubungan timbal balik antara penerima dan pemberi nikmat. Dalam pandangan al-Ghazali, syukur merupakan salah satu maqam (tempat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ketika menghadapi berbagai macam musibah, seperti banjir, tanah longsong, dan gempa, kita diperintahkan untuk bersabar dalam menghadapinya seraya mengucapkan, "Innalillahi wainna ilaihi rajiun." (segala sesuatu datangnya dari Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya). Tentunya, ini disertai dengan tindakan nyata, yakni segera bangkit kembali untuk memulai kehidupan dan tak berputus asa.
Sebab, dengan kesabaran itu, kita akan dicirikan sebagai orang yang al-mukhbitin atau tunduk dan taat kepada Allah (QS [103]: 34-35), al-Mukhlisin atau orang yang berbuat baik (QS [11]: 115), ulu al-albab atau orang yang arif, dan al-Muttaqin atau ciri orang yang bertakwa (QS [3]: 15-17).
Sebaliknya, jika tidak mengalami musibah tersebut, kita diperintahkan untuk bersyukur dengan mengucap, "Alhamdulillahi rabbil alamiin." (segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta). Rasa syukur itu tidak hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam bentuk tindakkan nyata, yakni dengan membantu saudara-suadara kita yang terkena musibah, baik dalam bentuk materi maupun bukan materi. Sesungguhnya, musibah dapat menimpa siapapun, kapanpun, dan di mana pun.
Kemampuan yang dimiliki oleh orang yang memiliki predikat sabar dan syukur tidak terbatas dalam memahami tanda-tanda yang dapat diamati dan dirasakan, atau yang bersifat empiris (qauniyah). Namun, mereka juga dapat memahami tanda-tanda dalam bentuk pemberitaan firman Tuhan, seperti termaktub dalam kitab suci, atau ayat qauliyah.
Mengacu pada beberapa tanda dalam Alquran, penyandang predikat sabar dan syukur memiliki daya pikir yang kuat, mampu berfikir secara empiris maupun rasional, serta memiliki kepekaan rasa yang tinggi terhadap berbagai hal yang menyenangkan ataupun menyusahkan. Kemampuan tersebut mengantarkan mereka menjadi hamba yang beriman kepada Allah SWT. Wallahu A'lam.
Sumber : http://m.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/10/14/140114-menjadi-hamba-yang-sabar-dan-bersyukur
Sabar terdiri dari huruf shad, ba dan ra, yang secara bahasa adalah masdar dari fi'il madli, shabara, yang berarti 'menahan'. Menurut Rasyid Ridho, sabar adalah menghadapi sesuatu yang tidak menyenangkan dengan perasaan rida, ikhtiar, dan penyerahan diri. Dalam maknanya yang lebih luas, sabar mencakup tiga hal, yakni sabar melaksanakan perintah Allah, sabar menjauhi dosa atau maksiat, dan sabar menghadapi kesulitan dan cobaan.
Sedangkan, syukur (al-Syukr) adalah bentuk masdar dari kata kerja lampau syakara. Maknanya adalah mengakui nikmat dan menampakkannya. Lawannya adalah al-Kufr, melupakan nikmat dan menyembunyikannya. Hakikat syukur adalah sikap positif dalam menghadapi nikmat yang mencerminkan hubungan timbal balik antara penerima dan pemberi nikmat. Dalam pandangan al-Ghazali, syukur merupakan salah satu maqam (tempat) untuk mendekatkan diri kepada Tuhan.
Ketika menghadapi berbagai macam musibah, seperti banjir, tanah longsong, dan gempa, kita diperintahkan untuk bersabar dalam menghadapinya seraya mengucapkan, "Innalillahi wainna ilaihi rajiun." (segala sesuatu datangnya dari Allah, dan kita semua akan kembali kepada-Nya). Tentunya, ini disertai dengan tindakan nyata, yakni segera bangkit kembali untuk memulai kehidupan dan tak berputus asa.
Sebab, dengan kesabaran itu, kita akan dicirikan sebagai orang yang al-mukhbitin atau tunduk dan taat kepada Allah (QS [103]: 34-35), al-Mukhlisin atau orang yang berbuat baik (QS [11]: 115), ulu al-albab atau orang yang arif, dan al-Muttaqin atau ciri orang yang bertakwa (QS [3]: 15-17).
Sebaliknya, jika tidak mengalami musibah tersebut, kita diperintahkan untuk bersyukur dengan mengucap, "Alhamdulillahi rabbil alamiin." (segala puji bagi Allah yang telah menciptakan alam semesta). Rasa syukur itu tidak hanya sebatas ucapan, tetapi juga dalam bentuk tindakkan nyata, yakni dengan membantu saudara-suadara kita yang terkena musibah, baik dalam bentuk materi maupun bukan materi. Sesungguhnya, musibah dapat menimpa siapapun, kapanpun, dan di mana pun.
Kemampuan yang dimiliki oleh orang yang memiliki predikat sabar dan syukur tidak terbatas dalam memahami tanda-tanda yang dapat diamati dan dirasakan, atau yang bersifat empiris (qauniyah). Namun, mereka juga dapat memahami tanda-tanda dalam bentuk pemberitaan firman Tuhan, seperti termaktub dalam kitab suci, atau ayat qauliyah.
Mengacu pada beberapa tanda dalam Alquran, penyandang predikat sabar dan syukur memiliki daya pikir yang kuat, mampu berfikir secara empiris maupun rasional, serta memiliki kepekaan rasa yang tinggi terhadap berbagai hal yang menyenangkan ataupun menyusahkan. Kemampuan tersebut mengantarkan mereka menjadi hamba yang beriman kepada Allah SWT. Wallahu A'lam.
Sumber : http://m.republika.co.id/berita/ensiklopedia-islam/hikmah/10/10/14/140114-menjadi-hamba-yang-sabar-dan-bersyukur